Rindu Tentangmu Tak Pernah Pergi

Rindu Tentangmu Tak Pernah Pergi

tisapinkluv

5

Dengan napas tersengal-sengal, Rindu melompat masuk ke dalam minivan yang membiarkan pintunya terbuka untuk menunggu kedatangannya. Suara mesin mobil bercat putih tersebut terdengar riuh berisik, memenuhi halaman depan hotel yang mereka tempati.

Rindu mengembuskan napas panjang yang selama ini ia tahan, selama ketegangan meliputinya. Dimulai sejak ia berlari melintasi selasar hotel, masuk ke dalam lift, dan berlari keluar dari lobi hotel. Suara tepuk tangan riuh menyambut Rindu waktu dirinya mengempaskan diri di kursi paling pinggir dekat pintu dan menariknya hingga tertutup.

“Hebat! Kelar juga, lo!” “Kurang lama!”

“Kan gue udah gedor-gedor pintu lo sejak jam tujuh!”

“Semalam Ibu sudah mengingatkan kamu loh, Rin. Weker itu jangan pakai snooze button, lalu dimatikan dan tidur lagi. Yang ada kebablasan.”

Suara berbicara ramai itu adalah teman-teman satu tim Rindu, sekaligus sahabat-sahabat terdekatnya, yaitu Putri, Ayra, Dina, Vivi. Dan, yang terakhir bicara adalah Bu Novita, guru sekolah yang menjadi pendamping mereka selama berada di Bali.

“Rekor, Rin. Telat lima belas menit. Kalau besok lo telat lagi, denda tiga juta!” Putri pura-pura memeriksa jam tangan di lengannya dengan gaya berlebihan.

“Maaf banget. Maaf sekali. Maafin gue.” Tubuh Rindu sedikit miring ke kiri waktu sopir minivan berbelok agak kencang keluar dari halaman hotel.

Beberapa hotel di kawasan Nusa Dua, Bali yang paling dekat dengan wisata pantai Water Blow, penuh tersewa oleh para peserta dari berbagai SMA se-Indonesia, sekaligus guru-guru pendamping mereka, dan sebagian rombongan keluarga yang ingin menghadiri acara final Pekan Seni Budaya Pelajar Nasional. Apalagi, Jumat pagi ini ada jadwal gladi resik para finalis lomba, sehingga jalur menuju Water Blow cukup padat oleh kendaraan, baik itu minivan atau bus yang disewa sekolah-sekolah yang berhasil masuk ke babak final, plus kendaraan keluarga yang ikut mendampingi.

Keterlambatan Rindu tadi memperpanjang waktu perjalanan mereka. Padahal, panitia acara sudah mewanti-wanti agar para peserta harus sudah tiba di Garden of Hope, Bukit Peninsula, sebelum acara gladi resik dimulai. Rute ke sana diperkirakan akan macet. Tempat itu berada di wisata pantai kawasan Nusa Dua, Bali. Garden of Hope adalah tempat acara puncak final Pekan Seni Budaya diadakan. Pekan seni tahunan ini diikuti beberapa SMA swasta dari berbagai kota di Indonesia.

 

Rindu menyeka peluh di kening dengan punggung tangannya. Ia memelintir rambutnya yang tebal dan panjang menjadi satu genggaman dan menggulungnya ke atas dengan jepit besar. Ia berharap hal itu bisa mengurangi rasa gerah di tengkuknya yang lembap. Pendingin minivan tidak terlalu membantu memberinya kesejukan karena ia sudah gerah sejak masih di hotel tadi.

Rindu yakin pasti ada barang yang lupa ia bawa akibat tergesa-gesa berkemas di kamarnya tadi. Ia hanya menyambar semua barang yang ia lihat dan menyumpalkannya sembarangan ke dalam ransel. Padahal, Rindu sudah berniat untuk merapikan semua kebutuhan yang akan ia bawa hari ini pada malam sebelumnya dan menyusunnya dengan rapi di dalam ransel.

