Sang Pemanah Matahari

Sang Pemanah Matahari

tisapinkluv

0

1518 Masehi

 

Laut Ionia–laut yang berada di selatan Italia, terhubung dengan Laut     Mediterania–membentang luas. Biru seluas mata memandang, ombak-ombak tenang bergulung, menyembunyikan kedalaman dan arus bawah air yang bisa menipu dan membunuh siapa pun yang terlalu lengah atau terlalu pongah. Cahaya matahari bersinar terik dengan awan-awan putih lembut bergumpal-gumpal, mengambang ringan di langit biru muda nan cerah. Cerah hari yang gagal mencerahkan wajah dan keadaan hati seorang pria paruh baya yang berdiri di puncak sebuah menara pengawas dari batu-batu gunung yang disusun melingkar membentuk tabung. Menara pengawas setinggi kira-kira bangunan tujuh lantai, tinggi, kukuh, mengancam, bagaikan raksasa yang menancapkan kakinya di karang-karang tepian laut, melaksanakan tugas utamanya: Mengawasi siapa yang pergi dan siapa yang datang.

Pria itu berdiri separuh membungkuk, kedua tangannya ditumpukan di jendela menara yang besar, napasnya berat setengah terengah seakan sedang berusaha mengangkat beban berat, matanya yang abu-abu bening bagaikan gelas kaca menatap lurus ke cakrawala di luar sana, ke batas antara langit dan laut. Pakaian tunik putih dengan ikat pinggang perak membungkus tubuh pendek gempalnya, dan kalung keemasan melingkar di lehernya. Rambut pria itu sudah semuanya memutih, tebal bergelombang, berjatuhan di wajah dan bahunya.

“Aku, Tashem, sudah melakukan kesalahan, kesalahan terbesar dalam hidupku. Maafkan aku, para dewa. Aku tidak seharusnya membuat perjanjian laknat itu dengan wanita nujum licik itu!” suara pria itu, Tashem, bergetar, menahan isak yang mendesak-desak untuk keluar. “Aku menyesal. Aku menyesalinya setiap hari dalam hidupku,” bisiknya dengan kepala tertunduk dalam. Lama ia hening dengan napas naik turun. Beban penyesalan yang mengimpitnya membuat tubuhnya semakin membungkuk.

Tiba-tiba, kepalanya yang tertunduk mendadak ia tengadahkan lagi, pucat wajahnya karena satu pikiran menakutkan melintas di benaknya, matanya nanar tak berkedip menatap cakrawala di kejauhan. “Mereka, para penghancur itu, akan datang! Kerajaan dari utara, dengan orang-orang berambut keemasan, bersihir gelap … akan datang … cepat atau lambat, mereka akan datang. Oh Valezar! Apakah kau akan cukup kuat?” suaranya bergetar hebat. Matanya masih membelalak menatap cakrawala, dan bisikan lirih keluar dari bibirnya. “Nankara.”

Tashem terhuyung-huyung berbalik badan, berjalan sedikit terseok menuju sisi belakang menara pengawas, lalu menjorokkan tubuhnya keluar dari jendela, menatap segala bangunan dan orang-orang yang sibuk dengan berbagai aktivitas di kejauhan bawah sana, semua yang begitu berharga baginya.

Valezar. Valezar yang ia cintai dengan hidupnya, segenap jiwa raganya.

Mentari musim panas memandikan vaerrim yang berdiri kukuh di kejauhan dengan binar-binar cahaya, hangat dan gemilang, membangkitkan sedikit semangat keberaniannya.

“Aku akan memastikan Yang Mulia baik-baik saja, aku akan mati demi Valezar. Aku telah melakukan kesalahan dengan melakukan perjanjian dengan wanita nujum bangsat itu. Semoga ada cara untuk memperbaikinya. Dan Nankara. Nankara, cepat atau lambat, akan datang dan perang akan menyapu Valezar! Aku harus kuat! Harus!” serunya sambil mengepalkan tangannya. “Matahari musim panas indah saat ini, tapi sebentar lagi musim gugur akan tiba. Matahari akan bersembunyi di balik awan, hari-hari abu-abu akan dimulai, angin dingin menggetarkan rusuk. Tapi matahari tidak akan pernah padam. Valezar akan baik-baik saja,” serunya lagi dengan suara lebih pelan, lebih lirih, lebih terguncang karena rasa takut pelan tapi pasti kembali menggerogotinya.

Dalam hening, akhirnya matanya hanya lekat, nanar, ke vaerrim.

