
“Kau  mencintaiku?” Suara lembut, tapi menggoda terdengar di telinga pria yang tengah  berdiri ketakutan. Sepoi angin malam di tepian kota membuat gigil terasa  menusuk sumsum.
“Ya,  aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu.” Pria itu menatap gadis cantik  di hadapannya dengan penuh permohonan.
Senyum  tipis tersungging di bibir berwarna merah jambu diiringi alis yang sedikit naik  ke atas. “Lalu, kenapa kau mencoba mencuri benda buruanku? Harta yang kudapat  dengan susah payah!” Telunjuk lentiknya menyusuri pangkal hidung hingga ke  bibir lawan bicaranya. “Apa semua yang kau katakan dusta?”
“Aku  tak berbohong!” seru pria bertubuh gempal yang masih bergeming itu.
“Cinta  pandangan pertama …” Kalimat perempuan itu terputus ketika sepoi angin mulai  terasa di sekelilingnya. Cebikan sinis tercipta. “Itu hanya alasan yang dipakai  para pecundang untuk merayuku. Mendapatkan harta … juga tubuhku.”
“Aku  sungguh-sungguh! Ki-kita bisa menjadi pasangan bounty hunter yang  sempurna! Kumohon … lepaskan aku!” Pria itu pucat pasi ketika menyaksikan lawan  bicaranya mulai melayang perlahan.
“Tidak  ada pria sejati yang mencuri dari pasangannya!” Di akhir kalimat, deru angin  terdengar keras.
Suara  burung hantu tenggelam di balik embusan angin yang semakin dahsyat. Debu-debu  mulai berterbangan ke langit. Aura kengerian terasa menguar di udara.
“Aku  tidak akan memaafkan seorang pencuri!”
Tangan  penyihir muda itu terangkat ke atas seiring terciptanya gerakan angin yang  semakin menggila. Di ujung jemari tampak putaran tornado kecil yang semakin  membesar. Iris keemasan itu memandang ke bawah dengan tajam.
Pria  itu masih tak mampu bergerak diikat angin tak kasatmata. Wajahnya sepucat  kertas dengan air mata yang jatuh menyusuri pipi.
“Selamat  tinggal!” Seiring tangan yang diarahkan dengan cepat ke tubuh pria itu, pusaran  angin kencang menukik tajam seperti tombak. Tak butuh satu detik ketika jantung  korbannya terkoyak melacutkan darah ke angkasa hingga tak sempat lagi menjerit.
Gadis  penyihir berambut keemasan itu pun kembali menjejak tanah dengan anggun.
“Cinta  pandangan pertama mungkin hanya terjadi ketika takdir sudah begitu pahit  mempermainkan kita,” bisiknya getir.
Dia  pun berbalik dan kembali melayang di atap-atap rumah, mencari target  berikutnya.
***
Kadang,  di sisi Utara kota terlihat pesta pora kaum kaya-raya. Mereka yang punya emas  berlian tak sungkan menghadirkan perhelatan hanya untuk menunjukkan kebanggaan  bahwa pajak tinggi dan kemiskinan kerajaan tak memengaruhi kehidupan mereka.
Merekalah  Dewan Pajak Rakyat. Orang-orang itu mengaku sebagai utusan raja sejak beliau  sakit keras dan tidak berdaya di istana. Bersenang-senang dengan uang rakyat  yang diambil paksa dan tidak pernah disetorkan ke kerajaan.
Sementara  itu di sudut lain kota, sosok pemuda bertudung berlari di jalanan sepi yang  ditinggal tidur warganya. Outer berwarna biru gelap berkibar  seiring gerakan yang tergesa. Pedang panjang tergenggam erat di tangan  kanannya, sementara di kiri ada sekerat roti hangat yang baru saja dia  dapatkan.
Pemuda  yang masih bergerak cepat di bawah pantulan bulan purnama itu tak juga menoleh.  Padahal, di belakangnya ada lima orang yang terus berteriak memanggil dengan  sebutan pencuri dan umpatan kasar lainnya.
"Kenapa  harus ribut hanya gara-gara hal sepele?" Ia berdecak kesal. Pakaiannya  sudah penuh debu dan sobek di sana-sini sisa perkelahian yang terpaksa dijalani  beberapa minggu terakhir.
Tampaknya,  para pengejarnya adalah perampok yang biasa meresahkan warga. Entah sial atau  bagaimana, pemuda itu tanpa sengaja menabrak salah satu di antara mereka saat  keluar dari toko. Penjahat-penjahat itu tanpa ragu langsung ingin membunuhnya  sembari berteriak bahwa dia adalah maling roti.
Tidak  sopan! Selapar-laparnya, pemuda itu paling pantang mencuri. Lebih baik bekerja  serabutan demi sekerat roti daripada harus memakan sesuatu yang bukan haknya.
Si  pemilik toko bahkan merasa iba dan justru mengajak masuk, kala pemuda itu  memandangi roti hangat di meja dengan penuh minat dari luar jendela. Kenapa  yang marah justru orang yang tak ada sangkut-pautnya?
