Rumah Tangga Retak Karena Anak

Rumah Tangga Retak Karena Anak

chrrysd

5

"Lihatlah semua teman-teman mama."

"Mereka sama-sama sudah menggendong cucu."

"Mama kapan, Fik?"

"Kalian sudah menikah selama tiga tahun. Tapi, masa masih belum terdapat tanda-tanda, sih?"


Ketika disidak ibunya malam-malam, Fikri memilih untuk membisu. Meski demikian, mendesah di dalam hati diam-diam malah sudah dilakukan.


Di ruang tamu kontrakan, suasana masih terus memanas. Awalnya, Mama Mita sebatas mampir ke kediaman anak beserta menantunya untuk memberikan oleh-oleh sehabis berkunjung ke rumah mertuanya bersama suami keduanya. Akan tetapi, Mama Mita malah berakhir bersitegang dengan anak dari suami pertamanya.


Mungkin, akan lebih baik apabila Mama Mita tidak usah datang saja. Fikri teramat kasihan kepada Aida mengingat selalu dijadikan sasaran empuk atas sikap semena-mena ibunya. Dia sampai sengaja menyuruh istrinya untuk tidak keluar kamar karena sudah sempat menebak-nebak sebelumnya. Tapi, bukankah Aida masih dapat mendengar percakapan Fikri dengan Mama Mita?


"Sudahlah."


"Tinggalkan Aida," ucap Mama Mita dengan dipenuhi provokasi, "kalau istrimu tidak bisa memberimu keturunan, kenapa masih harus dipertahankan?"


"Atau, ...."


"Menikahlah lagi."


"Ma," ucap Fikri dengan nada memprotes. Mengetahui bahwa Mama Mita sering bertindak grusa-grusu, bagaimana Fikri bisa tidak kesal?


"Yang mewarisi darah mama cuma kamu, Fik. Jika kamu menolak untuk memiliki penerus, maka sama artinya dengan melenyapkan mama," tambah Mama Mita, entah kapan akan diakhiri.


Memiliki satu anak kandung membuat Mama Mita terus mengejar-ngejar Fikri untuk segera mempunyai momongan. Meski suatu hari nanti bisa mendapatkan cucu dari Aris, anak tirinya, Mama Mita tetap mengharapkan cucu dari Fikri. Di sisi lain, Aris belum menikah karena masih berkuliah dan sekarang sedang mengerjakan tugas akhir. Masa Mama Mita diminta untuk menunggu selalu?


Keinginan Mama Mita bukan tidak bisa dimengerti Fikri. Masalahnya, Fikri selalu menanggung dilema di antara dua kondisi. Di satu sisi, ketika melihat Mama Mita tidak memiliki buah cinta dari pernikahan kedua, Fikri memang harus memikul tugas berat untuk mewariskan darah keturunan ibunya. Di sisi lain, Fikri masih harus menghormati Aida mengingat Fikri sudah bersepakat dengan Aida kalau akan sabar menunggu hingga istrinya tersebut merasa cukup memiliki kesiapan untuk mempunyai anak dengannya.


"Mengertilah, Ma," kata Fikri dengan irama memohon.


"Apakah tidak terbalik?"


"Yang harusnya mengerti tuh kamu."


"Ma."


Ketika Fikri akan menyela, Mama Mita sudah mendahului dengan berseru menggunakan intonasi menuntut, "Fik, tidak bisakah kamu memahami mama sekali saja?"


Di dalam hati, Fikri memilih untuk membatin sampai tandas, "Kapan aku tidak pernah memahamimu, Ma? Di dalam seumur hidupku, aku baru sekali menentang mama. Yaitu waktu aku menginginkan untuk hidup mandiri setelah menikah."


Malas dengan kebungkaman Fikri, Mama Mita sudah kehilangan ketertarikan untuk meneruskan obrolan. "Lebih baik, mama pulang saja," katanya dengan suara terdengar ketus.