 

***

 

Vaerrim. Vaerrim na aeroi, istana cahaya dalam bahasa kuno Valezar. Istana megah, dari batu pualam putih yang menjulang dengan menara-menara pengawasnya, terbagi dalam beberapa bangunan batu yang mengelilingi satu bangunan utama, bangunan tempat ruangan takhta berada. Istana yang diam-diam juga memiliki banyak jalan rahasia bawah tanah seperti labirin-labirin yang petanya tidak pernah tergambarkan, hanya dihapal di dalam benak orang-orang tertentu yang dipercaya penuh oleh raja. Labirin-labirin bawah tanah yang fungsi utamanya adalah untuk menyelamatkan raja di saat genting dan untuk strategi pertahanan.

Istana vaerrim, kedudukan penguasa-penguasa kerajaan Valezar, kerajaan kecil tapi kuat mempertahankan dirinya karena ketangguhan armada militer dan juga kekuatan magis nujum yang dimiliki orang-orang tertentu di lingkar satu takhta penguasa. Kerajaan ini terletak di lembah pegunungan Apennina di wilayah Italia bagian selatan, wilayah kekuasaannya dari lembah itu sampai ke daerah semenanjung yang berbatasan dengan Laut Ionia. Kerajaan dengan budaya adiluhung dan bahasanya sendiri yang berbeda dari bahasa yang digunakan kerajaan-kerajaan, republik-republik kecil yang berserakan di berbagai penjuru Italia saat itu. Ibukota kerajaan ini selama berabad-abad masyhur berada di kota Elidéra, yang berarti kota prajurit cahaya. Sebuah monumen akan kegagahan dan keberanian para raja-rajanya, sebuah peringatan akan kekuatannya pada kawan dan lawan, dan sebuah benteng pertahanan yang selama ini tidak pernah berhasil dijatuhkan musuh.

Penjagaan di kompleks vaerrim selalu sangat ketat, dengan barisan prajurit yang berbaris dalam kelompok-kelompok kecil, berkeliling mengamankan istana itu. Semakin penting bagian istana, semakin banyak pengamanannya, seperti di bangunan utama vaerrim. Hanya ada beberapa ruangan dalam bangunan utama itu, dengan satu ruangan berukuran hampir seluas lapangan bola. Ruangan takhta.

Ruangan itu beratap tinggi, dengan pilar-pilar persegi dari batu menjulang, lantai dan dinding batu yang di beberapa bagiannya ditutupi lembar kain berwarna hitam pekat berbahan bagus dengan sulaman emas busur dan panah di permukaaanya. Hari itu di ruangan takhta, malam sudah beranjak sangat larut, namun kegiatan belumlah berhenti. Udara musim gugur di luar yang merembes ke ruangan itu membuat udara di dalamnya menjadi lebih dingin, kabut malam yang mengambang masuk dari jendela-jendela besar di kiri dan kanan ruangan pelan-pelan turun menutupi ruangan, menjadi semacam tirai yang muram, kemuraman yang ditambah juga dengan kehadiran wajah-wajah tanpa senyum di ruangan itu. Gelap malam di ruangan itu berhasil diterangi dengan obor-obor besar yang diletakkan tergantung di dinding kiri, kanan, dan belakang ruangan takhta itu.

Ada berbaris-baris pria berpakaian prajurit dengan pedang yang menyembul di pinggang dan jubah-jubah mereka yang berwarna berbeda sesuai kepangkatan mereka.

Para pria itu berdiri dalam baris yang sangat rapi di hadapan sebuah singgasana, ada lima baris memanjang ke samping di sebelah kanan takhta, dan lima baris di sebelah kiri takhta. Tiap baris berisi sepuluh pria, dengan warna jubah yang berbeda. Jubah merah marun bersulamkan benang emas di sisi-sisinya yang paling depan, lalu berturut-turut di belakangnya biru tua, ungu, hijau tua, dan abu-abu yang paling belakang. Hanya satu pria yang tidak berjubah, seorang pria paruh baya yang berdiri tegap di baris paling depan, paling kiri. Ia berpakaian tunik putih, dengan ikat pinggang perak dan kalung keemasan melingkar di lehernya. Rambut pria itu sudah semuanya memutih, tebal bergelombang, berjatuhan di wajah dan bahunya, tubuh pendek gempalnya terlihat kuat, dan matanya yang abu-abu bening bagaikan gelas kaca tajam menatap ke depan dengan gurat-gurat khawatir yang jelas terpatri di wajahnya. Tashem.

