Resonasi Bedug dan MIC Al Wannawan

Resonasi Bedug dan MIC Al Wannawan

Ravenura

5

Di lereng pegunungan itu terdapat kampung padat penduduk. Ragam tingkahnya, ragam absurd-nya. Kampung itu bernama Kampung Venura. Dikepalai oleh Pak Gukpro, satu-satunya sarjana di kampung. Usut punya usut, Pak Gukpro adalah sarjana jadi-jadian. Iya sih, kuliahnya lulus, tapi di universitas bodong. Jadinya ijazahnya kobong.

Yang penting ilmunya dapat, begitu kata Pak Gukpro.

Namun di kampung itu, jangankan lembaga formal, informal macam ponpes saja tidak ada. Kurang dana dan cita-cita warga untuk berbenah diri jadi alasan kampung Venura jadi sepi merangas tanpa sentuhan ilmu. Wajah-wajah warga sesuram langit yang lagi mendung pekat. Mudah dikelabui nikmat dunia. Ada pesta langsung diserbu. Giliran pelatihan kerja saja, kabur!

Kemudian datanglah sekeluarga dari kota terpelajar. Awalnya ingin liburan di lingkungan yang tenang. Tidak tahunya, melihat masa jahiliyah orang Venura menyebabkan keprihatinan yang besar atas nasib warga. Globalisasi menerjang, masa warganya nanti rawan terbang, eh nggak mau berkembang?

Banyak bedebah melakukan kemaksiatan. Kurangnya pemahaman agama para warga menyebabkan Pak Yoon Jisung terpanggil. Dia harus mendidik orang lain. Artinya, bangun pondok! Mulai dari peletakan batu fondasi pertama sampai pasang papan tulis di kelas, Pak Yoon turun tangan. Nggak heran kalau beliau jadi mirip iwak teri dipanggang berminggu-minggu di bawah matahari.

Jisung supel ke semua orang, pamornya meroket. Beliau jadi primadona di Venura. Disegani karena ilmunya, sampai Pak Gukpro sirik. Pamornya kendor sebagai pimpinan utama kampung. Mana santrinya Jisung melonjak jadi ratusan orang buat belajar alif ba ta tsa. Padahal usia Jisung masih 27 tahunan.

Kompleks pondok bernama Al Wannawan ini terdiri beberapa gedung, dengan rumah kecil sebagai pusatnya. Gedung kembar berlantai dua sebagai asrama santri yang mengapit rumah sang kiai, bangunan berbentuk L berisi kelas, aula dan kantin. Di belakangnya lagi adalah masjid Al Wannawan.

Suasana riuh tiap hari. Ada saja huru-hara di antara para santri. Hari itu adalah bulan Ramadhan. Bulan terfavorit bagi Kim Jaehwan yang mondok di sana. Konsentrasinya makin.

menjadi buat hafalan. Semangat pokoknya. Kanan kiri lagi tadarusan. Jaehwan grasa-grusu ingin khataman tanpa bolak-balik buka mushaf. Usai salat tarawih, Jaehwan sudah pasang badan di depan mic. Dia duduk bersila, kidmat membaca ayat suci tanpa lirik kitab suci. Dia memejamkan mata melafalkan Al Imran.

Memang bawaan dari orok, Jaehwan doyan pegang mic. Katanya, nyanyi-nyanyi itu dosa. Pamer aurat. Dari pada menyanyi, mendingan dibuat komat-kamit hafalan Alquran.

Betul, yorobun?

Makin jernih pikirannya, makin kencang Jaehwan hafal. Satu baris menuju setengah halaman.

Jaehwan gercep kalau niat. Kalau enggak, dia bakal mengulang sampai benar-benar hafal, mengundang Pak Gukpro dan warga datang ke masjid, protes kenapa bacaannya berulang-ulang.

Apa tape-nya rusak? Dikira lantunan ayat suci dari kaset gitu. Tak tahunya Jaehwan dalang nganggurnya kaset murattal.

Taawudz balik lagi taawudz. Sampai Jaehwan plong hafalan.

"'Kan biar yang denger ikutan hafal juga kalau Jaehwan hafalan," kilahnya polos, bicara masih pakai mic. Jadilah suaranya terdengar kencang ke luar masjid. Bikin penduduk komat-kamit mengira ada setan masuk rumah.

Nah, Kiai Yoon datang menengahi debat itu dan menyuruh Jaehwan berhenti hafalan. Jaehwan disuruh balik kamarnya. Pak Gukpro balik dengan hati dongkol sekaligus lega setelah kaset murattal pemberiannya diputar. Makin ademlah hati kepala desa mendengarnya.