Mendadak dan tanpa disertai dengan aba-aba, Mama Mita meraih tas hitam di sisi sofa sebelah kanan untuk diatur supaya bagian talinya melingkari bahu kanannya. Lalu, Mama Mita segera berdiri tegak dengan sempat menatap sengit ke arah Fikri sebelum meninggalkan rumah kontrakan Fikri dan Aida tanpa mengenal permisi, bahkan Fikri tidak diberikan waktu untuk sekadar mencium tangannya.


Melihat hari sudah cukup malam, Fikri memilih untuk menutup pintu masuk utama rapat-rapat. Di sini, Fikri tidak terlalu khawatir kepada ibunya. Mama Mita masih aman untuk balik sendirian karena jarak rumah kontrakan Fikri dengan rumah Mama Mita tidaklah seberapa. Malah bisa ditempuh dengan waktu kurang dari tiga menit kalau menggunakan motor. 


Pada saat sedang melangkah ke arah kamar, sebelah tangan Fikri terangkat untuk memijat dahinya sekilas. Di dalam kamar bernuansa serba biru muda, Fikri melihat bahwa Aida tengah berbaring miring dan menghadap ke tembok.


Meski terlihat tenang, Fikri yakin benar kalau Aida Zahra masih terjaga dan kemungkinan memang karena berniat untuk menunggu hingga Fikri dan Mama Mita selesai berbicara.

"Apakah kamu akan meninggalkanku seperti perintah mama?"


Ketika Fikri baru menaiki kasur sebentar dan berencana untuk berbagi selimut dengan Aida, Fikri malah disambut dengan sebaris pertanyaan tersebut. Lalu, tidak sampai berselang lama, Aida memutuskan untuk membalikkan badan supaya bisa menghadap ke arah suaminya. Di saat-saat sorot mata mereka saling beradu, Aida berusaha meneruskan dengan susah payah, "Atau, ...."


"Kamu malah akan mencari madu, Mas?"

Menanti balasan, Aida langsung dihadapkan dengan keheningan. Menatap manik mata Fikri lekat-lekat dengan pandangan sedikit berkunang, kesabaran Aida bisa dipastikan sudah mulai tergerus.


"Jawab aku, Mas."


Fikri lantas menggeleng dengan gerakan pelan. "Tidak, Aida."


Mengharapkan Aida dapat memercayainya sepenuhnya. Dia masih sama seperti dahulu, belum dan tidak akan pernah berubah. "Aku tidak akan mengkhianatimu."


Meski sudah mendapatkan balasan bermakna positif, Aida malah tidak tergerak untuk membuka mulutnya. Mungkin, Aida sedang teramat kelelahan sehingga bisa kurang bersemangat untuk bermain kata.


Akibat terlalu bergelut dengan pikiran sendiri, Fikri merasa habis diingatkan semesta kalau sudah berkali-kali menegaskan bahwa Fikri tidak akan sampai hati untuk menyakiti istrinya. Meski harus selalu mengenakan kontrasepsi setiap berhubungan dengan Aida, Fikri tetap senang karena bisa dilayani Aida.


"Mas."


Atas berkat suara merdu Aida, Fikri langsung tersadar dari lamunan dan menyahut ringkas, "Iya?"


Melihat Fikri memilih untuk mengenakan kaus berbahan tipis, Aida tergerak untuk bertanya, "Apakah kamu tidak kedinginan?"

Pertanyaan Aida membuat Fikri merasa nyaman. Yang mana, ketegangan semula seperti tidak pernah dirasakan olehnya sebelumnya.


"Aku kedinginan," kata Fikri seraya tersenyum. Lalu, Fikri lantas tercetus gagasan untuk menggoda Aida. "Tapi, bukankah kamu bisa membantuku untuk menghangatkanku?"


Mendapati Fikri sampai main kode-kodean dengan mengedipkan sebelah mata, Aida langsung mengetahui maksud Fikri. Meski tahu, bukan berarti Aida akan segera menghambur kepada suaminya. Memilih untuk memalingkan wajah cantiknya. "Apaan, sih, Mas," ujarnya dengan ekspresi tampak sedikit kecut.


