Rencana Seoninjang

Rencana Seoninjang

marinayudhitia

5

“Astaga, tubuhmu kini membengkak dan wajahmu tanpa riasan jelek sekali!”

“Apa yang bisa diharapkan dari mantan pesohor semacam dirinya setelah grup musiknya resmi bubar?”

“Jangan hiraukan mereka, Daehan. Kau yang terbaik.”

“Kau seperti orang bodoh.”

Sial! Selalu komentar penuh cemoohan yang muncul, setiap Daehan menggelar sesi siaran langsung di media sosial. Lelaki berusia hampir tiga puluhan itu biasanya hanya akan pasrah. Bertahun-tahun hidup di dunia hiburan membuat Daehan mahir menyembunyikan kepedihan di balik senyuman lebar. Setelah kamera dimatikan, barulah sekujur tubuhnya gemetaran, napasnya tersengal-sengal, dan air matanya menganak sungai.

Namun, malam itu Daehan tak lagi bisa menahan.

Dalam episode siaran langsung berjudul “Ayo Berkenalan dengan Seoninjang!”, para penonton bukan hanya mengomentari dirinya, melainkan juga mengolok-olok diriku. Tokoh utama siaran malam itu.

“Kau benar-benar cuma memberinya nama seoninjang—kaktus? Kemana daya kreatifmu?”

“Mereka berdua sama-sama buruk rupa.”

“Itu tak benar, Daehanie. Kau tetap tampan seperti dulu.”

“Apa yang bisa diharapkan dari peliharaan seorang pemabuk seperti Jung Daehan?”

Perlu kuakui, memang benar apa yang mereka katakan. Wujudku jauh dari indah. Sebuah Echinocactus grusonii—kaktus gentong—yang bentuknya tak lagi bulat hijau. Ragaku kini peang sebelah. Berwarna kecokelatan dengan bercak-bercak putih dan coak-coak busuk di beberapa bagian. Duri-duri halus yang semestinya kuning keemasan mulai rontok, menjadikanku siap gundul tak lama lagi.

Akan tetapi sungguh, aku bersumpah. Ini bukan karena Daehan tak becus merawatku. Justru ia mengurusku lebih baik dibandingkan ia mengurus dirinya sendiri. Ini hanya nasibku sebagai tanaman sukulen yang menyerap dan menyimpan cadangan air. Sejak tinggal bersama Daehan dan jadi bagian hidupnya, bukan hanya cairan yang kuserap, melainkan juga segenap kesedihan, kesakitan, penderitaan, dan pengalaman buruk dalam jiwanya.

“Kaktusmu sekarat, Daehan. Sebentar lagi ia akan mati.”

“Berhenti mengatakan itu!”

“Mati sajalah!”

Tidak. Percayalah. Hingga kini aku masih bertahan. Kita berdua akan terus bertahan, bukan?

Namun, malam itu Daehan tak lagi bisa menahan. Emosi dan amarahnya menyeruak seketika. Ia meraih botol sojunya ke depan kamera. Ditenggaknya minuman itu sampai habis, lalu mengumpat dan mengacungkan jari tengah ke layar gawai.

“Ini yang terakhir kalinya. Aku terlalu muak.” Daehan mematikan siarannya dan menelungkupkan ponselnya di atas meja. Percuma saja. Apa yang ia dapatkan tak sepadan dengan niatnya tampil untuk menyapa penggemar. Bahkan ia tak lagi yakin masih memiliki penggemar. Segelintir komentar positif yang ia baca hanya mampir sekelebatan. Tak mampu membendung derasnya kebencian.

Daehan bangkit. Mencari botol soju baru dan kembali mengguyur kerongkongannya dengan minuman keras itu. Sejenak ia menatap nanar ke arah botol dalam genggamannya. Daehan bukan cenayang, tapi ia bisa meramalkan huru-hara apa yang terjadi di luar sana akibat perbuatannya barusan. Cuplikan video beredar disertai berbagai cuitan. Rilisan kabar terbaru media. Semua berbau hujatan dan dikaitkan dengan skandal setahun silam. Kala Daehan dituduh menyetir dalam keadaan mabuk sampai menghilangkan nyawa pengendara lainnya.

Harus menunjukkan bukti apa lagi. Mau bersumpah bagaimana lagi. Polisi sudah menyatakan secara resmi bahwa kecelakaan itu murni tanpa sengaja. Daehan mengemudi dalam keadaan sepenuhnya sadar, hanya sedikit kelelahan. Bukti kamera pengawas memperlihatkan ada keteledoran dari korban. Keluarga korban pun bersedia menempuh jalan damai. Semuanya berakhir sampai di situ. Seharusnya. Namun, tidak demikian. Terlampau banyak pihak yang memanfaatkan situasi untuk menjatuhkan karier Daehan. Apalagi saat itu Daehan adalah pemimpin grup musik yang tengah memuncaki popularitas. Begitulah hukum alam. Setelah sampai di puncak, seseorang harus menempuh perjalanan menurun, dan bagi Daehan, ia jatuh teramat kencang ke dasar jurang.

