Bunyi alarm mengejutkanku. Tangan kanannya masih erat memeluk di dadaku. Tangan yang begitu lembut tiap kali menjamahku. Aku segera bangun, meraih handphoneku dan mematikan alarm. Jam empat pagi. Dia masih terlelap dalam tidurnya. Masih dengan senyumnya yang begitu menawan, setidaknya untukku. Dia kelelahan setelah pertempuran yang melelahkan untuknya.
Tenaganya cukup bagus walau dia tidak terlalu mengutamakan olah raga. Di perutnya tak ada six pack, dan dia juga tak mau berusaha untuk memilikinya. Targetnya bukan six pack, tapi six houses. Dia lebih ingin punya enam rumah mewah, daripada susunan otot seperti tumpukan batu di perut.
Penampilannya pun terlalu biasa-biasa saja dengan wajah yang tak pernah dirawat di salon untuk seorang bujangan yang masih berjuang mencari pasangan hidup. Rambut lurusnya hanya disisir ke belakang, tanpa minyak rambut atau jelly yang seharusnya dia gunakan agar wajah biasa-biasanya itu bisa terlihat sedikit lebih manis. Usianya sama denganku, tiga puluh tahun.
Pakaianku berserakan di lantai. Kamarnya mewah bagiku, setidaknya jika dibandingkan dengan kamarku. Kekurangan yang ada di kamar ini hanya satu, tidak ada gantungan pakaian. Dia melemparkan celana dalamku sampai jauh ke pintu, dan aku tertawa melihat dia melakukan itu. Dia selalu melakukannya sejak kencan pertama kami, dan selalu di kamar ini. Kamarnya.
Setelah selesai aku berpakaian, dia masih saja tidur. Sebenarmya aku ingin sekali dia terbangun. Karena di jam empat pagi, adalah waktu paling keras bagi seorang lelaki. Itu fitrahnya. Tuhan sudah, menciptakan lelaki seperti itu.
Aku memandangi diriku yang ada di kaca. Semua tampak seperti saat aku datang sore tadi, seperti gadis rumahan. Aku mendekatinya. Ada sedikit harap di hatiku, dia terbangun dan langsung menarikku kembali ke dalam pelukannya. Tidak. Itu tidak terjadi. Dia tetap pulas mendengkur.
Yang paling aku sukai dari dia adalah kulit putih bersihnya, selain uangnya yang banyak. Dia unik. Banyak uang, tapi tak ada yang dia hambur-hamburkan. Selain menghamburkannya untuk aku. Itu pun dengan kencan semalam yang menyenangkan.
Jika pelacuran yang anda tahu hanyalah sebuah lokalisasi remang-remang yang ada di pinggiran rel kereta api atau di bantaran sungai dengan kamar-kamar berdinding triplek dan seng berkarat, sempit dan pengap, dengan penjaga pintu seorang preman tua jelek dan perokok, sebaiknya ketahui juga yang seperti ini.
Pasti banyak yang belum tahu, kalau pelacuran sangat banyak dilakukan dengan cara seperti ini. Si pelacur masuk ke dalam rumah dengan mobil si pemilik rumah. Tidak akan pernah ada penggerebekan warga, ataupun petugas yang berwajah sangar dengan pentungan besar. Yang ini bukan pelangganku satu-satunya yang minta dilayani di rumahnya sendiri.
Di meja sudah dia siapkan uang untuk pembayaran jasaku. Lima lembar, seperti biasanya. Dan selembar kertas bertuliskan menikahlah denganku, aku akan menerimamu apa adanya.
Sudah tak terhitung lagi pesan-pesan serupa itu dalam pekerjaanku yang kotor ini. Semua orang yang menggunakan jasaku, awalnya bersikap baik. Manis dan tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa arahnya akan berubah suatu hari nanti. Hanya saja, pengalaman menuntunku untuk tidak mudah percaya pada janji-janji lelaki yang diucapkan di atas tubuhku. Aku hanya perlu melihatnya lebih dalam lagi lelaki ini.
Sejauh ini, dia adalah yang paling baik sikapnya. Dia juga sudah punya rumah sendiri yang bagiku ini sudah cukup mewah. Sebenarnya ada beberapa orang yang lebih kaya dari dia, tapi dia yang paling aku sukai, dan sayangnya setiap kali aku menyukai lelaki, selalu saja salah.
Setelah hampir dua tahun melayaninya, aku jadi banyak tahu tentang dia. Tidak hanya sekedar tahu namanya. Dia Suryo, Bekerja di departemen keuangan. Gajinya juga besar. Anak tunggal dari keluarga miskin, dimana kedua orang tuanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Lelaki seperti ini, tentu sempurna untuk dijadikan suami. Hal itu yang membuatku heran, apa benar dia menginginkan aku? Seorang pelacur.
Atau bisa saja, itu hanya sebuah rayuan, dimana setelah aku mau jadi pacarnya aku akan terikat erat hanya padanya, lalu semua kulakukan dengan gratis untuknya. Aku tidak sebodoh dulu, dan aku harus benar-benar melakukan cek luar dalam jika aku benar-benar menginginkannya.
Dia satu-satunya pelangganku yang memberikan kunci rumahnya. Kapanpun aku bisa masuk ke rumahnya. Tapi tak pernah sekalipun kulakukan kecuali aku masuk bersama dia. Itulah sebabnya aku bisa pulang tanpa membangunkannya.