Benda itu seakan mengarahkan pandangan kepadaku. Dingin. Terpencil. Menjaga jarak. Sejak menerimanya dari kurir siang kemarin, suatu perasaan antara bingung dan penasaran mengapung dalam batinku secara bersamaan. Sebuah paket yang tak dibubuhi nama maupun alamat si pengirim. Alamat yang dituju memang tidak salah, Kompleks Graha Jingga Blok F nomor lima, alamat rumah ini. Tapi aku tak punya gagasan sama sekali perihal nama orang yang dituju.
Untuk Ara. Demikian keterangan yang tertera di atas sampul.
Ara siapa? Pertanyaan itu bergulung-gulung dalam kepalaku. Di rumah ini hanya ada empat anggota keluarga. Mama, Papa, aku dan adik semata wayangku, Kantaka. Sependek pengetahuanku, tidak ada satu pun dari kami yang berindikasi memiliki asosiasi dengan seseorang bernama Ara. Kecuali jika salah satu dari mereka menggunakan nama alias saat memesan barang.
“Tapi masa iya, sih nggak ada nama sama alamat pengirim?” Benakku menganalisa. “ngorder apa coba?”
Kupikir, percuma saja mengembangkan asumsi-asumsi ganjil dan membiarkannya bergulung-gulung macam benang kusut. Aku takkan mendapat jawaban. Jadi kuputuskan untuk menemui Mama dan menanyakannya langsung.
“Entah, Mama nggak ngorder apa-apa belakangan ini.” Tandas Mama.
“Kalau Papa gimana?”
“Nama Papa bukan Ara, Tabita.”
“Ya, mungkin Papa pake nama alias, bisa aja kan, Ma?”
Mama menggeleng penuh penolakan. “Bukan Papa, Mama yakin sekali.” Meski kalimat Mama terdengar tegas, tapi ia tampak agak bimbang. “Atau coba kamu tanya adik kamu. Kayaknya Taka tahu, deh.”
Maka aku pun berhambur ke kamar Kantaka tanpa mengetuk pintu dan langsung menodongnya dengan pertanyaan serupa.
“Aku nggak order apa-apa. Lagian kalau pun order, aku selalu pakai nama asli.”
“Terus ini gimana, dong?”
“Balikin aja ke kurir yang antar. Bilang nama penerima tidak dikenal.” Jawab Kantaka enteng.
Ucapan Kantaka berdentang di kepalaku seperti lonceng pengingat. Seketika ingatan tentang kurir yang mengantar paket ini kemarin kembali mengemuka. Dia tak tampak mengenakan atribut dari perusahaan jasa pengiriman manapun. Di sinilah letak keteledoranku, membubuhkan tanda tangan seenaknya tanpa mengecek segala detail paket itu.
Aku mutung dan dengan lesu beranjak dari kamar Kantaka. Sambil menimang-nimang benda itu di tangan, benakku dijejali pertanyaan “siapa pemilikmu sebenarnya?”
Sebuah ide ganjil tahu-tahu melintas. “Bagaimana kalau paketnya dibuka saja. Dicek. Siapa tahu ada keterangan dari pengirimnya, malah mungkin bisa ketahuan siapa Ara.” Aku menyimak gagasan itu, menimbang-nimbang.
Gegas aku masuk ke kamar demi menindaklanjuti ide itu. Setelah mengunci pintu, aku duduk di tepi ranjang dan meletakkan paket itu di pangkuan. Mendadak sebongkah keraguan muncul. “Ini tindakan ilegal. Pemiliknya bisa menuntut kalau dia keberatan paketnya dibuka orang lain.”
Iya, bener banget. Tapi kan kamu nggak tahu siapa pemiliknya. Justru itu paketnya harus dibuka, supaya ketahuan ini barang punya siapa. Satu suara berdenging entah dari pelosok mana. Aku kembali menimbang-nimbang.
Setelah hampir satu jam berkutat dengan pertentangan pikiranku sendiri, kuputuskan untuk membuka paket itu. “Tuhan, aku janji bakal tanggung jawab.” Gumamku setengah yakin.
Pelan-pelan aku mulai menyobek sampul berbahan samson kopi itu. Entah kenapa suara sobekannya terdengar seperti lolongan arwah yang dijebloskan ke dalam neraka. Jantungku berdebum, gemetar tanganku nyaris membuat benda itu terlepas. Konyolnya, aku mulai membayangkan diriku berada dalam adegan jumpscare sebuah film horor. Apa yang bakal muncul setelah ini?
Napasku sempat tertahan selama sepersekian sekon saat isi paket akhirnya terkuak. Kata “oh” secara refleks terlontar. Bayangan-bayang di film horor yang tadi menari-nari, seketika menguap. Tak ada hal mengerikan tentang benda itu, hanya kumpulan empat buku harian bergaya vintage yang mirip satu sama lain. Selain itu, ada sebuah amplop yang tidak tersegel.
