Red Light District

Red Light District

narazwei

4.7

Kematian punya aroma khas yang sangat dikenal Niken. Wanginya sedikit asam seperti jeruk basi, memuakkan, sulit diabaikan karena bercokol di tiap sudut dinding serta tong-tong yang mereka lewati di gang ini.

Niken tidak sendirian. Seorang lelaki tinggi berambut cokelat kering memimpin jalan semeter di depannya.

“Berapa umurmu?” Lelaki itu bertanya sambil menoleh melewati bahu. Mata keruhnya mengamati penuh penilaian. “Lima belas?”

"Tahun ini tujuh belas," jawab Niken, sudah terbiasa dikira lebih muda umurnya. Dengan tinggi hanya seratus lima puluh senti, wajah berbentuk hati yang memperlihatkan lemak bayi di pipi, serta rambut ikal dengan poni rata sebatas alis, ia hampir selalu dikira masih murid sekolah menengah. Tubuh mungilnya kali ini dibalut parka biru tua kebesaran lungsuran ayahnya. Jadi Niken tahu, ia kelihatan lebih kecil dari ukuran asli. “Kamu sendiri?”

Niken menebak angka dua puluh lima tapi, alih-alih menjawab lelaki itu justru berkomentar, “Sorot matamu kuat. Aku suka itu.”

“Umm ... makasih?”

Mungkin merasakan nada curiga Niken, lelaki itu tertawa canggung dan meneruskan, “Nggak bermaksud apa-apa, aku cuma penasaran kenapa cewek sepertimu sampai datang ke Distrik Lampu Merah.”

Distrik Lampu Merah tidak benar-benar bernama asli seperti itu tapi, orang-orang sudah lama melupakan apa nama resminya. Tempat ini bahkan bukan sebuah distrik, hanya wilayah kecil dengan toko-toko murahan dibangun menempel pada bangkai-bangkai gedung bekas kantor koran tua. Tadinya tempat ini adalah wilayah sibuk para pekerja berkerah putih dan biru tapi, berubah jadi kuburan gedung tua sejak Indonesia terkena dampak krisis finansial Asia di akhir milenium; beberapa orang menyalahkan Soeharto, beberapa yang lain Amerika, sisanya menyalahkan kiamat.

Tidak ada yang tahu siapa yang salah, tidak ada yang peduli sekarang. Kini para pedagang tanpa surat izin, penghibur malam, preman dan gelandangan mengambil alih gedung-gedung sebagai markas tak resmi, membuat wilayah ini kembali ramai.

Sebutan Distrik Lampu Merah diambil dari nama koran yang gedungnya paling besar di sana: harian Lampu Merah, yang sekarang dijadikan markas preman bandar informasi.

“Nggak ada bagusnya berurusan dengan orang-orang di sini,” lanjut lelaki tadi karena tidak mendapat tanggapan.

“Aku tahu.” Niken mengusap tengkuk. Distrik Lampu Merah adalah sarang preman dan tukang pukul bayaran, semua orang tahu. Justru karena itulah ia berada di sini sekarang, mengikuti lelaki tanggung berpakaian serba hitam yang akan membawanya pada salah satu pimpinan preman di gedung koran. Sol sepatu Niken yang tipis menggesek permukaan tanah berbatu, membuat bunyi terseret memenuhi perjalanan mereka. “Aku dulu kerja dengan Adhyasta sendiri.”

Nama yang disebutnya bergaung lembut di tengah lorong, membuat gema yang tak enak. Si lelaki pemandu jalan menoleh sedikit, raut tak percaya melintas sekejap di wajahnya. “Masa? Aku nggak pernah melihatmu.”

“Kami cuma bekerja sama sebentar, aku dulu ... membantunya merapikan meja. Cuma itu.”

“Merapikan meja?”

Niken tidak menemukan cara lain untuk mendeskripsikan apa yang dikerjakannya dulu di kantor Adhyasta. “Merapikan meja,” angguknya.

“Oh oke ..." Lawan bicaranya menaikkan satu alis, jelas-jelas kelihatan tidak percaya, tapi akhirnya mengedikkan bahu dan kembali berjalan. "Dari tadi aku sudah penasaran kenapa Kosta Adhyasta bersedia bertemu dengan orang luar distrik. Ternyata kalian kenalan lama.”

Kenalan? Niken mengerutkan kening, memusatkan perhatian pada lubang-lubang jalan yang harus dihindari. Andai kami memang cuma sebatas kenalan ....

“Memangnya dia nggak mau ketemu orang luar distrik?” tanyanya, sekadar mengisi hening.