Di hadapan mereka adalah sebuah singgasana emas yang megah, dengan ukiran besar berbentuk busur dan panah, dan ukiran emas matahari di puncak singgasana itu. Singgasana yang walau kosong namun tampak begitu mengancam dengan segala kekuatan tak kasat mata yang datang bersamanya. Takhta, kehormatan, dan kekuatan.

Walau wajah-wajah mereka menunjukkan kelelahan luar biasa, dan pakaian mereka yang tampak kusut dan kotor menunjukkan kalau mereka baru kembali dari medan peperangan, tapi para pria itu sunyi, tegap, menunggu.

Suara pekikan burung-burung hantu terdengar jauh di luar, sementara dingin ruangan takhta itu menggigit di dalam.

“Ia membantai semua. Semua, kau tahu, Rodan?” bisik satu pria berjubah merah di baris kiri depan pada satu pria lain di sampingnya.

“Aku bergidik, Salloth. Sepuluh pemimpin pemberontak yang telah menjadi mata-mata Danaara, semua dipenggal dan kepalanya ditancapkan di tonggak-tonggak di luar istana gubernur provinsi Direia. Yang Mulia melakukannya dengan tangannya sendiri … ” balas Rodan dengan napas tercekat.

“Untuk sesaat kupikir ia sudah kalap karena pemberontakan di Dataran Direia yang mendapat dukungan Danaara sepertinya mendapatkan lebih banyak dukungan sekali ini dari rakyat di sana,” suara Salloth serak.

“Danaara … kerajaan laknat satu itu! Mereka harusnya tahu mencoba merebut Dataran Direia dari Valezar adalah kesalahan mematikan!” napas Rodan memburu menahan amarah.

Tiba-tiba, dua pintu dari kayu ek yang masif, pintu ruangan takhta itu, berderak dan pintu perlahan-lahan membuka. Salloth dan Rodan tergagap terdiam, langsung menatap lurus ke depan lagi.

Dua pintu kayu megah itu didorong dari luar oleh seorang pria muda yang menggunakan kedua tangannya dan kekuatannya untuk memastikan pintu berat itu terbuka.

Suara derak pintu semakin keras dan pintu itu terbuka lebar, dan sang pemuda melangkah masuk dengan langkah tegap. Sekendi tuak tampak menggantung di ikat pinggangnya, kendi tuak yang langsung ia ambil begitu ia memasuki ruangan itu.

Satu persatu barisan pria berjubah menunduk memberi hormat ketika pria muda itu lewat di hadapan mereka.

Pria muda itu, Raja Varthan Vazére, pemangku takhta kerajaan Valezar, penguasa istana vaerrim, bergelar sang pemanah matahari. Sang pemanah matahari, gelar kehormatan setiap pemangku takhta Valezar, berasal dari legenda bahwa raja pertama Valezar pernah memanah matahari dengan panah dan busur keramatnya–xandkarade–membangunkan sang surya dari tidur panjang, dan membawa musim semi nan indah di Valezar, menyelamatkan rakyat dari kelaparan karena salju yang terus turun dan panen yang gagal karena udara beku. Panah dan busur keramat itu tersimpan di dalam tubuh sang raja, dan hanya bisa dikeluarkan dengan mantra khusus. Panah dan busur magis berkekuatan besar yang akan keluar sendiri dari tubuh sang raja jika sang raja gugur, dan langsung dimasukkan ke tubuh penerusnya dengan bantuan orang paling terpercaya sang raja sebelumnya. Panah dan busur yang tidak pernah boleh jatuh ke tangan iblis karena kekuatan dan magisnya yang begitu kuat bisa digunakan untuk menghancurkan dunia manusia.

Sehingga gelar lengkap sang raja adalah: Varthan Im Erenai Vazére, Aldan Irandéra Xandkarade, Aldan Irahanad Xandkaar– Varthan dari Dinasti Vazére, sang pengendali xandkarade, sang pemanah matahari.

Raja Varthan melangkah tegap menuju singgasananya, tatapannya lurus ke depan tanpa memedulikan barisan demi barisan pria berjubah yang memberinya hormat, kendi tuaknya ia angkat dan ia minum beberapa teguk besar tuak keras dari dalamnya. Ia sudah sangat terbiasa dengan segala hormat kuasa, segala yang kini menjadi seperti rutinitas baginya.

Sang raja bertubuh tinggi tegap, setidaknya 190 cm, kekar terbentuk karena gemblengan fisik luar biasa keras yang ia terima dari masa kecilnya. Pakaiannya hitam pekat dengan jubah juga hitam pekat bersulamkan panah busur keemasan, jubah dari bahan bagus yang berkibaran pelan di belakangnya ketika ia berjalan. Ia tampak mengenakan seuntai kalung panjang keperakan dengan bandul emas berbentuk matahari.