Apa daya, ia keasyikan nonton Netflix di laptop dan ketiduran sampai pagi sebelum berhasil melakukan rencana tadi. Apalagi, karena mereka berlima, Rindu kebagian kamar sendirian. Tidak seperti keempat temannya yang berbagi satu kamar berdua. Jadi, waktu ia ketiduran, teman-temannya tidak ada yang langsung membangunkannya.

“Udah sempat sarapan kamu?” tanya Bu Novita dengan nada keibuan yang khas. Ia memang disukai semua murid sekolah mereka. Karena itulah beliau yang ditugaskan menemani tim tari daerah yang masuk final ke Bali.

Rindu mengangguk kecil sambil membuka ritsleting ranselnya. “Tadi pagi saya sudah makan roti, Bu,” jawabnya sambil memasukkan tangan dan meraba-raba isi ransel. Ia sedang mendata barang apa saja yang tertinggal olehnya tadi akibat terburu-buru. Ia benar-benar ceroboh.

Putri menyodorkan protein bar yang bungkusannya sudah ia buka tepat di depan mulut Rindu. Rindu langsung mencaploknya dalam gigitan besar. Ia memang sudah makan roti cokelat tadi pagi. Tapi karena hal itu ia lakukan sambil berpakaian, menyisir rambut, memakai kaus kaki dan sepatu dan mengisi ransel dalam waktu yang bersamaan, roti itu hanya masuk dua gigitan ke dalam perutnya. Putri hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya itu. Kalau tidak terlambat, bukan Rindu namanya.

“Kampret!” Rindu berseru. Ia buru-buru melirik dengan tatapan memohon maaf kepada Bu Novita yang meliriknya dengan tajam. “Maaf, Bu. Ini, soalnya … charger ponsel saya ketinggalan.”

“Terang saja bakal banyak yang ketinggalan kalau lo grasa-grusu gitu. Udah tenang aja, power bank gue penuh. Dayanya gede kok, bisa buat ngecharge kulkas.” Ayra yang duduk di belakang Rindu mendorong bahu temannya itu dari balik sandaran kursi mobil.

 

Mendengar itu, kelima gadis itu cekikikan. Bu Novita pun tersenyum sambil menatap layar ponselnya. “Di peta sih kita seharusnya sampai dua puluh menit lagi. Semoga saja tidak terlambat.” Ia bergumam lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela.

Nusa Dua pagi itu sungguh cerah dan indah. Langit berwarna biru muda, jernih seperti selimut bayi yang lembut, dan dibentangkan di antara semburat kuning keemasan. Pancaran hangat dari sumber segala kehidupan di bumi. Geliat energi penjelmaan Batara Surya, dewa yang diasosiasikan masyarakat Bali dengan sang penguasa langit di pagi hari.

Waktu baru menunjukkan pukul 08.30 pagi, tapi panas sudah terasa melecuti kulit. Aroma udara laut yang terasa bersih, ikut memompa semangat yang bisa dirasakan di sekitar ITDC (Indonesia Tourist Development Corporation) Nusa Dua. Deburan ombak berwarna biru tua pekat, seolah mengundang semua yang sedang bergegas ke tujuan masing-masing untuk sekadar mampir dan mengagumi kecantikannya. Laut membingkai Garden of Hope, yang areanya dibuka di sepanjang garis pantai Mengiat.

Jalanan mulai ramai dipenuhi para peserta Pekan Seni Budaya dan rombongan mereka yang baru tiba. Hari itu, semua peserta wajib hadir untuk gladi resik, blocking panggung, dan hal-hal teknis lain sebelum acara final yang akan dilangsungkan esok hari.

Pantai ada di sisi kiri mereka, dengan pepohonan hijau berjejer rapi di sepanjang hamparan pasir. Lampu-lampu gantung berbentuk bola dari kaca seputih susu digantung di tali panjang yang dibentangkan di sepanjang bangunan-bangunan restoran, kafe, dan bangku-bangku untuk para wisatawan. Rindu membayangkan, saat malam tiba dan lampu-lampu ini dinyalakan, suasananya pasti sangat indah.

