Rich Widow and Mr. Gold Digger

Rich Widow and Mr. Gold Digger

Ellaaaa

4.9

"Tuan Muda!" Panggilan itu begitu nyaring diiringi dengan langkah kaki yang terburu-buru.

"Tuan Muda, jangan berlari kau bisa terjatuh!" teriaknya lagi menambah langkah kakinya cepat. Sedangkan di depan sana terlihat seorang anak dengan seragam sekolahnya tengah berlari diiringi tawa usil di wajahnya.

"Cepat tangkap aku jika kau bisa, Bibi!" serunya dengan tawa dari bibirnya.

"Tuan Muda, tolong berhenti! Kau bisa terlambat sekolah!" teriaknya untuk kesekian kali. Namun, lagi-lagi tidak dihiraukan oleh bocah itu. "Ya ampun! Dia benar-benar membuatku pusing."

Bocah berumur 7 tahun itu masih terus berlari mengelilingi ruangan megah rumahnya diiringi tawa riang yang menggema dan raut tengil yang terlihat di wajahnya. Inilah kesehariannya di pagi hari, mengusili para pelayan rumah. Dan itu benar-benar membuat orang-orang seisi rumah dibuat pusing oleh tingkah nakalnya.

Hap!

Tiba-tiba saja tawa anak itu terhenti saat sebuah tangan kekar menangkap dan menggendongnya dengan mudah. 

"Bukankah Daddy sudah bilang untuk tidak berlarian?" tanya Vinson sambil menatap putranya.

"Daddy!" rengek bocah dalam gendongannya kesal. 

"Adam, berhenti menjahili Bibi Hana. Kau tidak lihat dia begitu kelelahan mengejarmu?" peringatnya.

"Tapi aku menyukainya!" 

"Tidak. Sekarang pakai sepatumu karena sebentar lagi Paman Rey akan mengantarmu ke sekolah!" ujar Vinson sembari menurunkan putranya, Adam, dari gendongan lalu menyuruh Bibi Hana untuk membawa Adam dari sana.

"Ayo!" Bibi Hana menuntun Adam untuk bersiap-siap ke sekolah. Sedangkan Adam hanya mendengus kesal karena gagal menjahili Bibi Hananya.

Kepergian putra semata wayang membuat Vinson hanya bisa menggeleng pelan. Terkadang sifat nakal dari putranya membuat sesisi rumah kerepotan. 

Vinson akhirnya pergi dan menghampiri seseorang. Pria itu menatap punggung kecil di depannya  dengan seulas senyum simpul. Dengan langkah pelan, dia menghampiri seseorang itu dan detik berikutnya tangan kekarnya sudah melingkar sempurna di pinggang ramping sang istri.

"Astaga! Kau mengejutkanku!"

"Kenapa kau melakukannya? Kau bisa menyuruh pelayan. Ada banyak pelayan di sini," ujar Vinson memperhatikan apa yang istrinya lakukan.

"It's ok, aku tidak masalah. Lagi pula, aku senang melakukannya untukmu dan juga Adam," balas wanita dalam pelukannya sembari tersenyum simpul.

"Baiklah. Kau memang istri idaman." Vinson melepas pelukannya dan beralih mengecup pipi sang istri.

"Hei!" pekiknya terkejut.

Vinson hanya memasang wajah jahilnya sebelum melengos pergi meninggalkan istrinya yang menatapnya kesal.

Pada awalnya Sean hanyalah seorang sekretaris di perusahaan Vinson. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka memiliki ketertarikan pada satu sama lain hingga akhirnya mereka memutuskan menjalin hubungan yang lebih serius dan membangun sebuah keluarga.

Dulu bahkan Sean tidak menyangka kalau dia akan dinikahi oleh seorang pengusaha sukses dan berjaya seperti Vinson. Lagi pula, siapa yang akan menolak jika seorang pria yang tampan dan sukses melamarnya? Itu adalah sebuah anugerah baginya.

Setelah bersusah payah, akhirnya Sean berhasil menyelesaikan tugasnya. Pagi ini dia membuatkan sarapan untuk suaminya dan bekal makanan untuk Adam. 

"Apa Adam sudah berangkat?" tanya Sean sembari menata piring di atas meja makan.

"Ya, dia berangkat bersama Rey." 

"Oh, begitu." 

"Kau tahu tadi dia berulah lagi. Ck, anak itu benar-benar ... dia bahkan membuat Bibi Hana kelelahan karena tingkah jahilnya." 

"Bukankah dia mirip sepertimu? Sangat jahil." 

Vinson menoleh dan menatap Sean dengan kesal. "Hei, kapan aku seperti itu?!" serunya tak terima.