Wajahnya sebagian tertutup sebuah topeng yang menutupi bagian kiri wajahnya, dari bagian kiri hidungnya sampai telinga kirinya, rahang dan sebagian lehernya. Topeng itu terbuat dari bahan metal, berwarna hitam pekat kelam. Rambut hitam pekatnya bergelombang, gondrong sebahunya, sebagian jatuh di keningnya, dan sebagian ia biarkan berjatuhan di bahunya.

Cipratan darah tampak di pipi dan lehernya, dan ada bekas sabetan di jubahnya.

Raja Varthan berdiri terpaku di depan singgasananya, menghela napas berat, melempar kendi tuaknya sehingga kendi itu hancur berkeping dengan suara menggaung di ruangan luas itu, dan berbalik menatap pejabat-pejabat militernya.

“Pulanglah kalian semua. Keluarga kalian pasti sudah sangat menanti. Kita sudah ke dataran Direia selama dua minggu,” ucapnya dengan helaan napas berat lagi.

“Kita menang lagi, Yang Mulia!” seorang jenderal berjubah merah, Rodan, berteriak dengan kilat bangga di matanya. “Kau bahkan tidak harus mengeluarkan xandkarade!” lanjut Rodan.

Varthan nanar terdiam. “Xandkarade adalah panah dan busur keramat raja-raja penguasa Valezar, aku tidak akan menggunakannya untuk membasmi pemberontak-pemberontak kelas tikus-tikus got,” ucapnya pelan, matanya tajam menatap Rodan yang kini mengkerut. “Kita memadamkan pemberontakan Direia sekali ini. Aku yakin akan ada keparat-keparat yang akan mencoba lagi lain kali. Dataran Direia akan selalu menjadi sumber konflik Valezar dan Danaara selama Danaara masih ada di muka bumi ini,” lanjutnya, lalu ia mengangguk pelan, dan berujar lagi, “Pergilah. Pulanglah kalian semua. Besok kita bicara lagi …” suara yang jelas lelah dari sang raja.

Para pria berjubah itu mengerti, dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuh mereka pada sang raja, dan satu persatu berlalu dengan langkah bergegas. Rumah mungkin adalah hal terindah di benak para pejabat itu saat ini.

Hanya satu pria yang masih belum beranjak. Tashem. Helaan napas beratnya terdengar dengan sisa-sisa dahak di tenggorokannya yang memecah hening ruang takhta itu.

“Pulanglah, Paman Tashem,” suara sang raja bergetar tanpa menoleh dari takhtanya.

“Varthan, membantai pemimpin-pemimpin pemberontak dengan cara seperti itu … ide bagus. Kau memberi rasa takut pada pendukung-pendukung mereka … ” Tashem terdiam, membiarkan ujung kalimatnya mengambang, lalu melangkah mendekat ke sang raja. Pria paruh baya itu akhirnya berdiri selengan di belakang raja, menelan ludah, dan berkata dengan nada rendah, menunjukkan keseriusan dan kekhawatiran yang menggulungnya, ”Dan kita harus bicara mengenai Nankara, kerajaan misterius dari utara dengan orang-orang berambut keemasan, berkekuatan sihir gelap, yang telah menaklukkan beberapa kerajaan di pesisir barat dengan cara luar biasa keji … ” ucap Paman Tashem serak. “Nankara akan datang ke kita. Kau tahu itu, Varthan. Urusan Danaara belum selesai, Nankara akan datang.”

Varthan diam. Paman Tashem berjalan mendekat, berdiri di samping sang raja, dan sang raja menghela napas berat. “Tidak malam ini, Paman. Tidak sekarang. Nankara adalah urusan esok.” Varthan membuang muka, melanjutkan dengan lirih, “Aku sudah lelah.”

Tashem ingin menyanggah, tapi tidak jadi, dan hanya menghela napas, mengangguk pelan, dan Varthan membuka mulutnya lagi, “Paman Tashem, kau adalah orang terdekat, terpercayaku … terima kasih atas dukunganmu selalu. Kau orang yang kupercaya dengan hidupku.”