Lagi-lagi pertanyaannya tidak dijawab. Mereka berbelok cepat ke kiri melewati kotak surat logam karatan, masuk ke gang kedua dengan lentera jalan antik bercabang tiga pada bukaannya. Gang itu lebih mirip terowongan, dengan lantai batu lembap berlumut tipis serta dua dinding tinggi mengapit jalan. Di ujung gang terdapat pintu kayu rustik dengan pengetuk logam berbentuk kepala singa.

“Kosta di dalam,” terang lelaki itu setelah mengetuk pintu tiga kali.

“Kamu nggak nungguin?” Niken bertanya ketika pemandunya langsung berbalik.

“Nggak, aku ada urusan lain. Tugasku cuma mengantarmu. Kalau dia nggak muncul setelah lima menit, ketuk lagi atau tendang saja pintunya. Jika Kosta masih nggak muncul juga,” lelaki itu berhenti untuk menarik napas, lalu melanjutkan, “berarti ada masalah. Kau bisa seret siapa saja di jalan dan minta mereka panggil Rover. Aku bakal langsung datang.”

“Panggil Rover? Oke.” Niken mengangguk mengerti, tahu bahwa itu tidak perlu dilakukannya. Ia mendengar suara gerendel dibuka dari dalam.

Rover tersenyum satu kali sebelum berbalik, berlari kecil keluar gang.

Niken memutar kaki menghadapi daun pintu yang mengayun ringan ke sisi dalam, menampilkan Kosta Adhyasta dalam satu frame penuh.

Aroma asam manis yang memuakkan kembali mengganggu hidung Niken, membuatnya menggigil.

Tidak ada waktu, ia memaksa kakinya melangkah masuk.

***

Ada yang namanya perasaan antiklimaks, Niken mendapatkan istilah itu dari salah satu buku yang pernah dibacanya. Itu adalah momen saat seseorang mendadak ingin mundur dari segala hal yang ia usahakan selama ini.

Mungkin ini yang namanya perasaan antiklimaks, pikir Niken. Atau mungkin aku cuma takut.

Cahaya dari dalam ruangan menumpahi koridor batu gelap tempat Niken menunggu, menampilkan cowok tinggi ramping dengan setelan semi formal yang melekat pas di badan. Senyum cowok itu masih secerah yang diingat Niken terakhir kali.

Kosta punya mata hitam pekat yang bisa berbinar cerah seperti malaikat dan menggelap seperti iblis, seakan bola matanya punya sakelar yang bisa dihidup-matikan sekehendak hati. Rambut pekatnya agak bergelombang dengan anak rambut acak-acakan menutupi kening. Orang lain akan kelihatan seperti gembel dengan rambut seperti itu tapi, Kosta membuatnya tampak seperti gaya rambut model baru. Umur mereka hanya terpaut dua tahun, Kosta lebih tua dari Niken, dan keduanya punya tatapan keras yang sama karena tumbuh dan besar dengan selamat dalam lingkungan semrawut yang gila.

“Masuk, sudah kutunggu dari tadi.” Kosta meminggirkan tubuh. “Kapan terakhir kita bertemu? Sepuluh tahun lalu? Dua puluh?”

“Tiga bulan lalu." Niken mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan, sedikit mengernyit melihat kursi yang pernah ditempatinya tidak ada lagi di sana. "Kalau saling berpapasan di jalan bisa dianggap bertemu, kita terakhir bertemu dua hari lalu.”

“Oh, ya? Wah, lama sekali.” Gerendel tidak dipasang ketika pintu ditutup. Kosta berjalan duluan menuju meja besar di ujung tengah ruangan, menarik kursi tamu dan melambai. “Sori, duduk saja di sini, kursi kesayanganmu rusak. Rover—orang yang mengantarmu tadi—berkelahi di sini dan menggunakan kursimu sebagai pengganti bogem.”

“Berkelahi ... denganmu?”

Kosta terbahak. “Menurutmu?”

“Rasanya nggak mungkin. Kamu tipe orang yang lebih suka jadi penyebab perang daripada terlibat perang itu sendiri.”

“Tepat! Memang bukan denganku. Waktu itu aku cuma menonton.”

“Ya, bisa kubayangkan.” Niken memutar bola mata, kembali memandang pada tempat di mana sebuah kursi kecil antik pernah jadi tempatnya duduk di belakang meja mungil di ruangan itu, di samping meja jati besar milik Kosta. Tempat ini tidak banyak berubah. Temboknya masih ditempeli kertas dinding merah tua, lemari-lemari kayu masih disesaki buku-buku bersampul kulit. Dan meja Kosta masih berantakan. Yang berbeda hanya satu. "Omong-omong, itu bukan lagi kursiku.”

“Nggak, masih punyamu. Kusuruh Rover bawa kursimu ke tukang untuk diperbaiki, jam lima ini harusnya sudah jadi dan dia ambil. Aku juga masih simpan barang-barangmu kalau kamu mau kembali.”