"Sudah, ah," Aida mengambil posisi tiduran telentang dengan sebelah tangan digunakan untuk meraih selimut, akan dibenahi supaya dapat menutup badannya dengan betul. "Aku mau tidur sekarang."


Masalahnya, Fikri bergegas mencegah. Karena Fikri sedang menginginkan Aida. Yang sudah dibuktikan dengan tatapan mendamba dan penuh cinta. Pada saat-saat tersebut, memang tidak dapat dipungkiri bahwa Fikri teramat memuja Aida.

Tapi, apakah Aida bisa melakukan tindakan serupa? Tidak. Yang terburuk, ketika Fikri sudah akan mengarah ke menu utama, Aida malah harus menahan dada Fikri.


"Tunggu, Mas," ucap Aida, tanpa berniat untuk memberikan akses kepada Fikri untuk berbuat lebih, "kamu tidak boleh sampai kelupaan. Aku bantu carikan."


Ibarat sedang terbang di atas awan, Fikri layaknya habis dijatuhkan secara tiba-tiba. Melihat Aida beringsut dari kasur untuk menggeledah semua laci dari lemari nakas di samping tempat tidur, bisa dibilang Fikri sudah kehilangan minat untuk meneruskan.


"Duh, Mas," ucap Aida, tetap berusaha mencari sebuah barang, barangkali masih tersisa satu, "ternyata sudah habis."


Menduduki tepian kasur, Aida menoleh untuk menatap suaminya dan berucap dengan kesan menyuruh, "Mas Fikri ke minimarket dulu, gih."


"Istirahatlah," ucap Fikri selama tiduran telentang dengan salah satu lengan ditaruh di atas keningnya. Akan mencoba memejamkan matanya. "Aku sudah tidak menginginkan."


"Tapi, Mas."


Jika tidak mendengar suara bernada dingin dari mulut suaminya, Aida tidak akan sampai merasa bersalah seperti sekarang. Alhasil, Aida memutuskan untuk berbaring miring di sebelah Fikri. Lalu, bagaimana dengan Fikri? Menahan untuk tidak memikirkan nasib sendiri, Fikri berusaha untuk membuka mata dan tersenyum seraya menoleh ke arah Aida dengan sebelah tangan digunakan untuk mengusap kepala Aida sambil bergumam lembut, "Tidurlah."


Aida tidak memiliki pilihan selain menuruti suaminya. "Iya, Mas," kata Aida seraya mengambil posisi ternyaman untuk terlelap.

Meski tampak tenang, Fikri bisa merasakan bahwa hatinya sedang bagaikan cacing kepanasan selama menambahkan tanpa dilisankan, "Kamu tidak akan melayaniku tanpa adanya pengaman."


Apakah Fikri bersedih karena kendala tersebut? Jelaslah. Yang membuat Fikri semakin nelangsa: Aida cenderung bersikap pasif setiap disentuh olehnya dan enggan berinisiatif untuk membalas. Pasrah? Adalah bahasa ringkasnya. Membuat Fikri seolah-olah tengah memaksa Aida di bawah suatu tekanan atau ancaman.


Aida tidak menginginan Fikri sebesar Fikri menginginkan Aida. 

Dulu, Fikri sudah merangkai sebuah skenario buruk. Yaitu menyangka bahwa secara berangsur-angsur Fikri akan dapat memiliki hati Aida dengan memiliki raga Aida terlebih dahulu.


Benarkah Fikri sudah bertingkah konyol? Begitulah. Andai Fikri tidak berpegang kepada teori bodoh tersebut, barangkali Fikri tidak harus sampai menderita karena terlalu berharap.


