Runaway and Beloved

Runaway and Beloved

arlianiarsl

0

Detik-detik menunggu lift terbuka tak pernah selama ini bagi Rinjani. Gadis itu meremas ponsel yang layarnya masih menampilkan deretan pesan dari sang adik. Ibu mereka jatuh pingsan saat tengah masak di dapur majikannya yang sedang menyelenggarakan hajatan besar.

TING!

Bagai semut yang berarak cepat mengerubungi remahan biskuit di lantai, Rinjani menerobos keluar dari lift. Berlari kencang menuju pintu putar beberapa meter di depan. Jantungnya berpacu cepat, berimbang dengan banyaknya puluhan wartawan yang sabtu siang ini memenuhi lobi Monolithe Entertainment untuk konferensi pers.

Satu langkah akan mencapai pintu, kaki Rinjani keseleo hingga sepersekian detik tubuhnya membentur seorang wanita tiga puluh tahunan yang baru memasuki lobi. Seruan kesal bergema, sementara Rinjani terjerembab mencium lantai. Rinjani baru berhenti meringis saat menyadari sepasang stiletto putih di hadapannya, sudah ternodai cairan dari paper cup dengan merk kopi ternama. Seketika, pandangan manusia sekitar jatuh pada mereka.

SHIT!” Umpatan wanita di hadapannya membuat Rinjani meneguk ludah. Buru-buru ia berdiri dan membungkuk meminta maaf. “Ma-maaf, Bu. Saya enggak sengaja.”

“Kamu pikir dua puluh juta bisa diganti dengan sepatah kata maaf?” Suara wanita itu datar, namun penuh sindiran. Rinjani meremas sisi roknya yang sudah basah karena rembesan keringat, sebagian sisi yang lain kotor terkena percikan kopi.

Slip Dress hitam semata kaki yang dipadukan dengan jaket denim, jelas memperlihatkan wanita bergincu merah itu berasal dari golongan berkelas. Ketakutan membayangkan sosok yang sudah ditabraknya adalah klien perusahaan, Rinjani memohon lagi. “Saya benar-benar minta maaf, Bu.”

“Bersihkan sepatu saya.”

Bukan hanya dirinya, tapi Rinjani bisa merasakan tarikan napas dari beberapa orang yang berdiri di dekat mereka.

Melihat Rinjani hanya diam, wanita di depannya melipat tangan dengan dagu terangkat. “Tunggu apa lagi? Atau kamu mau ganti rugi?” Matanya memindai Rinjani dari ujung kepala hingga kaki. “Tapi, saya ragu kamu punya cukup uang.” Senyum ejeknya terukir.

Rinjani menggigit bibir. Dia harus segera ke rumah sakit, tapi keadaan sekarang mempertaruhkan pekerjaannya. “Saya akan bersihkan, Bu.” lirihnya, berusaha kuat menahan tangis. “Tapi, maaf ... apa boleh sepatunya saya bawa dulu untuk dibersihkan di rumah?”

“Kamu mau curi sepatu saya?”

Cepat-cepat Rinjani mengibaskan tangan. “Bu-bukan, Bu. Saya buru-buru harus ke rumah sakit, jadi …,” Rinjani menjeda, bingung memilah kata yang tepat agar wanita itu setuju dengan tawarannya. “boleh enggak sepatu Ibu dititip di sekuriti dulu? Saya bisa ambilkan sandal kantor buat Ibu pakai sementara. Nanti begitu saya balik, saya pasti langsung—”

“Bersihkan sekarang atau kamu saya seret ke kantor polisi!” Bentakan itu datang beserta stiletto yang tiba-tiba dihempas hingga mengenai perut Rinjani. Dalam sekejap, kilat puluhan kamera menujunya, membidik saat-saat ia sedang dipermalukan.

“Polisi tidak punya cukup waktu untuk mengurus laporan sepatu yang ketumpahan minuman, Bu Fara.” Suara seorang pria terdengar, layaknya angin surga yang entah mengapa melegakan hati Rinjani. Gadis itu menoleh ke asal suara, namun terhenyak mendapati sosok Arkantara berdiri di belakangnya.

Arkantara Prasadja. Founder sekaligus CEO Monolithe Entertainment, agensi artis yang berkembang sangat pesat di lima tahun berdirinya. Sosok dalam jangkauan langit bagi Rinjani, tapi hampir setiap hari nama lelaki itu mampir di telinganya. Decakan kagum untuk Arkan kerap dilontarkan para staf wanita. Pujian bangga pun tak luput dari para pegawai pria, saat Arkan berhasil mendudukkan artis-artis manajemennya di deretan nama tersohor yang Indonesia kenal.

“Masih banyak kasus penting di negeri ini yang harus polisi selesaikan.”

Rinjani meneguk ludah. Arkan tidak hanya terus mendebat wanita yang ia panggil Fara, tapi pria itu juga sudah berdiri tepat di sampingnya.