Minivan mereka memasuki Garden of Hope dan parkir di tempat yang sudah disediakan. Suara empasan ombak yang pecah terbentur bebatuan karang sudah sayup-sayup terdengar waktu mereka keluar dari minivan.

Garden of Hope terletak di pusat wisata pinggir laut bernama Water Blow. Nama itu didapat secara harfiah berdasarkan semburan ombak di pantai tersebut yang memecah saat menghantam karang, hingga terlihat seperti semburan air yang menjulang tinggi dan menjadi daya tarik wisatawan yang berkunjung ke sana. Mereka membangun sebuah dek observasi tempat para pengunjung bisa menyaksikan ombak besar samudra Hindia menghantam tebing batu karang.

Rindu berjalan bersama rekan-rekan satu timnya mengikuti Bu Novita melewati gerbang utama, yang berupa dua pilar raksasa terbuat dari batu. Kedua pilar itu mengapit sebuah jalan setapak lebar yang sebenarnya bisa dimasuki mobil. Tapi, khusus untuk acara Pekan Seni Budaya ini, panitia menyediakan tempat parkir kendaraan yang membawa peserta di bagian luar taman. Sehingga para peserta harus berjalan kaki sedikit untuk sampai ke dalam.

Garden of Hope adalah sebuah taman yang luas, ditanami rumput asri serupa permadani hijau yang empuk dan membentang luas. Taman itu mengelilingi sebuah bangunan batu berjendela dan berpintu kaca yang digunakan sebagai ruangan seni, sekaligus berfungsi sebagai fondasi dari patung raksasa yang diberi nama Arjuna Kresna. Patung ini menjadi salah satu ikon di Pulau Peninsula ini. Tingginya tujuh belas meter, menggambarkan dua sosok Arjuna dan Sri Kresna, sesaat sebelum mereka harus menghadapi perang Bharatayudha di tanah Kurusetra, melawan Kerajaan Astinapura yang tidak lain adalah sepupu-sepupu mereka sendiri. Banyak peserta yang berjalan ke arah patung tersebut dan mengambil foto-foto dulu sebelum meneruskan perjalanan ke area Pekan Seni Budaya.

Sesampainya di arena panggung, mereka mengikuti Bu Novita mengantre dengan rapi. Menyambung barisan para peserta dan guru pendamping masing-masing sekolah yang sudah datang lebih dulu. Semuanya harus mendaftar ulang. Beberapa dari mereka membawa payung atau mengenakan kaca mata hitam. Tentu saja Rindu tidak memiliki apa-apa untuk melindungi mata dan kepalanya dari panas matahari.

Seusai mendaftar, para peserta dipersilakan masuk ke arena sekitar panggung di tanah lapang dan disarankan untuk tidak pergi terlalu jauh. Mereka menunggu giliran dipanggil panitia untuk naik ke atas panggung dan melakukan gladi resik. Beberapa siswa tampak duduk-duduk dan mengobrol di pinggir panggung. Beberapa lagi makan kudapan dan banyak yang berfoto-foto. Beberapa lagi mengisi waktu menunggu dengan bermain sepak bola di tanah lapang kosong yang berada di depan panggung.

Ada tujuh cabang lomba kesenian yang dilombakan di Pekan Seni Budaya ini. Tari tradisional, tari modern, aransemen lagu populer dengan angklung, pertunjukan perkusi dengan alat musik tradisional, dan juga ada lomba seni lukis, karikatur, dan lomba band musik. Babak penyisihan dengan sistem undian hingga semifinal dilakukan di beberapa sekolah yang berpartisipasi dari berbagai kota, hingga akhirnya babak final akan diadakan di Nusa Dua, Bali.

Ada empat belas SMA yang berhasil masuk ke dalam babak final dari cabang-cabang lomba tersebut. Rindu dan teman-temannya mewakili sekolah mereka, SMA Nawasena Global, Jakarta, yang akan menghadapi finalis dari kota Medan dalam cabang kompetisi tari tradisional. Grup mereka akan menarikan tari pendet dari Bali.