Bahu Jaehwan macam daun kelor congkel dari rantingnya. Bibirnya mengerucut kecewa. Malam ini dia tidak bisa memegang mic. Loloslah nyanyian sendu meratap, tak rela dipisahkan oleh mic.

She’s goneeeee

Out of my lifeeeeeeeeee

Jaehwan tidak jadi ke kamar, berbelok ke kantin. Beli kopi tubruk untuk menghalau kesedihan. Pemuda itu terjebak dengan yang namanya kesepian di tengah keramaian. Pasalnya di sebelahnya, Seongwoo dan Daniel sedang rusuh berebut nasi goreng.

"Gue yang pesen duluan, sini nasi gue!" seru Seongwoo rusuh. Pecinya sudah miring gara-gara gulat dengan sohib kentalnya.

"Hush, minggir sono. Dasar cacing kremi, rusuh mulu. Lapar nih!"

"Eee kuda nil, mentang-mentang lo bongsor, seenaknya embat jatah gue. Ini punya gue! Ya kan, Mbok!" Seongwoo tak mau kalah.

Jadilah mereka saling tarik menarik piring.

Sampai akhirnya ustad killer bermulut lumba-lumba langsung nongol menengahi pertengkaran itu.

"Heh, napa lagi ini dua begundal? Rusuh terus kerjaannya, ye" tanya ustad berkacamata bundar, mau saingan sama Harry Potter.

"Anu, Ustad, makanan Ong direbut Daniel," sungut Seongwoo dengan muka melas.

"Cerita dulu, akar masalahnya apa?" tanya ustad itu bijak bestari. Duduk tegak di seberang meja. Aslinya mupeng bener selagi lapar juga. Tapi ditahan-tahan dulu sekuat tenaga.

"Itu tadi kan kita janjian, nasgornya giliran. Nah piring pertama si Daniel karena saya kalah suit. Terus piring kedua kan hak saya ya, Ustad. Eee... si Daniel main nyosor ngaku-ngaku. Katanya perutnya belum kenyang."

"Oooo...."

"Kan tadi juga janjian, gilirannya sampai perut kenyang. Nah perut saya kan belum kenyang, Ustad, jadi ini masih hak saya." Daniel cemberut.

"He, kuda nil, mau sampai kapan lo makan terus. Sayang teman dikit elah. Kurus-kurus gini gue klenger ngalah terus demi lo!" sewot Seongwoo makin menjadi.

Ha Seongwoon mengambil piring. Dia menyendok nasi goreng yang super lezat itu. Mulutnya menganga, nyaris keselek angin gara-gara dua santrinya jerit-jerit tak terima makanan berharga itu dimakan ustadnya.

"Andwae andwae andwae..."

"Lanjutkan ributnya, Ustad lapar." Begitu Ha Sungwoon bilang. Mengadili pertengkaran dengan memakan barang sengketa.

Nyam....

"Ustad.... Nanti yang bayar siapa, Ustad?" Mata Seongwoo berkaca-kaca. Perutnya sudah melilit tak karuan. Walau sudah bukber pakai sate alias sayur tempe, rasanya mengenaskan makanan ronde keduanya yang dia bayar dengan sisa duit merompak adik-adik santrinya terbuang begitu saja.

"Pesan nasgor dua, jumbo, Mbok. Buat dua Tiranosaurus edan ini. Kasih telor ceplok, Mbok. Oh ya kalau ngasih bareng saja. Nanti rebutan lagi ini." Si ustad memesankan dua santrinya yang riwuh. "Jaewan tidak mau nasgor juga?" Akhirnya si ustad melirik Jaehwan

Sedari tadi Jaehwan cuma melihat pertengkaran mereka. Bengong tepatnya.

"Jaehwan?" panggil Sungwoon dengan pipi menggembung. Keringat sudah menetes, soalnya nasgor level mampus. Mulutnya mangap-mangap kaya mas koki di dilempar ke tanah.

"Eh, tidak, Ustad Ha. Saya tidak lapar."

Jaehwan kembali larut ke lamunannya. Bila si Ong dan Daniel berebut sepiring nasgor, lain lagi dengan Jaehwan. Mic-nya direbut pak kades. Tidak boleh hafalan pakai mic. Niatnya untuk hafalan kali ini modar. Dia sangat sedih tidak bisa pegang-pegang mic lagi. Harus menunggu besok malam buat ikut khataman—kudu baca.

"Eh, nggak usah sok jaim lo, Wan. Sini dah selagi Ustad Ha ngetraktir. Kapan lagi ada ustad super baik, ya kan?" Daniel mengompori. Dia kegirangan dapat porsi super jumbo.

