Rumah Kakek

Rumah Kakek

Lutfilla Indryana

0


Pakaian lusuh dan rambut nyaris gimbal. Dia tampak menikmati hisapannya. Aku yang mendengarnya penasaran, ingin tahu makanan apa yang dia nikmati. Sebelum mendekatinya, dia menoleh padaku. Tangannya memegang pembalut penuh berisi darah. Mulutnya sobek menyamping sampai telinga, menampilkan barisan gigi hitamnya. Lidahnya menjulur panjang menempel di pembalut. Wajah busuk dipenuhi belatung dan bau bangkai mulai memenuhi ruangan.

Bruk!

“Rin, bangun, Rin.” Suara Kak Ratna membangunkanku, ternyata aku pingsan semalam di dapur. Kembali kuingat peristiwa semalam dan segera memeluk Kak Ratna.

“Kak, semalam Rina ngeliat ….”

Tiba-tiba suaraku menghilang, iya menghilang seperti orang bisu yang tidak bisa mengeluarkan suara. Tenggoranku tercekat seperti ada rasa yang mengganjal. Kak Ratna yang melihat tampak kebingungan dan segera mengajakku ke rumah sakit. Anehnya di rumah sakit, tidak ditemukan penyebab kenapa suaraku tiba-tiba menghilang. Yang bisa dijelaskan dokter aku hanya syok dan suaraku bisa pulih kembali seiring berjalannya waktu. Aku dan Kakak hanya bisa pasrah dan kembali ke rumah.

Hampir dua bulan aku menempati rumah warisan kakek di Jogja. Sebelumnya, kami tinggal di Jakarta untuk menyelesaikan pendidikan. Kakek mewarisi rumah dan kebun untuk kami berdua karena Ayah dan Ibu sudah meninggal sewaktu kami kecil. Awalnya, semua baik-baik saja. Namun, entah kenapa semalam aku bertemu dengan makhluk itu. Bulu kuduk berdiri ketika aku memasuki rumah ini lagi. Kuberanikan diri untuk segera masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.

Rumah ini sepi, Kak Ratna sudah berangkat ke kebun untuk mengontrol para pekerja. Sebenarnya aku mau ikut, tetapi Kak Ratna melarang dan menyuruh istirahat di rumah. Mungkin karena obat dari dokter yang aku minum tadi, aku cepat terlelap dan tidur dengan nyaman.

“Rin, buka, Rin!” panggil Kak Ratna dari luar.

Aku terbangun dari tidurku karena suara ketukan pintu. Sepertinya, Kakak sudah datang. Aku melihat jendela, ternyata hari sudah petang. Cepat aku membuka pintu dan menyambut Kak Ratna.

“Rin, ini kita dikasih daging bakar dan kue sama Mbok Yem, makan, gih,” ucap Kak Ratna.

Kak Ratna memberikan sebuah kantong kresek yang berisi daging dan kue. Aku membawanya ke meja makan dan langsung memakannya karena memang waktu itu aku kelaparan. Kak Ratna langsung mandi, mungkin karena berkeringat banyak badannya jadi lengket. Aku memainkan ponselku sambil menikmati daging bakar pemberian Mbok Yem tadi. Suara ketukan pintu kembali mengagetkanku yang tengah fokus pada makanan.

Siapa lagi ini? Aku membuka pintu dan ternyata Kak Ratna. Kami berdua sama-sama kaget. Aku kaget karena melihat Kak Ratna, begitu juga sebaliknya. Bukannya Kakak sudah pulang dan sedang mandi sekarang? Sayup-sayup masih kudengar suara orang sedang mandi. Aku terpaku sebentar mencerna keadaan ini.

“Apa yang kamu makan, Rina!” Kak Ratna membentakku. Aku kaget dan melihat bangkai tikus ada di tangan. Ya, ternyata yang kumakan dari tadi itu adalah tikus.

***

Aku terbangun dari pingsanku. Di samping tempat tidur kulihat Kak Ratna bersama laki-laki paruh baya berpakaian Jawa. Memori sebelum pingsan menguar. Perutku mual, ingin kukeluarkan bangkai tikus itu dari perut. Rasanya seperti masih melekat di lidah. Kak Ratna menyodorkan aku minum begitu melihatku membuka mata. Mataku mulai berkaca-kaca mengingat peristiwa tadi.