 

Selain finalis-finalis dari Jakarta dan Medan, Rindu juga mendengar bahwa para finalis lainnya ada yang berasal dari Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Samarinda, Balikpapan, Makassar, Padang, Pekanbaru, Palembang, dan Surabaya, selain Denpasar sendiri sebagai tuan rumah acara final.

Rindu meneguk air mineral dalam botol banyak-banyak dan menyeka wajahnya dengan selembar tisu basah yang terasa sangat menyegarkan. Dari sejumlah barang yang lupa ia masukkan ke dalam ransel, paling tidak tisu basah ini tidak ia lupakan.

“Rin, lihat deh. Cowok itu tuh, yang pake kaus biru. Ih, kece banget!” Putri menyikut pinggang Rindu dan menganggukkan kepalanya ke arah sekelompok siswa yang sedang duduk berjajar di tembok rendah yang ada di sisi panggung. “Anak mana ya mereka?”

“Sepertinya finalis dari Surabaya. Dengerin aja logat bicaranya,” kata Rindu tak acuh. Ia terlalu kepanasan untuk bisa memusatkan perhatian ke cowok-cowok itu, betapapun kerennya mereka.

Cowok berkaus biru yang ditunjuk Putri itu menoleh ke arah mereka dan tersenyum pada Rindu. Rindu tersipu dan melirik Putri, yang terang-terangan menatap kelompok itu dengan senyuman lebar. Tiba-tiba, si Kaus Biru berdiri dan melangkah mendekati mereka berdua.

“Mampus, dia jalan ke sini! Aduh, lo ada kaca, nggak?” Putri merapikan poninya yang sudah sedikit lepek di kening. Putri berambut pendek yang dipotong dengan model bob. Ia pasti tidak merasa terlalu kepanasan seperti Rindu.

“Udahlah, Put. Pasrah aja. Siapa yang bisa cakep sih kalau udara sepanas ini. Meleleh lah kita semua yang manusia biasa begini, kecuali Gigi Hadid. Gila banget nih panitianya! Masa nggak ada tenda sama sekali.” Rindu mengeluh. Mengapa di saat ia berpenampilan kucel dan basah kuyup dengan keringat begini harus ada cowok keren yang ingin berkenalan.

Si Kaus Biru yang tampan itu semakin dekat. Rindu menegakkan tubuh dan menyelipkan anak rambut yang menutupi keningnya. Tidak ada salahnya bersikap ramah kepada kenalan baru, walau penampilannya sekarang pasti mirip ayam habis kecebur kolam.

Di saat itu juga, sebuah bola kaki berwarna hitam putih melesat di udara dengan kecepatan tinggi, dan langsung menghantam kepala Rindu, tepat di tengah-tengah keningnya.

 

**

 

 

Semuanya berlangsung begitu cepat. Rindu terhuyung-huyung mundur sambil memegangi kepalanya. Rasa sakitnya membuat seluruh kepalanya nyeri, tapi hal itu masih kalah dibandingkan rasa terkejut yang ia rasakan. Ia berhasil untuk tetap tegak berdiri sambil melihat ke sekelilingnya. Suara lantang penuh amarah milik Putri langsung menyemprot seorang cowok yang berlari ke tempat mereka berdiri.

“Sori, ya ampun asli sori banget. Maaf ya, maafin gue. Gue nggak sengaja!” Cowok itu bertubi-tubi meminta maaf sambil menghampiri Rindu lebih dekat.

“Punya mata nggak sih, lo!” Putri membentak sambil memegangi kepala Rindu. “Ini kepala lho yang kena. Bisa bahaya!”

“Iya, maafin gue. Temen-temen gue bosan nunggu. Ada yang bawa bola dan kami memutuskan untuk main bola saja. Gue mau nendang bolanya ke teman gue yang ada di kanan. Nggak tahu kenapa tendangan gue malah ke kiri.” Ekspresi wajahnya benar-benar penuh penyesalan dipadu rasa takut.