"Ga laper. Batin gue yang laper," jawab Jaehwan enggan. Aslinya mulutnya yang laper buat mencium mic.

Aroma nasgor memecah udara. Semakin lapar mendengar denting wajan di penggorengan, semakin gelisah Ong dan Daniel menanti.

Sreng sreng sreng.

Telur ceplok akhirnya mendarat di gunung nasi berwarna kemerahan. Bagai gunung berapi meletus. Kuningnya adalah puncak lava meledak, putihnya yang sedikit gosong tak lain adalah lelehan lahar panas yang siap digayang di mulut. Sedapppp...

Seongwoo dan Daniel lagi-lagi heboh. Seolah diburu waktu. Kepedasan plus kepanasan bikin meledak perutnya. Tetapi siapa yang tidak bahagia ditraktir nasgor. Apalagi jarang sekali Ustad Ha memberi sesuatu kalau.....

"Habis makan, kumpul di masjid ya."

Nah kan?

Suara angker itu lolos juga di mulut Ustad Ha. Cekikikan tidak jelas siap memberi hukuman. Soalnya Ustad Ha ini aseli ngeselin. Asli musuh abadinya Daniel. Ada saja cara menemukan kesalahan si anak kota yang kondang badungnya.

Setengah piring nasgor langsung hambar. Memangnya ada masakan enak kalau tiba-tiba kita dikasih tahu pekerjaan yang lebih banyak?

"Awas kalau telat. Kutunggu sepuluh menit lagi." Ustad Ha menoleh lagi ke Jaehwan. "Jaewhan, ikut mereka ya. Sekalian ada perlu."

Jaehwan mengangguk-angguk tidak mengerti. Masih sentimental ke mic tadi.

Ustad Ha nyelonong pergi setelah membayar makanan. Sarung kotak-kotaknya berkibar-kibar. Mungil-mungil begini, ampun kekejamannya.

"Asemprul si ustad. Modus melulu. Kita salah apa sih, Dan?" Seongwoo menggeplak kepala Daniel ketika telur ceploknya dicuri. "Woy rakus lo. Pesen lagi sonoNgapain ambil telor gue!"

"Nggak sempat. Buruan, njir abisin. Nanti si Ha langsung gempor dobel kita." Nasi di mulut Daniel menyembur kala bicara.

Mereka lagi-lagi balapan minum teh hangat yang asli panas betul. Melihat si Jaehwan malah bertopang dagu di meja makan, akhirnya Ongniel mengamit lengan Jaehwan. Jaehwan yang bengong, pasrah saja diseret menggantung. Soalnya kakinya beberapa senti di tanah. Sandalnya malah ketinggalan di bawah bangku kantin. Posenya pun bengong makin kuadrat.

Tak pelak pemandangan itu bikin ngakak santri lainnya.

Ha Sungwoon berdiri pongah di pelataran masjid. Dia menggiring ketiga santrinya ke sayap kanan masjid di mana sebuah bedug besar berada. Bedugnya sedang diganti kulit baru. Namun, salah satunya masih belum selesai. Tidak semua kulitnya dipasak pakai kayu, jadi ada sebagian celah buat masuk ke dalam bedug.

"Seongwoo, Daniel, masuk ke sana ya. Ada yang perlu direparasi itu," tunjuk ustad bertelekan pinggang. Emang ya si ustad, punya kuasa banget sama santrinya. Main perintah gitu.

"Wah mantap, Ustad." Seongwoo kegirangan. Sedari dulu dia penasaran banget buat masuk ke dalam bedug.

"Mana muat kami masuk, Ustad. Nanti bedugnya jebol," protes Daniel khawatir. Soalnya badan segede kuda nil ini nggak cakep masuk bedug. Sempit apalagi ditambah cacing kremi yang tak bisa diam.

"Sudah, tidak usah banyak cingcong. Buruan masuk. Ini bedug kudu cepet kelar buat persiapan lebaran," sergah si ustad makin jengkel. "Awas bikin jebol bedugnya, nanti hukuman lima kali lipat. Berendam dalam tong isi kedelai punya Man Ponyo baru tahu rasa!"

Seongwoo dan Daniel bergidik. Soalnya tong itu diikat di pohon yang mengapit sungai. Biasanya dibuat untuk merendam kedelai yang bakal diproduksi jadi tahu. Tapi hukuman Ustad Ha tidak pernah main-main. Serem aja sih. Soalnya sungainya konon ada buaya.

Duo santri itu akhirnya masuk. Serpih kayu menjatuhi kepala Daniel dan Seongwoo. Seketika semuanya mendadak gelap. Soalnya ustad mereka malah menutup kulit sapi yang tersingkap itu.