"Hampir setiap hari kau begitu, Sayang." Vinson hanya berdecak sebal tanpa mengatakan apa pun lagi. 

Mereka menikmati sarapan dengan tenang. Hingga akhirnya Vinson bangkit untuk segera bersiap ke kantor.

"Hari ini aku akan pulang sedikit terlambat, jadi kau tidak perlu menunggu," ujar Vinson berjalan keluar rumah dengan Sean yang mengantarnya sampai ke depan pintu. 

"Baiklah. Aku sudah menyimpan bekal makan siangmu di tas. Jangan sampai kau tidak memakannya!" seru Sean sedikit mengancam.

Vinson terkekeh pelan. "Baiklah, Nyonya, aku tidak akan lupa. Aku berangkat." Vinson mengecup kening lalu beralih menuju bibir istrinya. Setelah itu, dia benar-benar masuk ke dalam mobil. Sementara Sean melambaikan tangan sembari tersenyum manis. 

Sebenarnya sejak tadi perasaannya tidak tenang, tapi Sean tidak tahu apa arti dari semua itu. Sean harap sesuatu tidak akan terjadi pada keluarganya. Dia harap ini hanya sebuah prasangkanya saja. Dalam hati, Sean terus berdoa meminta perlindungan untuk keluarga kecilnya.

***

"Sebuah kecelakaan mobil dengan plat nomor 2943 mengakibatkan ledakan yang besar. Diduga korban mengalami luka parah dan saat ini tengah dilarikan ke rumah sakit terdekat."

Kilasan berita duka itu melintas di kepala Sean. Dengan langkah terseok dan air mata yang terus mengalir tanpa henti, wanita berjalan sempoyongan menyusuri lorong rumah sakit yang panjang ini. 

Tadi pagi, tepat pukul sepuluh, sebuah berita menampilkan sebuah kecelakaan mobil. Disusul dengan sebuah dering ponsel yang memberikan kabar duka untuknya.

Sean dengan sangat panik langsung menuju ke rumah sakit tempat di mana suaminya dilarikan. Nyatanya korban dalam berita kecelakaan itu adalah suaminya.

"Dengan Nyonya Albern?" tanya salah satu perawat di sana.

"Ya aku sendiri. Bagaimana keadaan suamiku?" ujarnya parau.

"Dokter sedang memeriksanya. Sebaiknya Nyonya berdoa untuk keselamatan suami Nyonya." 

"Sean!" Panggilan seseorang membuat Sean menoleh. Melihat siapa yang memanggilnya, dengan segera Sean langsung menghampiri orang itu dan memeluknya.

"Ibu …," panggilnya pilu.

Nyonya Albern segera memeluk erat menantunya dengan wajah yang sama sedihnya. Ibu mana yang tidak sedih mendapat kabar anak satu-satunya kecelakaan?

"Dia pasti akan selamat. Kita berdoa saja," ucap Carrisa menenangkan.

"Mom?" 

Sean melepaskan pelukan itu saat mendengar panggilan lain. Dia menatap Adam yang ternyata sudah menangis.

"Hey, Dear, don't cry. Daddy will be fine." Sean mengusap air mata di pipi Adam.

Namun, bocah kecil itu hanya menangis kencang sambil memeluk sang ibu dengan erat. Padahal tadi pagi Adam masih merasakan pelukan hangat dari daddy-nya. Tapi sekarang justru dia harus mendapatkan kabar duka ini. Walaupun terbilang masih kecil, tapi Adam mengerti dengan situasi yang sedang mendera keluarganya saat ini. Situasi bahwa daddy-nya tengah dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Its ok, it's ok." 

Sudah sekitar tiga jam mereka menunggu dokter keluar dari ruang operasi. Mereka terus menunggu dengan cemas. Sean melirik pada Adam yang tertidur di pangkuan Tuan Albern.

"Ayah biar aku saja." Sean menawarkan diri untuk menggendong Adam. Sean hanya tidak tega melihat ayah mertuanya yang sudah menggendong sang cucu selama berjam-jam.

"Tidak. Kau duduk saja tunggu dokter keluar. Biarkan aku menggendong cucuku," sahut Tuan Albern.

Sean hanya bisa mengangguk. Dia mengusap rambut Adam pelan. Melihat Adam yang tertidur pulas membuat hati Sean sedikit merasakan ketenangan.

Hingga tak lama kemudian, dokter keluar. Mereka langsung menyambut dokter itu dengan perasaan waswas sekaligus penasaran. Sean lebih dulu menghampiri dokter dan langsung menyemprotnya dengan pertanyaan.

"Dokter, suamiku baik-baik saja, kan?" 

Namun, bukannya menjawab, dokter itu hanya diam.