“MAKANYA NGGAK USAH MAIN BOLA KALAU NENDANG AJA NGGAK BECUS!” Suara Putri membahana ke seantero taman.

Beberapa siswa yang ada di sekitar mereka, termasuk si Kaus Biru, semuanya berhenti dan menonton dengan penuh minat. Rindu memijat bagian kulit yang tadi terkena bola. Bagian itu berdenyut perlahan disertai rasa nyeri. Tapi rasa nyeri itu tidak bukan apa-apa dibandingkan rasa malu yang sekarang menyergapnya. Apalagi si Kaus Biru yang tampan itu terus memperhatikan mereka semua.

Sementara Putri masih memarahi cowok itu, Rindu memperhatikan sosok yang menendang bola nyasar ke kepalanya tersebut. Cowok itu lumayan jangkung. Posturnya tegap dan atletis. Rambutnya hitam dipotong pendek, tertutup sebuah topi hitam yang di bagian depannya ada tulisan Lover Not Loser berwarna putih. Kulitnya kecokelatan, garis-garis rahangnya yang tegas dipenuhi bulir-bulir peluh. Kedua pipinya memerah. Ia kelihatannya tidak terganggu dengan hawa panas bak dalam alat pemanggang di tempat ini.

Matanya     yang     cerdas     tampak     penasaran.     Bibirnya     agak mengerucut, mewakili kekhawatiran yang juga terdengar dalam nada suaranya. Rindu baru bisa memusatkan pikiran setelah rasa terkejutnya reda. Tinggal nyeri yang amat sangat akibat benturan keras bola di tulang dahi. Cowok ini pasti yang telah menendang bola sembarangan hingga kena kepala Rindu.

Putri berbalik badan dan menatap Rindu. “Lo nggak apa-apa, kan? Pusing nggak?”

 

Rindu menggeleng. Ayra dan Dina berlari-lari mendekat. Mereka baru kembali setelah mencari toilet. Sedangkan Vivi tadi bertemu dengan sepupunya yang tinggal di Semarang dan masih asyik mengobrol di sisi lain panggung. Ayra dan Dina bertanya apa yang terjadi dan Putri menjelaskan dengan singkat. Sekarang, ada empat cewek yang menatap cowok itu dengan tatapan bengis.

“Duh, pasti bagian itu bakal memar warna ungu. Gimana nih? Tanggung jawab dong, lo! Kami mau pentas besok.” Ayra mendelik ke cowok itu lagi.

Rindu, yang sudah merasakan kombinasi dari berbagai perasaan tidak nyaman dan mengesalkan sejak pagi, memutuskan bahwa hal terbaik yang bisa ia lakukan sekarang adalah mengeluarkan dirinya dari situasi tidak enak ini dan pergi jauh-jauh. Ia benar-benar kesal tiap kali ia melihat mimik memelas dan mata penuh harap dari cowok itu. Apalagi topinya yang bertulisan norak itu. Seharusnya mereka tidak bermain bola di sekitar tempat ini karena ada risiko tendangan nyasar.

“Udah deh, yuk, gue mau ke belakang panggung aja. Cari tempat adem. Gue pusing.” Rindu mengeluh dan menarik tangan Putri.

“Eh, tunggu, tunggu. Gue bener-bener minta maaf. Kan gue nggak sengaja. Suwer, gue nggak sengaja!” Cowok itu menghentikan mereka.

Mendengar itu terbit rasa marah Rindu. Ia berhenti berjalan dan berbalik menatap cowok itu.

“Denger ya, lo nendang bola sampai kena kepala gue. Lo memang sudah wajib minta maaf. Tapi lo nggak usah maksa gue buat maafin lo saat ini juga. Sakitnya aja masih kerasa banget. Hak gue mau maafin lo atau nggak. Ngerti?!” bentak Rindu dengan suara tegas.

Cowok itu menelan ludah. Tatapannya semakin memancarkan rasa terkesima dan kagum ke wajah Rindu. Yang membuat rasa kesal Rindu semakin bertambah. Cowok itu membuka mulut hendak mengatakan sesuatu lagi.