“Maksud Anda apa, Pak Arkan?” Fara terlihat kesal. “Saya klien Anda, lho. Kita bahkan janji meeting pagi ini. Tapi, Anda mempermalukan saya?” tanyanya, merendahkan suara di kalimat akhir.

“Yang saya lihat,” Mata Arkan mengitari para wartawan—yang masih sibuk mengabadikan peristiwa berpotensi viral dengan kamera mereka—sebelum menatap Fara kembali dengan senyuman. “dan orang-orang di sekitar kita lihat, Bu Fara yang justru mempermalukan pegawai saya. Jadi, tolong minta maaf padanya.”

“Pak Arkan!” Fara tampak geram. Hatinya bersumpah tidak akan mempermudah artis naungan Arkan yang berencana ia jadikan Brand Ambassador dari platform belanja online miliknya.

“Kalau Anda keberatan, saya juga keberatan melanjutkan kerjasama kita. Manajemen saya tidak butuh bekerja sama dengan seseorang yang tidak bisa memanusiakan orang lain.”

Perkataan Arkan membuat Rinjani spontan menoleh dengan mata membeliak, pun tak jauh berbeda dari Fara. Arkan tampak tidak peduli, setia dengan lengkungan senyum di bibir yang tidak kunjung pudar. Bahkan sebelum memberi kesempatan pada Fara untuk mengucap apa pun, lelaki itu berpaling menatap Rinjani. “Kamu bisa ke rumah sakit sekarang.”

“Bo-boleh, Pak?” tanya Rinjani terbata, entah karena masih dihinggapi takut atau karena salah tingkah diajak bicara oleh petinggi perusahaan untuk pertama kalinya.

Arkan mengangguk. “Saya yang akan membereskan masalah sepatu Bu Fara.”

Rinjani bergeming. Ia takut berbuat lancang, tapi senyum tulus Arkan membuatnya berterima kasih dan meminta maaf sekali lagi pada Fara, sebelum kemudian berlari keluar gedung.

Berdiri di busway yang penuh sesak, untuk menekan panik yang kembali mendera, Rinjani memutuskan menonton video konferensi pers dari peluncuran album kedua Cloud, satu-satunya boyband di Monolithe Entertainment yang sudah mendapat perhatian besar dari industri musik di kancah Asia Tenggara. Lucunya, fokus Rinjani selama tiga puluh menit durasi, lebih banyak terpaku pada Arkantara dibanding yang lain.

***

Senin pagi yang cerah. Selain waktunya gajian, ibu Rinjani juga sudah keluar dari rumah sakit setelah dokter mengatakan bahwa ibunya hanya mengalami anemia karena kelelahan. Sialnya, Rinjani terlampau larut dalam bahagia lantaran mengingat bantuan Arkantara di sabtu lalu, hingga lupa pada jadwal penagihan hutang yang terpaksa harus dilaluinya pagi ini sebelum berangkat ke kantor.

“Udahlah, Jani. Enggak usah menolak lagi.”

Bau kopi dari benda kecil yang mengeluarkan uap air ketika ditiup, menusuk penciuman Rinjani. Meski tak setajam aroma tembakau dari asap rokok biasa, vape dengan bau kopi selalu berhasil mengaduk perut Rinjani. Lebih mual lagi tiap matanya bersitatap dengan lelaki hidung belang yang terus mengisap rokok elektrik di hadapannya.

“Saya sudah bilang, kan. Kapan pun kamu siap jadi istri saya, semua hutang ayah kamu lunas. Sertifikat rumah ini bisa kamu dapatkan lagi. Kamu juga bisa dapat harta tanah dan perhiasan yang banyak, asal kamu mau melayani saya di atas ranjang.” Lelaki beruban itu mengedipkan sebelah mata yang ingin sekali Rinjani colok dengan linggis.

Rinjani menghela napas. Mengutuki takdir yang membuat ia terikat dengan Slamet Setyawan. Daripada terus mengincar perawan untuk dijadikan istri kelima, seharusnya lelaki tua keladi berusia lima puluh tahun itu memerhatikan kesehatannya agar cepat-cepat bertaubat.

“Tolong beri saya waktu sampai akhir minggu ini, Pak. Setelah saya gajian, saya pasti akan langsung bayar. Saya janji.”

Slamet mendengus, mungkin meremehkan janji Rinjani setelah dua bulan lalu berucap hal yang sama. Apa daya, uang tabungan Rinjani sampai bulan lalu hanya cukup membayar biaya semester kuliah Prasasti—adiknya. Belum lagi biaya rumah sakit ibunya. Gaji di bawah upah minimum Jakarta yang Rinjani peroleh, tidak cukup menyetorkan hutang sang ayah yang sudah lima tahun ini berusaha ia lunasi.

Seratus lima puluh juta bukan uang sedikit bagi Rinjani. Ditambah biaya hidup sehari-hari yang mencekik. Kalau saja sang ayah tidak menggadaikan rumah ke rentenir untuk memberikan uang hasilnya pada selingkuhan, Rinjani dan ibunya tidak akan pontang-panting membanting tulang.