Dengan bantuan santri lain yang sudah menunggu Sungwoon dari bilik toilet, kulit bedugnya terkatup rapat, sehingga Seongwoo selaku di depan pintu masuk kalah tenaga buat dorong-dorongan. Punggungnya sakit karena Daniel mendorong pake ujung jempol ala pijat akupresor. Lincip menusuk bikin semua syaraf Seongwoo bangun semua.

"Woy, Jaehwan. Dari pada Ustad senep liat muka kamu itu, sini pegang stiktabuhin sana!"

"DUARRR..."

Wadaw..... Dari luar saja suaranya sudah kencang. Apa kabar yang dari dalam bedug?

Lima ratus kali lipatnya bikin kepala goyang-goyang tak karuan. Rasanya jauh lebih buruk ketimbang berdiri di depan sound system. Resonasinya luar biasa dahsyat. Jangan heran sekeluarnya dari bedug, kepala bergoyang-goyang ala India.

"Omo! Apa ini, apa ini?" tanya Seongwoo histeris. Dia menekap kedua daun telinganya, melindungi agar tidak jadi budeg selamanya.

"Anjir si Jaehwan," kutuk Daniel.

DUARRRRRR......

Lagi-lagi getaran menggoncang isi bedug. Jaehwan seolah membalas makian Daniel dengan hentakan bising. Penghuni bedug menjerit bersamaan. Serbuk kayu menjatuhi mereka. Bikin keselek si Daniel dari belakang.

Mereka rusuh di dalam. Pengen lolos dari hukuman Ustad Ha yang brutal. Demi pertengkaran kecil gara-gara rebutan nasgor, harus menerima siksaan maha dahsyat.

DUARRRRRR.....

Ledakan resonasi kembali menghantam dua trouble maker ini. Napas mereka makin ngap-ngap kurang oksigen. Goncangan tenaga dari dalam bikin kaki bedug goyah.

Jaehwan yang tadinya murung, senang akhirnya bisa menggebuk drum. Sejujurnya Jaehwan anak band sebelum resmi tobat dan masuk ponpes. Dia bernostalgia. Karena sudah lama nggak main seruling, gitar, drum, piano de-el-el. Ditambah lagi bedug. Mantap jiwa.

Anjir.

Daniel mengumpat. Dia punya dendam kesumat ke Jaehwan sekarang.

Okelah, angan serunya masuk bedug di masa kanak-kanak Seongwoo akhirnya modar. Dia tidak jadi menyukai bedug. Parah bener. Bikin orang jadi punya fobia. Seongwoo resmi klaustrofobia sekarang.

Kulit bedug akhirnya dibuka. Keduanya keluar seperti ikan sarden. Beruntun menumpuk jatuh ke ubin masjid dengan serbuk kayu yang jadi saosnya. Mereka keselek nggak karuan. Kasihan bener.

"Jaehwan, baca surat At Taghabun ayat 16!" perintah Ustad Ha.

Jaehwan menyitir ayat dengan sempurna. Suaranya merdu banget. Bikin pendengarnya adem. Tidak heran besok dia mau dikirim lomba nasional bareng Daehwi sebagai kontingen Al Wannawan di ibu kota provinsi.

"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung."

Begitulah cara jitu Ustad Ha Sungwoon menasihati dua muridnya, utamanya yang sibuk mengisi perutnya sendiri ketimbang berbagi.

Daniel merenggut disindir. Sementara Seongwoo manggut-manggut. Kini dia sadar, sesadisnya guru bahasa arab, Ha Sungwoon itu dermawan.

"Makasih, Ustad, ai lope yu!"

Cacing kremi memeluk ustadnya. Serbuknya menyebar ke mana-mana.

"Apaan sih, Ong. Sana bersihkan rabuknya. Uhuk uhuk..... Awas kalau tidak disapu. Bubar-bubar!"

Ustad Ha langsung ngacir sambil kibas-kibas baju. Seongwoo langsung menari poppins buat mengenyahkan rabuknya. Sementara Daniel mengibaskan rambut ala iklan sampo yang kepalanya direndam danau.

"Gara-gara lo sih Ong, ngajakin jajan nasgor, gue apes malam-malam." Daniel mendorong bahu Seongwoo.

"Yeeeee... Kan lo yang bilang mau traktir gue makan."

Kedua sohib saling sikut. Berantem lagi sampai akhirnya Sungwoon menoleh kedua santrinya. Otomatis Ongnil dadah-dadah pamer gusi seolah tidak ada apa-apa. Dan demikianlah, sebagian kisah Al Wannawan yang bersinar karena kelakuan tiap oknumnya.