“Diem! Nggak usah ngomong macem-macem lagi!” sentak Rindu. Lalu ia berjalan. Baru beberapa langkah, Rindu berbalik dan melotot saat dilihatnya cowok itu masih mengikutinya. Rindu menghentikannya dengan mengacungkan tinjunya ke depan dengan sikap mengancam.

“Udah! Lo ngapain ngikutin gue? Sana!” Kekesalan Rindu sudah benar-benar memuncak.

Ayra dan Dina menebarkan tatapan mengancam yang sama kuat kepada teman-teman cowok itu, yang kini sudah berkumpul di belakangnya. Para cewek itu meninggalkan lapangan, meninggalkan si pelaku kejahatan yang masih berdiri kebingungan.

 

Rindu dan teman-temannya berjalan ke balik panggung. Bagian belakang panggung memiliki terpal di atasnya, yang memberi sedikit perlindungan dari matahari. Sayangnya, semua peserta yang menemukan tempat itu juga memutuskan untuk berteduh di bawahnya, hingga tempat itu sudah lumayan penuh.

Rindu berhasil menemukan tempat kosong di sebuah tembok rendah yang membatasi sepetak taman di area belakang panggung dan duduk di sana. Ketiga temannya mengerubunginya. Dina menelepon Bu Novita, yang tadi pergi untuk mengambil kupon makan siang mereka. Dina melaporkan apa yang baru saja terjadi. Dina lalu memberikan ponselnya kepada Rindu. Bu Novita ingin berbicara dengannya.

“Rin, bagaimana rasanya? Pusing? Bagaimana kalau kita minta panitia mengantar kamu ke klinik. Pasti ada klinik di sekitar tempat ini.” Suara Bu Novita juga terdengar khawatir.

“Nggak sampai segitu parahnya sih, Bu. Pas baru kena bola, pandangan saya memang sempat agak berkunang-kunang, tapi langsung hilang. Tinggal nyeri di kening saja. Pusingnya hanya sebentar. Saya duduk saja dulu, Bu. Kalau mau keluar kan jauh banget jalannya.” Rindu berterus terang. Ia memang sudah merasa jauh lebih baik.

Bu Novita berkata ia akan segera ke sana setelah menerima kupon makan siang. Rindu mengembalikan ponsel ke Dina. Suara dari pengeras suara memanggil finalis dari kategori aransemen musik angklung untuk naik ke atas panggung. Rombongan siswa-siswi dari kota yang berhasil maju ke final di cabang lomba tersebut berderap naik ke panggung untuk diberitahu tempat mereka akan tampil besok.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, dua kelompok finalis sudah turun dari panggung setelah pengarahan. Mereka harus menunggu empat peserta lagi sebelum giliran mereka dipanggil. Rindu menduga keningnya pasti memiliki bulatan berwarna merah sekarang. Seperti memasang target menembak tepat di kening. Sungguh memalukan.

Dasar cowok sialan.

Rindu terhenyak, karena saat pikiran tentang cowok yang menendang bola hingga terkena kepalanya itu baru saja melintas, cowok itu benar-benar muncul dari kejauhan. Berlari kencang menuju ke arahnya. Ia terengah-engah saat sampai di hadapan Rindu, walau orang yang ia datangi menatapnya dengan pandangan tidak suka. Di tangannya, ia menggenggam sekantung plastik bening berisi air.

 

Rindu menatapnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, tidak mengerti apa yang hendak ia lakukan. “Ngapain, lo, bawa-bawa air di kantong begitu? Habis nyambit kepala gue pake bola terus sekarang mau nyirem gue lagi pake air?” tanyanya ketus.

“B-bukan … ini maksudnya,” cowok itu menatap kantung berisi air di tangannya dengan putus asa. “Gue beli ini tadi di kafe yang ada di pinggir pantai, buat ngompres memar lo. Isinya es batu. Tapi pas gue sampai sini, esnya udah cair semua karena kepanasan. Jadi sekarang tinggal air. Padahal, gue udah lari kenceng banget.” Dengan kikuk ia memutar-mutar posisi topi hitamnya itu dengan sebelah tangan.