Tidak ada jawaban. Teka-teki tentang siapa Ara masih belum terkuak.
Putus asa, kucampakkan semua benda itu ke lantai, lalu mengempaskan setengah badanku ke kasur. Sekarang aku malah kalut. Gimana ini, paket orang sudah telanjur dibuka? Keluhku pada diri sendiri.
Kalo gitu buka saja amplopnya sekalian. Lagi-lagi sebuah ide ganjil mengemuka. Kuusap-usap wajahku dengan gemas, mencoba menepis gagasan-gagasan menyesatkan yang sedari tadi bersiliweran.
Tapi belum sampai lima menit, ide ganjil lain muncul. Yakin deh, kali ini pasti nggak bakal zonk, buka amplopnya, terus cek isinya.
Gegas kutegakkan dudukku lalu kuambil amplop yang teronggok bisu di lantai. “ok, ok.” Gumamku sambil mengatur napas seolah hendak terjun kedalam air. “aku janji habis ini bakal tobat.” Kutatap langit-langit kamar, meminta persetujuan dari Yang Maha Kuasa.
Sebagaimana yang selalu diyakini oleh siapapun sebagai sesuatu yang klise, amplop itu tentu saja berisi sepucuk surat. Kali ini kutepis ragu yang hendak mampir, aku bertekad untuk mendapatkan jawaban atas kebingunganku. Isi surat itu kini terhampar di hadapanku. Sejenak aku terpana oleh tulisan tangan yang begitu rapi dan indah. Benar-benar menunjukkan karakteristik pemiliknya yang konsisten dan berpendirian teguh. Berbanding terbalik dengan milikku yang selalu tampak ragu-ragu. Kadang miring ke depan seperti baru saja disapu badai, kadang meliuk-liuk seperti cacing yang dituangi perasan jeruk nipis, kadang juga terlihat seperti coretan-coretan iseng anak kecil di dinding.
Kembali pada sepucuk surat tadi. Setelah mengaguminya beberapa saat, pelan-pelan aku mulai membacanya.
14 Januari 2023
Untuk Ara,
Kutulis ini di tengah keriuhan kota pada jam-jam sibuk. Di antara sesapan kopi beraroma menyenangkan diiringi musik jazz yang memanjakan. Aku tak tahu apakah surat ini akan sampai padamu, atau hanya akan lenyap bersama guguran angka-angka dalam almanak yang kian kadaluarsa.
Akhirnya hari ini tiba. Ketika hatiku terbebas dari segala beban rasa yang kutanggung untukmu. Cinta yang menghampiriku bertahun-tahun lalu, kini lenyap. Tanpa aku benar-benar bisa memilikinya.
Tak kukira bahwa cinta pun ternyata punya titik habis. Terkikis oleh waktu dan serangkaian peristiwa dalam hidup. Tampaknya, itulah yang terjadi pada cinta yang dulu kukemas rapi untukmu. Perlahan namun pasti, menjelma menjadi hanya sekerat masa lalu yang getir. Suka atau tidak, segala sesuatu punya akhir.
Ada yang pernah bilang padaku bahwa menyimpan rasa cinta pada seseorang tanpa mengungkapkannya adalah sebuah pencurian. Sebab kamu seperti mengambil sesuatu, meski tak berwujud, dari orang itu, untuk dirimu sendiri. Kamu mencuri hak orang itu untuk mengetahui kebenaran.
Aku tak ingin selamanya jadi pencuri. Maka kukembalikan lagi rasa ini padamu.
Bersama surat ini, kusertakan juga buku harianku yang merekam jejak kehidupanmu di SMU dulu. Segalanya mungkin akan terasa sangat berbeda bagimu, sebab aku menulisnya dari sudut pandangku. Dan kupikir, kamu pun harus membacanya. Sebab kamu mungkin tak bisa mengingat segala kejadian, sebagaimana dulu aku mengingatnya.
Just like people said, ‘Like the seasons, people changed’. Seiring waktu, aku berubah. Kita semua berubah.
Tertanda, Kla.
Tiba-tiba hatiku buncah, seolah butiran kristal berlompatan di pelupuk mataku. Namun dengan cepat ujung jemariku mengusapnya. Tanpa benar-benar diniatkan, aku mengambil buku harian yang diberi tanda angka satu pada sampulnya. Di lembar pertama sang pemilik menuliskan ‘belongs to Aufklarung’. Dugaanku itu nama lengkap Kla. Keningku mengerut bingung, nama seperti itu terdengar sangat tidak lazim untuk seorang anak perempuan.
Kemudian, pada lembar selanjutnya, kisah itu pun dimulai.
*****