Meski terbebas dari hukuman, Daehan tetap menyalahkan dirinya. Ia memilih mengundurkan diri dari grup. Hidup glamornya berubah drastis. Dari kediaman mewah di kawasan elit Hannam-dong, Daehan pindah ke sebuah flat murah di distrik pinggiran kota.

Sisa royalti dari lagu-lagu ciptaan Daehan yang berjasa menyambung hidupnya, tiba-tiba tak lagi dibayarkan oleh perusahaan. Hidupnya terpaksa bergantung pada belas kasihan kelima anggota grup lainnya. Namun tentu saja itu pun berbatas.

Tak lama, tersiar kabar mantan grup musik Daehan memutuskan bubar. Orang-orang kembali menghubungkan dengan kasusnya. Lagi-lagi Daehan bersalah.

Sampai suatu hari, sahabatnya, Yoonjin, berkunjung ke flat Daehan dan berbicara sembari mengepulkan asap rokoknya.

“Dengar, Daehan, apa kau bisa melawak? Kudengar beberapa stasiun televisi membuka audisi acara komedi. Kau cuma perlu bertingkah lucu dan sedikit mempermalukan dirimu.”

Daehan tertawa hambar.

“Aku serius. Aku tak lagi bisa membantumu. Pikirkan saranku.”

Daehan memandangi Yoonjin yang rambutnya mulai gondrong. Kumis dan cambangnya dibiarkan tak tercukur. Daehan merasa bersalah atas kondisi Yoonjin.

“Pokoknya kau harus bekerja lagi. Kalau tidak, lebih baik pulang ke tempat orang tuamu di Jeju.”

Tidak. Daehan tak mungkin melakukan itu. Terakhir kali berkomunikasi, ayah dan ibunya merasa gagal memiliki putra seperti Daehan. Seorang anak tak berguna yang tak lagi bisa mengirimkan uang bulanan.

Daehan bersalah kepada Appa dan Eomma karena telah mengecewakan mereka.

Rasa bersalah dan penyesalan makin mengimpit dadanya, membuat Daehan sesak napas. Ia memindahkan potku kembali ke ambang jendela, lalu mendorong dahan jendela sampai terbuka lebar. Angin malam menyergap masuk.

Daehan menundukkan kepala. Pandangannya tertuju ke aspal jalanan di bawah sana. Berpura-pura seperti sedang berdiri di sisi jembatan Sungai Han. Perlahan ia menjulurkan lengan kanannya ke luar jendela, lengan kiri, disusul setengah badan bagian atas. Tunggu, mau apa kamu?

“Mana yang lebih mematikan, jatuh dari jendela kamar atau jatuh dari jembatan?”

Jangan, Daehan!

Seolah mendengar jeritanku, lelaki itu menolehkan wajahnya dan terkesiap. Pot keramik tempatku berdiam, tahu-tahu jatuh terhempas ke lantai kamar.

Daehan mengurungkan rencananya melompat dari jendela. Ia terduduk memeriksa keadaanku. Pot berwarna cokelat tua di hadapannya pecah sebagian. Kerikil kecil dan tanah tumpah berserakan. Tubuhku masih lekat dalam pot, tetapi harus dipindahkan. Daehan teringat masih ada pot plastik cadangan yang dulu diberikan Aeri saat menitipkanku padanya.

Kim Aeri ....

Sesaat Daehan tertegun. Nama itu terlintas begitu saja. Nama seorang wanita sekaligus sahabat masa kecil yang telah Daehan patahkan hatinya. Status Daehan sebagai idola kala itu tak memungkinkan dirinya menjalin hubungan romansa. Aeri mengerti. Ia hanya menitipkan sebuah hadiah berupa kaktus gentong mini dalam pot keramik cokelat tua. Seakan tahu suatu hari nanti hanya benda itu yang akan menemani Daehan melawan sepi.

Aeri tahu. Bertahun-tahun bekerja sebagai asisten toko di sebuah micro plant shop, membuatnya akrab dengan berbagai jenis tanaman sukulen, terutama yang berukuran mini dan tak sulit diurus. Ia bahkan telah mengadopsiku sendiri dari tokonya di Ssamziegil, Insadong. Merawatku sepenuh hati. Rutin mengajakku berbicara seolah diriku semacam diary hidup tempatnya mencurahkan perasaan. Setiap kali ia menyiramiku, limpahan kasih sayang Aeri turut meresap ke setiap jaringan pembuluh tubuhku. Mungkin sebab itulah, ketika ia memutuskan menyerahkanku kepada pujaan hatinya yang bernama Jung Daehan, selubung sanubarinya ikut tercurah dan melekat pada ragaku. Membuatku tak ayalnya duplikasi jiwa Aeri yang teramat mengasihi Daehan, meskipun perasaannya tak juga berbalas.