Mendengar penjelasan itu, Rindu mengangkat alisnya dengan pandangan yang bisa diartikan dengan ‘Yang benar saja’. Putri mendengus, sedangkan Ayra mengeluarkan bunyi erangan aneh, yang dikenali Rindu sebagai suara tawa yang ditahan.

“Kafe-kafe pantai itu lumayan jauh dari sini, lho. Jauh juga dia lari.” Dina mendekatkan tubuhnya dan berbisik di telinga Rindu. Dina lalu menatap cowok itu dan mengulurkan tangannya. “Ya udah, sini kantungnya. Airnya kan masih dingin. Lumayan bisa buat ngompres jidat temen gue yang tadi lo sambit pake bola.”

Cowok itu tampak hendak memprotes saat mendengar kata sambit, tapi ia mengurungkan niat dan memberikan kantung berisi air dingin itu kepada Dina. Dina memberikannya pada Rindu, yang dengan gerakan enggan menempelkan kantung itu di keningnya. Ada sensasi melegakan saat tulang kening di balik kulit memarnya terkena air dingin.

“Udah, sana, nggak usah pake diliatin! Ntar ada insiden lagi!” Putri mengusir cowok itu, yang tampak ragu lalu membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan.

Di tengah langkah-langkahnya, ia berhenti dan menoleh ke Rindu lagi. “Sekali lagi gue minta maaf. Gue betul-betul nggak sengaja.” Setelah mengucapkan itu, ia pergi.

Rindu menandai cowok itu masih berkeliaran di sekitar panggung dan mengamati Rindu dan teman-temannya dari kejauhan. Ia juga duduk makan siang bersama para peserta lainnya di belakang panggung waktu kotak makan siang dibagikan. Ia terus memperhatikan Rindu dan teman-temannya, yang akhirnya sampai pada giliran mereka dipanggil untuk pengarahan blocking di panggung.

“Itu cowok dari tadi ngeliatin lo mulu deh, Rin.” Ayra menyelidik dengan curiga.

“Tauk tuh. Stalker abis.” Rindu menghabiskan air di dalam botol minumnya.

 

“Kalau gue ada di sana tadi, udah gue kemplang kali,” gerutu Vivi, yang menyesal karena ketinggalan peristiwa penting tersebut dan baru bergabung setelah semuanya selesai.

Putri mengamati Rindu dengan tatapan prihatin. “Bener kan, jidat lo memar. Besok bakal tambah ungu warnanya. Mana dikompresnya cuma pake air dingin nggak jelas gitu lagi.”

“Nanti sampai hotel, lo kompres lagi yang lama pakai es batu. Pasti memarnya akan kurang dikit. Besok, kita tutup pakai concealer gue yang antibadai itu. Pasti beres. Untung lo udah cakep, Rin. Benjol dikit nggak masalah lah,” hibur Ayra, yang terkenal selalu membawa perlengkapan make-up komplet di dalam tasnya.

Mereka cekikikan, termasuk Rindu yang sudah merasa lebih baik. Ia bersyukur karena matahari mulai melunak panasnya menjelang senja. Waktu mereka selesai dan kembali dipimpin Bu Novita berjalan keluar dari lokasi acara, Rindu sempat bertatapan lagi dengan cowok itu. Ia masih berdiri tidak jauh dari mereka. Mungkin cowok itu masih menunggu giliran sekolahnya dipanggil. Rindu tidak tahu cabang kesenian mana yang ia ikuti. Mungkin lomba band, karena dari tadi, tinggal kategori band yang belum naik panggung.

“Rindu! Ayo, cepetan!” Putri yang sudah berjalan agak jauh di depannya memanggil.

Rindu memalingkan muka dari cowok itu dan terus berjalan. Ia memutuskan untuk melupakan kejadian itu.

 

***