Tashem tidak bereaksi dan hanya mengangguk lagi dengan kerut semakin dalam di wajahnya sebelum berkata lirih, “Kau, Varthan, adalah keponakanku, putra almarhumah kakak kandungku, satu-satunya keluarga sedarahku yang masih hidup. Tentulah aku akan mendukungmu, menjagamu. Tapi aku sangat khawatir mengenai Nankara. Mereka … ”

“Paman, aku mohon. Tidak sekarang. Nankara bisa kita bicarakan besok. Hari ini Danaara. Besok Nankara.”

Sentakan kalimat Varthan membuat Tashem gelagapan menelan kalimatnya lagi dan mendengus sambil menatap lantai. Varthan membuang muka, dan keduanya terdiam untuk waktu lama, sebelum akhirnya Varthan mengangkat kedua telapak tangannya, mengusap-usap wajahnya, menggelengkan kepalanya. “Pulanglah ke rumahmu, Paman. Keluargamu pasti

sudah menanti. Aku tidak ingin berbincang saat ini.”

Mata Paman Tashem terpaku pada satu rajah di pergelangan tangan kiri Varthan. “Rajah itu … kau merajah dirimu sendiri …” bisiknya.

“Aku sudah menceritakan padamu mengenai mimpiku itu, Paman. Rajah ini memastikan aku tidak akan lupa pada … mimpi itu. Aku tidak mau lupa.”

Wajah Paman Tashem berkerut, ia seorang peramal ulung dengan kemampuan sihir yang juga cukup mumpuni, rajah di pergelangan tangan kiri Varthan itu entah mengapa membuatnya merasa bergidik, namun anehnya, juga merasakan tenang. Ia tidak yakin apa sesungguhnya maknanya. “Aku pamit sekarang. Aku akan mencoba menerawang, mencoba mencari tahu apa makna sebenarnya mimpimu itu, Varthan,” gumamnya sebelum akhirnya menganggukkan kepala tanda hormat pada sang raja, berbalik, dan melangkah gontai menjauh, keluar dari ruang takhta itu.

Dan Varthan sendiri lagi di hadapan takhtanya.

Tubuh tegapnya kaku berdiri untuk beberapa saat, ruangan takhta yang luas dan sunyi membuat napasnya sesak. Selalu.

Bau amis cipratan darah di wajah dan lehernya memualkannya dan ia tergagap, bergegas, hampir berlari, menuju salah satu jendela, dan menjorokkan tubuhnya keluar, megap-megap mencari udara segar.

Keringat bercucuran di wajah sang raja di malam yang dingin itu.

“Yang Mulia … ” tiba-tiba suara lembut manis terdengar. Varthan kalang kabut menarik tubuhnya masuk, berbalik cepat, dan menghela napas melihat siapa yang datang.

Seorang wanita berparas cantik menawan, dengan mata kehijauan dan rambut lurus hitam yang tergerai sampai pinggang rampingnya melangkah santai mendekat ke arahnya. Kulit wanita itu putih mulus seperti susu, bibir merah ranum merekah, dan pakaiannya semacam gaun yang tipis berwarna merah gelap dengan belahan dada yang sangat rendah, memperlihatkan keindahan tubuh yang membayang di baliknya, membangkitkan fantasi liar setiap laki-laki yang melihatnya.

“Aku tidak memanggilmu, Roxana,” lirih suara Varthan, memalingkan wajahnya dari tubuh indah dan paras jelita tiga lengan di hadapannya.

Roxana tidak menghiraukan sang raja, dan berjalan semakin mendekat dengan langkah gemulainya. “Aku dengar kau baru saja kembali dari membasmi para pemberontak di Direia. Awalnya aku pikir aku akan mengirimkan penari-penari paling cantik dan paling terlatih untuk menghiburmu. Tapi Yang Mulia tidak pernah mau melihat tarian-tarian. Jadi aku pikir, mungkin aku, wanita nujum vaerrim ini, ingin mencoba menghiburmu … melemaskan otot-ototmu yang lelah … menemanimu di malam yang dingin ini …” suara berdesah Roxana begitu manis terdengar.

Varthan terhenyak. Bukan pertama kalinya Roxana mencoba menggodanya. Ia selalu menghindar, menolak. Bukannya ia tidak tahu reputasi si wanita nujum utama di vaerrim ini. Sudah beberapa jenderalnya yang rumah tangganya rusak gara-gara Roxana. Pamannya, Paman Tashem, orang yang paling ia percaya di muka bumi ini, yang juga mengerti sihir, adalah orang yang melindunginya dari sihir guna-guna Roxana yang ingin menaklukkan hati dan tubuhnya dengan sihir peletnya.

Tapi malam ini berbeda. Malam ini ia lelah, sangat lelah.

Ia kesepian.

Ia hanya ingin ditemani ….