"Dokter tolong jawab!" serunya lagi.

Dokter itu terlihat menghela napas pelan yang justru membuat semua orang di sana semakin kebingungan. Terlebih raut wajah dokter itu juga terlihat berbeda. 

"Maaf. Tuan Vinson tidak bisa diselamatkan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan bekehendak lain," ungkap dokter itu penuh sesal. 

Bagai tersambar petir, Sean terdiam membeku di tempatnya berpijak. Degup jantungnya benar-benar berpacu lebih cepat. 

"I-itu tidak mungkin! Kau berbohong, kan? Suamiku pasti baik-baik saja!" teriak Sean histeris. Sean menggeleng cepat, berusaha mai-matian membantah ucapan dari dokter. 

Nyonya Albern segera memeluk menantunya lembut. Dia juga ikut menangis di sana. Sedangkan Tuan Albern menutup kedua matanya menahan tangis. Tanpa sadar pun Adam menangis dalam tidurnya di pangkuan sang kakek. Semuanya merasakan kesedihan yang begitu mendalam. 

"Waktu kematian tiga lewat enam belas sore. Vinson Albern," ucap sang dokter dengan parau.

Sean yang mendengarnya hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Perasaan tidak enak yang sempat dia rasakan benar-benar terjadi. Hari ini adalah hari yang terburuk untuknya. Kehilangan suami tercinta untuk selama-lamanya.

***

Beberapa orang penting berdatangan melayat. Sebagian di antaranya adalah rekan kerja Vinson dan beberapa kerabat jauh mereka. Mereka turut berduka atas kabar duka ini. 

Vinson Albern memang dikenal sebagai pengusaha sukses yang ramah dan ceria. Vinson juga  dijuluki dengan pria yang dermawan karena kemurahan hatinya. 

Sean menutupi mata sembapnya dengan kacamata hitam. Ini adalah waktu untuk penguburan suaminya. Dia bersiap-siap untuk pergi. 

Vinson diantarkan ke tempat terakhirnya dengan begitu terhormat. Banyak mobil yang mengantarkannya ke tempat pemakaman.

Dengan langkah berat Sean mengantarkan jasad suaminya untuk dimakamkan. Sekuat tenaga Sean menahan tangis saat melihat peti sang suami sudah akan dikebumikan.

Setelah semua orang telah berpamitan pergi, Sean memilih tetap tinggal sendirian di pusara suaminya. Melihat foto Vinson yang tersenyum cerah membuat hatinya merindu. 

Cukup lama Sean diam memandangi foto Vinson sebelum akhirnya bangkit pergi. Beberapa bodyguard yang sejak tadi menunggu Sean langsung mengapit langkah Sean dengan aman.

Satu bulan berlalu sejak kejadian itu. Kini keadaan Sean perlahan mulai membaik, walau terkadang masih sering larut dalam keadaan duka. Sean yang tengah melamun seorang diri tersadarkan ketika salah satu pelayan rumah datang menghampirinya.

"Nyonya, di luar ada tamu. Dia bilang ingin bertemu dengan Nyonya," kata si pelayan. Dengan segera Sean pun menghampiri tamu yang dimaksudkan pelayannya.

"Kau siapa?" tanya Sean setelah melihat seorang pria asing dengan pakain formal.

"Selamat siang, Nyonya, aku pengacara yang sudah diutus Tuan Albern." 

Mendengar hal tersebut membuat Sean lantas mempersilakan pengacara tadi untuk duduk.

"Ada kepentingan apa menemuiku?"

"Begini ..." Pengacara itu membuka salah satu map yang berisi lembaran kertas di sana lalu menyerahkannya pada Sean. "Sebelum Tuan Vinson meninggal, beliau memintaku untuk menyampaikan ini padamu. Di sana sudah tertera bahwa rumah, mobil, dan semua aset yang dimiliki Tuan Vinson berpindah atas namamu tanpa kendala apa pun." 

Sean membaca surat itu dengan teliti. Di sana memang sudah tertera namanya. Sean termenung. Dia bahkan tidak tahu kapan Vinson memindahkan semua asetnya padanya. 

"Tuan Vinson bilang, setelah kematiannya, margamu harus dihapuskan. Itu agar memudahkanmu jika kau ingin menikah lagi," jelas si pengacara. "Jadi mulai sekarang kau bukan lagi Seanne Albern, melainkan Seanne Park. Dan semua aset ini kini menjadi milikmu."

Setelah menyampaikan hal penting tersebut, pengacara tadi pun pamit pergi. Sementara Sean menatap kertas di hadapannya dengan hampa. Hingga tiba-tiba air matanya kembali mengalir.

"Vinson, aku hanya menginginkanmu kembali," isaknya pedih.

***