"Aa di-PHK."
Aku memandang wajah suamiku. Ekspresinya datar. Nggak ada tanda-tanda Aa Gara sedang bercanda atau menyebarkan berita palsu. Aku juga tahu banget kalau Aa Gara bukan orang yang suka berbohong. Berarti, apa yang barusan Aa Gara katakan benar.
Aku menarik tangan Aa Gara. "Duduk dulu, A," pintaku sambil mengajak Aa Gara ke kasur. Aku duduk lebih dulu, lalu menepuk-nepuk sisi kananku.
Aa Gara menurut dengan wajah tanpa ekspresi. Pandangannya lurus menatap televisi di kamar kami yang nggak menyala. Terpantul di televisi, aku dan Aa Gara duduk berdampingan. Posisi kami nggak ada romantis-romantisnya karena suasananya sedang menegangkan, seakan kami sedang menunggu Sadako keluar dari televisi.
Aku mengembuskan napas panjang sebelum mulai bertanya. "Jadi ... Aa nganggur sekarang?" tanyaku dengan hati-hati.
Aa Gara menjawab dengan anggukan perlahan. Aku menunggu Aa Gara menjelaskan, tapi nggak ada. Suamiku memilih diam. Sejak kepulangannya di sore yang cerah pada hari Senin ini, Aa Gara masuk rumah dengan membisu. Rentetan pertanyaanku berakhir dengan pengabaian. Makan bersama pun kami lewati tanpa suara Aa Gara. Sampai akhirnya kami punya waktu berdua di kamar malam ini, Aa Gara baru mulai bercerita alasan kepulangannya yang terlalu cepat hari ini.
Aku memejamkan mata sebentar sambil mengatur napas. "Kok, bisa, A?" Aku menahan diri agar sanggup bertanya dalam nada suara yang lembut.
Sejujurnya, tubuhku sudah lelah. Seharian aku menemani Haya berlatih tari. Rencananya, anakku akan tampil di acara wisuda TK dua bulan lagi. Setiap dua hari dalam seminggu, Haya dan teman-temannya berlatih. Tapi, Haya nggak mau berlatih kalau nggak ada aku. Anakku yang pemalu selalu butuh kehadiran aku atau Aa Gara di setiap acara pentingnya.
"Pandemi," jawab Aa Gara singkat.
Aku nggak butuh jawaban singkat. Aku mau penjelasan detail karena ini bukan masalah yang remeh. "Pandemi kenapa, A? Itu udah tahun lalu kelar, lho."
"King sudah susah payah bertahan, tapi gagal. Penjualan menurun drastis karena sekarang orang-orang juga lebih banyak belanja secara online. King belum berhasil adaptasi sama perubahan yang terlalu cepat ini. Saingan King juga semakin banyak. Pandemi kemarin memperparah kondisinya." Aa Gara menjelaskan tanpa memandangku sama sekali.
Aku meraih tangannya, menggenggam sambil berharap suamiku masih sanggup bertahan jadi karyawan di King Hypermarket. "Aa, kan, manajer personalia, nih. Pasti Aa nggak kena PHK, dong?" tanyaku masih dengan nada lembut.
Aa Gara kembali menggeleng. "Nggak cuma di Jakarta, seluruh toko di Indonesia tutup secara permanen. King sudah bangkrut, Dek." Suara Aa Gara masih tenang, seolah yang kami bicarakan bukan masalah serius.
Tubuhku lemas. Aku melepaskan genggaman pada tangan Aa Gara. Aku masih berharap ini cuma lelucon. Tapi, suamiku yang dingin nggak mungkin bercanda, apalagi tentang hal seserius ini.
"Kok, bisa, sih, A?" tanyaku dengan suara meninggi. Aku nggak bisa menahan diri lagi. "Kok, bisa Aa nggak pernah cerita soal ini? Nggak mungkin hypermarket sebesar King bangkrut secara mendadak, kan? Nggak mungkin mereka PHK ribuan karyawan dalam waktu singkat, kan? Pasti ini udah direncanakan jauh-jauh hari, berbulan-bulan. Tapi, kenapa Aa nggak pernah cerita, sih? Bulan kemarin, waktu aku nanya soal kabar King yang bangkrut aja, Aa masih bilang kalau itu cuma gosip. Tapi, kenapa sekarang Aa di-PHK?"
Ini salah satu kebiasaan buruk Aa Gara yang nggak pernah berubah sejak lima tahun pernikahan kami. Aa Gara selalu menyimpan masalahnya sendiri tanpa mau menceritakan apa pun padaku. "Aa selalu anggep aku bocah makanya nggak pernah mau cerita. Sebocah-bocahnya aku, tetep aja aku ini istri Aa Gara. Paling nggak, Aa bisa kasih tahu kalau kondisi kita ke depannya bakal buruk. Kalau mendadak gini, aku bisa apa?"