“Kak, aku nggak mau tinggal di sini lagi, Kak. Ayo, kita pulang saja ke Jakarta.”

Tangisku mulai pecah. Laki-laki berpakaian Jawa tadi mengenalkan dirinya. Namanya Kang Karto, dia dikenal sebagai paranormal andal di desa ini.

“Tenang, [1]Nduk, penghuni rumah ini hanya ingin menyapamu, tidak ada maksud jahat,” ungkap Kang Karto.

“Nggak ada maksud jahat apanya, Kang? Tempo hari saya dibuat bisu, sekarang disajikannya bangkai tikus itu ke saya!” teriakku.

Tunggu, suaraku kembali. Namun, ini tidak cukup membuatku senang. Teror ini sudah keterlaluan menurutku. Kubujuk lagi Kak Ratna untuk pulang saja ke Jakarta.

“Rin, Kakak bukannya nggak mau balik ke Jakarta, tapi kondisi perkebunan Kakek sedang tidak baik. Nanti Kang Karto dan anaknya akan menemanimu saat Kakak kerja,” bujuk Kak Ratna.

Sebenarnya, aku bisa pulang sendiri ke Jakarta, tetapi aku tidak mau meninggalkan Kakak di sini. Aku takut Kakak juga mengalami hal yang sama sepertiku. Kak Ratna satu-satunya keluarga yang aku punya. Kang Karto juga meyakinkanku untuk tetap tinggal dan menjamin tidak akan terjadi apa-apa lagi di rumah ini.

***

Sebulan setelah kejadian itu, semua berjalan normal. Kakak hampir setiap hari ke kebun. Aku melamar kerja sebagai guru di sebuah Sekolah Dasar di desa ini untuk mengisi waktu luang. Sekolah di desa ini jauh dari kata modern, semua fasilitas masih sederhana. Bangunannya juga tua dan lebih terkesan seram. Aku masih trauma karena kejadian di rumah baru-baru ini.

Di hari pertama mengajar, aku isi dengan perkenalan dan bincang santai. Mereka semua sangat lugu dan lucu. Dari mulai bertanya, asalnya dari mana, tinggal di mana, sampai ke pertanyaan, “Ibu, cantik sekali. Luluran pakai apa? Biar emakku juga pakai.”

Sungguh kocak mereka ini. Kemudian perhatianku tertuju pada anak yang selalu diam di pojok. Dia hanya memandangku dengan pandangan kosong. Aku lupa siapa namanya. Nanti saja aku ingat kembali namanya di kelas berikutnya.

***

Kang Karto dan anaknya sangat baik padaku. Anaknya yang baru berumur lima belas tahun sangat telaten membantu pekerjaan rumah bahkan memasak. Nilam namanya. Dia cantik dengan tubuh semampai dan rambutnya yang digelung.

“Wes, Nilam, taruh saja piringnya. Biar Mbak Rina yang cuci piring.”

Aku mengambil piring kotor di tangan Nilam. Tidak enak hati aku melihat Nilam memasak sampai bersih-bersih seisi rumah. Sering aku larang, tetapi dia tetap memaksa untuk membantu.

Seusai mandi, aku menemui Nilam yang sedang duduk termangu di teras rumah. Dia menatap kosong ke halaman rumah. Belum aku membuka pembicaraan, dia menatapku dengan muka nanar.

“Mbak Rin, aku [2]luwe,” keluhnya.

Dia langsung berlari ke arah dapur dan mengambil nasi sebakul. Dengan lahap dia memakan nasi sebakul itu. Seperti kesetanan. Aku terperangah melihat Nilam dan segera menghampirinya.

“Nilam, sadar, Lam!” teriakku mengguncang bahu Nilam.

Aku mulai panik, dia makan nasi itu dengan kedua tangannya, tanpa memakan lauk yang lain. Nilam berhenti sejenak dengan mulut yang masih mengunyah, dia berlari ke halaman belakang menggeletakkan bakul kosong. Dengan cepat dia mengambil ayam dan memakannya hidup-hidup. Dikoyaknya ayam itu dengan buas. Suara pekikan ayam itu menusuk telingaku.

Aku yang melihatnya berteriak memanggil Kang Karto dengan suara yang melemah. Perlahan pandanganku kabur. Yang kuingat hanya suara Nilam di akhir sadarku.

“Mbak, aku luwe.”

[1]Nduk: Berupa kata sapaan pada perempuan.

[2]luwe: lapar