Di masa-masa mereka mengarungi bahtera rumah tangga, Fikri tentu sudah mengetahui. Yang mana, Fikri baru bisa mendapatkan senyuman dari Aida—belum tentu dapat dipastikan tulus—kalau mampu mengorbankan usaha bernilai mahal. Yang dilakukan Aida selama mereka menikah sekan-akan cuma untuk balas budi kepada Fikri. Pasalnya, Fikri sudah berhasil membebaskan Aida dari neraka berkedok rumah dengan mendatangkan rasa aman beserta nyaman untuk Aida.


***


Pagi hari, Aida sudah bersibuk-sibuk di kawasan dapur untuk menyiapkan sarapan sekadarnya, berupa roti bakar dicampur dengan telur dan saus. Anehnya, Aida terus-menerus merasa mual. Mungkinkah tubuh Aida memang sedang kurang prima?

Mengingat kondisi badan, momen memasak roti bakar dilakoni Aida dengan sedikit ugal-ugalan karena serba diburu-burukan. Apakah sudah cukup sampai di situ? Tidak.


Ketika mengangkat piring berisi mahakaryanya barusan untuk dibawa ke meja makan, langkah kaki Aida malah bisa dibilang meresahkan mengingat Aida seperti kehilangan keseimbangan. Lalu, bermula dari sesuatu di dalam lambung masih terus bergejolak, Aida berlari ke arah wastafel dengan sebelah tangan difungsikan untuk membekap mulutnya sebagai tindakan menahan supaya tidak muntah secara sebarangan.


Melihat Aida sedang tidak baik-baik saja, Fikri bergegas meninggalkan ruang makan untuk menyusul Aida ke dapur. Di samping Aida, Fikri langsung meluncurkan tatapan cemas. Di sini, Fikri belum sempat mengatakan sepatah kata apa pun karena sudah kecolongan Aida.


"Maaf, Mas," ucap Aida dengan salah satu tangan dipakai untuk membasuh bibirnya, mengusir sisa-sisa cairan bening di sana dengan gerakan terampil.


Agak tidak percaya dengan kalimat Aida, Fikri tahu-tahu sudah membuka mulutnya dan dibiarkan tetap terbuka untuk tiga detik awal. Pada belasan detik lalu, Fikri sudah selesai menyiapkan sebaris pertanyaan barusan. Tapi, kenapa malah tertunda?

Ketika sudah mampu berpikir waras seperti sedikala, Fikri tidak berencana untuk membuang-buang waktu dengan segera bertanya, "Aida, apakah kamu sakit?"


Muka Aida berubah menegang. Pun dengan tubuhnya sekarang. Di atas meja wastafel, tangan kanannya mendadak malah bergetar dengan kaku. Mendapati Aida tengah berpikir keras dengan kornea mata kerap bergerak ke sana-sini, kedua tangan Fikri terdorong untuk meraih kedua lengan Aida. Agar fokus Aida dapat bangkit secepatnya.


"Mas."


Di dalam suara Aida, irama takut betul-betul tersirat dengan sangat strategis. Pun dengan sorot mata Aida selama sedang bertatapan dengan Fikri.


"Aku tidak mungkin hamil, 'kan?"


Degh.


Apakah Fikri tidak salah dengar? Masa Aida bisa memiliki kekhawatiran semacam itu?

"Aku tidak mengerti, Aida. Mengapa kamu bisa berpikir begitu?"


"Tiap aku menyentuh kamu, aku tidak pernah melewatkan untuk menggunakan kontrasepsi."


Menurut teori Aida, kemungkinan Aida untuk mengandung memang tidak besar. Jika menimbang-nimbang berdasarkan kalender haidnya? 


Oh, Tuhan. Yang langsung berkecamuk untuk mengusik benak Aida adalah kegelisahan. "Tapi, aku sudah telat seminggu. Ini, sungguh tidak seperti biasanya, Mas," kata Aida dengan muka bisa dikatakan sudah memucat, serta teramat kontras apabila dibandingkan dengan sekian menit sebelumnya.


"Mas, aku benar-benar takut," kata Aida dengan tingkat waswas bertambah merambah.

Apakah Aida sungguh-sungguh hamil?


***