Dia  harus segera keluar dari desa dan masuk ke hutan. Di sana, ia mungkin bisa  bersembunyi kemudian mencari lauk tambahan untuk roti ini jika keadaan sudah  memungkinkan. Perutnya sudah keroncongan. Seminggu terakhir hanya sedikit  sekali makanan yang masuk ke tubuh. Rasanya lemas.
Lagi  pula, apa yang bisa dilakukan pemuda yang saat ini bisa dibilang tidak punya  keahlian apa-apa—kecuali lari dan menjadi kuli angkut—untuk mendapatkan uang?
Tiba-tiba  ia merasa sesuatu menangkap pinggangnya. Detik itu juga daya tarik dan  gravitasi membuatnya terseret jatuh.
Suara  debaman keras terdengar. Pemuda itu merasakan nyeri di bagian tubuh yang  menghantam jalanan kotor. Susah payah ia bangkit berdiri. Pedangnya  terpelanting beberapa meter di kanan. Pemuda itu mengumpat melihat roti yang  sudah berlumur debu jalanan karena tertindih tubuhnya sendiri. Satu-satunya  makanan untuk bisa mengganjal perut yang berdendang kini sudah tak bisa lagi  dimakan.
"Kenapa  kalian begitu keras kepala?!" Pemuda itu berhasil melepas tali yang  melilit pinggangnya. "Aku sudah minta maaf. Lagi pula aku tidak  sengaja!"
Hanya  makian yang kembali mampir ke telinganya.
Debas  terdengar keras. Dengan lima orang berbadan besar mengelilingi, bisa dipastikan  dia akan babak belur. Namun, setidaknya pemuda itu harus melakukan sedikit  perlawanan. Yah, syukur-syukur kalau bisa kabur lagi.
Sungguh,  ada rasa muak bercokol di dada dan menggerus semua kesabarannya. Namun, ia  jelas tak mungkin mampu mengalahkan mereka. Seandainya ia bisa sihir, tentu  dirinya tak perlu takut membela diri hanya karena menabrak seseorang saat  berjalan.
Satu  teriakan aba-aba menyerang terdengar. Pemuda itu bersiaga. Ia berhasil menghindar  dari pukulan pertama, tapi ia tertendang dari belakang. Rasa lapar membuat  refleksnya tumpul. Saat terhuyung ke depan, wajah pemuda itu langsung disangga  bogem mentah yang seketika itu juga melentingkan tubuhnya ke kiri.
Tangan  yang berusaha diletakkan di depan wajah agar tak mengenai bagian vital pun tak  berguna banyak. Beberapa kali pukulan bersarang ke wajah dan ulu hatinya hingga  ia muntah darah.
Tudung  di kepalanya terbuka memperlihatkan rambut pendek berwarna perak yang berkilau  di tengah kegelapan malam.
Tiba-tiba  deru angin datang mendekat. Semakin lama makin kuat dan berpusar. Gerakan lima  pria itu pun terhenti. Mereka keheranan menatap langit yang masih  memperlihatkan gemerlap bintang dan tak tampak akan ada badai.
Tak  disangka, pusaran angin berubah bentuk menyerupai tombak-tombak tajam yang  langsung menghunjam dada para pria bertubuh besar.
Darah  mencuar ke angkasa seperti pelangi kemerahan yang membias dengan sinar  keperakan purnama. Tubuh-tubuh besar itu pun teronggok ke tanah tanpa daya.
"Kenapa  banyak sekali orang pengecut yang hanya bisa mengeroyok orang lemah?"  Suara anggun terdengar memantul di antara deru angin.
Pemuda  itu mendongak.
Di  atas bangunan, berdiri seorang gadis muda dengan tongkat perak panjang yang  indah.  Bagian pucuk seperti bunga lili mekar berhias bunga mungil  putih yang seolah tumbuh di sela-sela kelopaknya.
Ada  sebuah lampion keemasan dengan tali berupa untaian mutiara menggantung pada  tongkatnya. Begitu ringan hingga bergoyang mengikuti irama angin. Bagian bawah  menggelayut sebuah tasel berwarna biru yang ikut menari.
Cahaya  purnama tak mampu mengalahkan betapa berkilaunya perempuan itu di tengah gelap  malam. Seperti sihir yang begitu menakjubkan sekaligus memesona.
Baju  yang didominasi warna perak, membuat rambut keemasannya terlihat mencolok. Kerah  tinggi berenda, baju lengan panjang dengan ornamen kebiruan di ujung, membuat  kesan manis yang tegas. Rok sepan pendek asimetris turut menutup kaki  jenjangnya.
Dalam  satu entakan, perempuan itu melompat ke udara dan meluncur mendekati pemuda  yang masih terpana menatapnya. Kain lebar yang menjuntai menutupi bokong hingga  ke betis turut berkibar ke belakang. Bagian kanan dan kiri dihias dengan  kibaran kain berujung oval. Semuanya berhias ornamen kristal biru yang elegan.