“Ayolah, masa kamu enggak mau sama sekali, sih?” Rinjani melotot dan spontan menjauhkan tangannya yang baru saja dicolek oleh Slamet.

“Tolong bersikap sopan, ya, Pak.” Rinjani sengaja menekankan suara.

“Memangnya saya ngapain?” Lelaki kurang ajar itu tertawa. Ia semakin lancang ketika jarinya beralih memeluk pinggang Rinjani, membuatnya refleks dihadiahi sebuah tamparan di pipi.

“Sialan kamu!” Umpatan lelaki itu sama sekali tidak membuat Rinjani gentar, kedua tangan gadis itu justru mengepal di sisi tubuh.

“Kalau sampai akhir minggu ini saya enggak bayar, Bapak bisa ambil rumah ini!” Rinjani berdesis kesal, mengacungkan telunjuk ke arah pagar kayu rumahnya. “Tapi, sekarang Bapak bisa pulang! Atau saya akan teriak agar semua tetangga tahu kelakukan Bapak!” ancamnya.

“Teriak saja. Toh, kamu enggak punya bukti.”

Menahan amarah, Rinjani menggigit bibirnya untuk tidak mengeluarkan kata makian yang tertahan di ujung lidah.

“Jumat ini, ya! Bayar tunggakan dua bulan kemarin dan dua bulan berikutnya sekaligus! Kamu pikir satu juta tiap bulan cukup?” bentak Slamet. “Kalau kamu masih enggak bisa bayar, rumah ini jadi milik saya! Kamu dan ibu kamu yang bisu itu harus keluar dari sini!”

Rinjani mengangguk angkuh. Sekuat mungkin menahan desakan air di pelupuk mata. Sekian kali, hinaan dan perendahan harga diri yang ia dapatkan. Tatapannya yang semula menajam saat memantau pergerakan Slamet menuju pagar rumah, melemah begitu pria itu hilang dari pandangan. Rinjani mengusap wajah kasar. Berusaha menarik napas, melonggarkan dadanya yang kian sesak.

Harus sampai kapan ia melunasi semua hutang dari hasil ketamakan sang ayah? Kalau ayahnya mau kabur, kabur saja! Berpuas hatilah dengan wanita sejenisnya yang sama-sama calon penghuni neraka karena sudah merusaki rumah tangga orang! Persetan juga dengan sikap lelaki itu yang tidak lagi bertanggung jawab atas Rinjani dan adik-adik. Tapi, kenapa ia meninggalkan masalah yang harus anak-anaknya selesaikan?

SIAL!

Tepukan di pundak membuat Rinjani tersentak. Kelegaan luar biasa mengaliri dadanya begitu melihat sosok Ratih. Wanita yang diberi kekurangan tidak mampu berbicara, tapi punya hati begitu baik.

“Ibu, kok, keluar? Badannya, kan, belum sembuh total.” keluh Rinjani.

Ratih tersenyum, meletakkan jari telunjuk dan tengah yang saling diapit ke dekat telinga sebelum menyatukan ujung jempol dan telunjuknya di depan dada, menyampaikan bahasa isyarat yang mengartikan ‘ibu baik-baik saja’.

“Hari ini Ibu enggak usah kerja, ya. Jani tadi udah telepon Bu Susi untuk minta izin libur buat Ibu.” Guna membantu tambahan uang, Ratih kukuh bekerja menjadi tukang masak di salah satu rumah tetangga yang cukup kaya.

Mendapati wajah memelas Ratih, Rinjani tersenyum. “Ibu enggak usah pikirin masalah hutang ayah. Bulan ini biar Jani yang tanggung semua. Jani dapat bonus tambahan, kok, dari kantor.”

Demi Tuhan, hati Rinjani tercubit melihat ibunya mengangguk—seakan ikut bahagia dengan kinerja anaknya. Masalahnya, Riko—manajer divisinya— selalu punya alasan untuk membuat Rinjani tidak mendapatkan uang bonus.

Pernah Rinjani menyampaikan protes, tapi malah berakhir diancam pemecatan. Meski berkali-kali ingin keluar dari Monolithe Entertainment karena Riko, Rinjani tetap takut membayangkan dirinya tidak bisa cepat mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang sama. Usianya terus bertambah, sementara mencari pekerjaan yang ideal di zaman sekarang bagai usaha menggali sumur dengan sendok. Harus sabar.

PING!

Rinjani membuka layar ponselnya yang baru saja berdenting. Mulutnya membuka, terperangah. Satu pesan dari Sarah, sekretaris Chief Brand Officer di kantornya, nyaris melepaskan bola mata Rinjani dari rongga.

Sarah:

Lo di mana, Jan? Buruan ke kantor! Pak Dipta marah besar!

Dia mau ketemu Lo sama Pak Riko!


TO BE CONTINUED