Daehan tercenung. Ia masih memperhatikanku seraya memutar-mutar potku ke kiri dan kanan. Ia terkenang, kala Aeri pertama kali menunjukkanku ke hadapannya, Seoninjang—aku—masih cantik parasnya.

Daehan jadi merasa bersalah pada Kim Aeri dan padaku.

Malam semakin larut. Daehan berjuang melawan kelopak matanya yang merapat. Mungkin ia mengantuk. Mungkin ia mabuk. Namun ada misi terakhir yang ingin ditunaikannya terlebih dahulu.

Daehan mengambil beberapa perlengkapan. Sarung tangan, pot hitam plastik, media tanam, tisu gulung, pisau, sendok, dan besi penjepit. Dengan tekun ia mencongkel sisa tanah dan kerikil yang masih menguburku dalam pot. Begitu rongga-rongga sekitarku melonggar, Daehan menggoyang dan mengangkatku. Ia bersihkan gumpalan tanah yang menempel di akarku. Perlahan ia meletakkan tubuhku di atas tisu.

“Kau mau langsung masuk pot atau berbaring sebentar di luar?” tanyanya padaku.

Biarkan aku bebas sejenak, Daehan, berada dalam pot membuatku terkungkung.

Di sela keheningan yang menyelimuti Daehan, ia menyadari sesuatu. Tangan kanannya tengah menggenggam benda tajam. Pikirannya lantas berkelana liar.

Daehan meletakkan pisau di tangannya ke sampingku. Ia lalu bangkit, menuju ke lemari pendingin, dan mengeluarkan semua simpanan soju. Seandainya masih berada di dorm perusahaan, pasti tersedia berbagai variasi minuman yang bisa ia pilih sesukanya. Bir, sampanye, anggur, vodka, wiski. Daehan membuka tutup botol soju dan memejamkan matanya. Ia meneguk sembari membayangkan rasa minuman lain yang bukan berasal dari beras. Sayup-sayup terdengar gelak tawa kelima rekan anggota grup musiknya dahulu. Siapa yang paling banyak mampu menenggak soju dan siapa yang paling lemah meminum sedikit saja.

Mungkin yang Daehan butuhkan bukan minumannya. Daehan rindu mereka. Daehan rindu keramaian di malam-malamnya. Namun kini semuanya raib tak bersisa.

Daehan menenteng satu botol di tangannya, meraih ponsel di atas meja, lalu mendatangiku lagi. Ia mengambil foto kami berdua dan mengirimkannya pada sebuah nomor. Sebelum kemudian menyambungkan panggilan.

“Halo?”

“Ya! Aeri-ssi ....”

“Astaga, Jung Daehan ... apa yang terjadi pada dirimu dan kaktus itu?”

“Dengar Aeri, aku akan meminta tolong dua hal. Pertama, kau tak perlu terus-terusan muncul di siaran langsungku dan berusaha memberikan kata-kata penghiburan padaku. Aku takkan melakukannya lagi. Hari ini yang terakhir.”

“Apa maksudmu?”

“Kedua, tolong jaga Injangie ….”

Daehan menelan soju di kerongkongannya susah payah. Tangannya merenggut pisau dari sampingku.

Ya! Daehan, jangan lakukan hal-hal aneh! Tunggu! Aku ke tempatmu sekarang!”

Sambungan telepon terputus.

Daehan meringis nyeri dan sesaat kemudian ambruk kehilangan kesadaran.

Kelak ketika Aeri tiba di flat lantai enam lalu masuk ke ruangan Daehan yang dibiarkan tak terkunci, gadis itu akan menemukan lelaki yang dikasihinya tergeletak mengenaskan di lantai.

Begitu pikirnya.

Namun, Daehan tak tahu aku juga punya rencana.

Keesokan pagi, ia akan mendapati Aeri membangunkannya dengan hidangan haejangguk, sup pereda mabuk. Sementara tubuhku telah terbungkus kertas tisu.

Daehan akan mendengar Aeri berkata, “Aku tak mengerti apa yang terjadi. Kau berusaha melukai dirimu tetapi justru Seoninjang yang berpulang. Tapi kau tenang saja ya, nanti kubelikan sukulen baru. Atau bukan. Biar aku saja yang menggantikan Injang di sisimu.”