Sepatu  hak tinggi dengan sol tebal sama sekali tak mengganggu mobilitasnya. Perempuan  itu seolah melayang menunggangi angin.
Akhirnya  keduanya bersitatap. Perempuan itu mengamati sang pemuda dari ujung rambut  hingga ujung kaki. Ada sesuatu yang berbeda di sana. Sesuatu yang menarik  perhatiannya. Hal yang membuat debar jantungnya tak bisa lagi dikatakan tenang.  Kehangatan yang menjalar ke sekujur tubuh hanya karena memandang iris sewarna  api yang seolah melalap semua akal sehat yang dimiliki.
Meskipun  dengan pakaian compang-camping, wajah kusam dipenuhi memar, dan darah yang  mengalir di bibir, hal itu sama sekali tak memudarkan ketampanannya. Rambut  lurus halus keperakan yang membuat perempuan itu merasakan kerinduan yang tak  bisa terjelaskan. Ia ingin mengenal pemuda itu lebih jauh, lalu mencari tahu  apa sebenarnya rasa yang tiba-tiba menyeruak tanpa malu.
Wajah  pemuda itu tegas dan jantan. Tatapan yang tajam, tapi terlihat menyimpan  kekecewaan pada kehidupan. Dari postur yang tegap, penyihir itu bisa  membayangkan manusia di hadapannya memiliki tubuh yang cukup kuat.
Anehnya,  pedang yang terlempar ke tanah sudah terlihat berkarat dan tumpul. Penyihir itu  menyimpulkan, pemuda itu pasti bukan seorang pendekar hingga ia bisa babak  belur dihajar tanpa perlawanan berarti. Namun, tak dilihatnya tongkat sihir di  sekitar mereka. Apa ia benar-benar hanya rakyat biasa? Mungkin petani yang  terlatih mencangkul dan membajak sawah, tapi tak bisa berkelahi.
Pria  itu jauh lebih tampan dari yang disangkanya.
Satu  langkah lagi penyihir cantik itu mendekat. Ia ingin menuntaskan semua rasa yang  bercokol kuat di dadanya. Ini tak mungkin cinta. Ia tak pernah semenyedihkan  itu untuk jatuh cinta pada orang yang bahkan tak pernah dikenalnya.
Gadis  itu mendongakkan kepala, mengangkatnya tinggi-tinggi untuk berusaha menjaga  diri agar tak terlihat terlalu tertarik pada pemuda tampan itu. Ya … ia belum  pernah jatuh cinta lebih dulu. Jadi kali ini, ia akan membiarkan takdir  membawanya pergi. Dirinya berjanji akan membuat rasa ini tuntas.
Penyihir  itu tak ingin terombang-ambing rasa janggal yang mendadak hadir memenuhi  jiwanya. Entah akan ditiup hingga apinya membesar, atau justru diempas habis  hingga baranya padam tak tersisa. 
"Siapa  namamu?” Gadis penyihir itu tersenyum dengan sangat manis. Senyum tulus yang  sama sekali tak memiliki aura penggoda seperti yang biasa ia lakukan pada  buruannya.
"Agnis,"  balas pemuda itu sembari mengerutkan alis. Ia heran bagaimana seorang penyihir  angin yang terlihat kuat sampai peduli menanyakan namanya.
Senyum  merekah lebar. Tebakannya benar. Pemuda itu memang buruannya. "Baiklah  Agnis, aku Tatyana Reginaventia. Kau boleh panggil aku Tatyana." Penyihir  itu berkacak pinggang penuh kebanggaan.
“Terima  kasih banyak atas bantuan Anda. Saya benar-benar berutang budi.” Suara rendah,  tapi juga lembut terdengar.
Tatyana  tanpa sadar tersenyum. Mendengar pemuda itu bicara panjang rasanya  menyenangkan. Gadis penyihir angin itu ingin mendengar lebih banyak lagi.
“Kau  tak perlu terlalu formal bicara padaku. Panggil saja Tatyana.” Satu kerlingan  mata mengharapkan Agnis menuruti permintaannya.
“Ba-baik.”  Agnis membalas gugup. “A-aku berterima kasih, Tatyana."
Tatyana  bertepuk tangan sejenak. “Naaah … begitu lebih enak.” Ia mengangguk-angguk  puas.
“Lalu,  karena aku telah menyelamatkanmu, maka kau harus balas budi dengan membantuku  mencari Sayap Legendaris!”
Agnis  bahkan tak mampu membantah.
***
Author  Note:
Terima  kasih telah membaca. Salam kenal, saya Shireishou, biasanya  dipanggil Shirei atau Shi saja.
Ini  karya pertama di Cabaca. Deg-deg-an rasanya. Semoga bisa diterima, ya.  InsyaAllah ceritanya seru dan beda dari cerita Shirei yang lain.
Selamat  menikmati perjalanan Agnis dan Tatyana.
Btw,  kalau ada cast orang beneran, kira-kira siapa yang cocok buat mereka?