Aku berdiri, lalu berjalan mondar-mandir di depan Aa Gara. "Terus, gimana selanjutnya? Aa mau ngapain sekarang?" Aku harus memastikan rencana suamiku selanjutnya.
Aa Gara memandangku masih dengan wajah yang sama sekali nggak menunjukkan perubahan emosi. Aku selalu kesulitan menebak apa yang Aa Gara sedang pikir dan rasakan, termasuk sekarang ini.
"Kamu nggak usah panik, Dek. Karena sudah kerja hampir sebelas tahun, Aa dapat pesangon sekitar 300 juta. Sementara, teh, hidup kita aman, Dek." Aa Gara menjelaskan dengan tenang. Sama sekali nggak ada kekhawatiran di wajahnya.
Awalnya, aku bisa bernapas lega. Nominal itu cukup besar di telingaku. "Terus, kalau uangnya abis, gimana, A?" tanyaku. Aku masih belum bisa tenang.
Mau Aa Gara bekerja atau pengangguran, tetap saja hidup kami harus berjalan. Keluarga ini butuh biaya dan jelas nggak murah. Uang 300 juta bisa untuk hidup kami nggak sampai satu tahun.
Aa Gara meraih tanganku, lalu mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Nggak usah panik, ya, Dek. Kita pikirkan itu nanti."
Usaha Aa Gara menenangkanku nggak berhasil. Aku belum mendapatkan kepastian untuk kelangsungan hidup kami selanjutnya. "Tapi, A. Kita punya banyak cicilan, lho. Rumah ini, mobil, sama dua motor nggak mungkin kita jual, kan? Tanggungan Aa juga nggak cuma aku sama Haya aja, tapi ada Ambu dan Dira. Gimana Aa bisa memenuhi kebutuhan kami kalau nganggur?"
Aa Gara berhenti mengusap punggung tanganku. Genggamannya jadi lebih erat. Pandangannya tertuju padaku. Nggak ada senyum yang mendamaikan, tapi aku tahu Aa Gara masih berusaha menenangkanku.
"Kita pikirkan nanti, ya. Sekarang sudah malam. Waktunya kita tidur dulu." Ajakan Aa Gara terdengar menyebalkan di telingaku. Ini lebih mirip perintah tidur siang dari ibu ke anak balitanya yang masih asyik bermain.
Kami belum mendapatkan rencana pasti untuk melewati hari-hari selanjutnya. Aku juga belum tahu Aa Gara akan bekerja sebagai apa nanti. Sejak sebelum mengenalku, Aa Gara sudah bekerja di King. Entah terlalu nyaman atau nggak mau mencoba tantangan baru, Aa Gara nggak pernah berniat pindah pekerjaan. King sudah jadi pegangan hidup Aa Gara. Tapi, sekarang pegangan itu lepas.
Aa Gara merebahkan diri lebih dulu, padahal aku belum setuju untuk mengakhiri pembicaraan. "Matikan lampunya, Dek!" perintahnya dengan mata memejam.
Aku ingin membantah dan membuka pembahasan lagi, tapi pasti sia-sia. Aa Gara sudah memutuskan untuk beristirahat. Aku nggak akan bisa mengusik keputusannya. Terpaksa aku menuruti perintahnya.
Setelah mematikan lampu, aku merebahkan tubuh di samping Aa Gara. Nggak ada pelukan dan aku juga nggak sedang ingin berpelukan. Pikiranku masih kusut dengan banyak kekhawatiran masa depan yang nggak jelas. Suara napas Aa Gara malah menambah kecemasanku.
Gimana sekolah Haya nanti? Tahun ini Haya masuk SD, yang jelas butuh biaya besar. Sekolah anak sekarang nggak murah. Itu baru biaya sekolah, belum termasuk peralatan sekolah, baju, dan vitamin Haya.
Ambu dan Dira juga nggak mungkin kami telantarkan. Aku sayang ibu mertua dan adik iparku, sayang banget. Tapi, gimana caranya kami tetap bertahan tanpa mengorbankan salah satunya?
Iya, benar. Harus ada yang kami korbankan. Tapi, apa?
Aku melirik suamiku. Dalam gelap, aku nggak mampu melihat wajah Aa Gara dengan jelas. Tapi napasnya yang teratur menjadi bukti Aa Gara sudah tidur nyenyak.
Kok, bisa Aa Gara tidur, sih? Ini gimana nasib keluarga kami selanjutnya?