“Jangan harap.” Niken menarik kursi tamu dan duduk di sana, masih merasa tidak nyaman seolah ia baru saja memasuki gerbang dunia lain. “Kecuali kamu mau berlutut dan memohon,” kelakarnya.

“Kamu mau aku memohon?” Kosta memiringkan kepala dari tempatnya duduk.

“Eh? Maksudnya nggak gitu juga,” sergah Niken.

“Karena aku akan melakukannya.”

“Apa?”

“Aku akan memohon,” ulang Kosta. Bola mata hitamnya sedikit bercahaya. “Aku mau melakukan apa pun asal kamu kembali.”

Awalnya Niken hanya tertawa, tapi perlahan berhenti ketika menyadari cowok itu mungkin serius. “Kamu nggak akan melakukannya, Adhyasta ... dengar dulu,” ucapnya tergesa sebelum Kosta merasa sedang ditantang dan benar-benar berlutut di depannya. “Aku datang ke sini bukan untuk itu. Aku datang untuk—“

“Para maling,” Kosta menyelesaikan kalimatnya, menyingkirkan beberapa berkas dari atas meja, menarik satu dokumen bermap biru bening dari bawah tumpukan map kertas pudar. Ia dengan cepat beralih mode menjadi pemimpin organisasi preman intelek. “Begitu menerima teleponmu, aku segera menghubungi beberapa orang dan mengumpulkan data. Identitas tiga orang yang ditangkap cocok dengan yang kamu cari.”

Niken menunggu.

“Sayangnya, aku nggak bisa membantu.” Kosta menggeleng. Ia menggeser map birunya ke arah Niken, mempersilakan cewek itu membacanya. “Mereka tertangkap basah. Ada rekaman sebagai bukti. Itu print-nya. Masalahnya, yang memergoki mereka bukan cuma preman kecil, tapi pimpinannya.”

Niken membuka-buka berkas, memeriksa foto demi foto milik kamera keamanan serta keterangan yang dilampirkan, keheranan sendiri melihat betapa rapinya administrasi di sarang penjahat ini. Ia hampir merasa seperti berurusan dengan lembaga pemerintahan. “Tapi mereka nggak jadi melakukan apa-apa, kan? Mereka ditangkap sebelum melakukan apa-apa.”

Mata cokelat jernihnya menatap dengan pandangan memohon tapi, Kosta mengalihkan wajah.

“Aku ingin membantu,” kata cowok itu, “tapi yang bisa kulakukan cuma sejauh ini. Kamu bahkan sebenarnya nggak boleh baca berkasku, itu simpanan bukti kalau-kalau ada kejadian tak terduga. Dokumen internal."

“Mereka masih lima belas! Itu, kan, di bawah umur!” Niken memutar otak, sadar bahwa pembelaannya barusan bodoh. Namun tetap saja ia meneruskan, “Harusnya ada semacam ... toleransi?”

“Toleransi?” Kosta mengulang, nadanya geli. “Ini bukan sekolah, Niken. Umur nggak ada hubungannya di Distrik Lampu Merah. Mereka masuk ke tempat yang nggak seharusnya mereka masuki, menyelinap, mengendus-endus. Siapa yang tahu apa motif mereka? Yang hidup di sini nggak kenal aturan belas kasih berdasar umur. Nyawa kami dipertaruhkan dalam tiap informasi yang keluar.”

“Salah satunya anak orang berduit,” Niken melontarkan kartu terakhir, lagi-lagi menyadari bahwa itu sia-sia. “Kalau uang—“

“Niken,” Kosta memotong. Matanya menatap gadis itu lekat-lekat. “Jangan pernah, diulangi lagi. Jangan. Jangan pernah pakai cara itu di sini. Aku nggak mau kamu mempermalukan diri sendiri.”

Bahu Niken merosot. “Sial,” bisiknya, terlalu lirih untuk didengar telinga lain. “Kacau ... kamu benar-benar nggak bisa melakukan sesuatu?”

“Aku bisa bikinkan minuman panas buatmu. Cokelat punya efek menenangkan.“

“Kostya ....”

Jantung Kosta sedikit bergetar mendengar panggilan itu. Nama baptisnya adalah ‘Konstantin’, mengambil bentuk Rusia dari ‘Constantine’ karena ibunya menggandrungi segala hal yang berbau Rusia. Ia sendiri selalu memilih nama belakangnya, Adhyasta, untuk ditulis dalam dokumen-dokumen resmi, tetapi di Distrik Lampu Merah orang-orang menyingkat nama baptisnya dan memanggilnya Kosta demi keakraban. Hanya keluarga intinya serta Niken yang memanggilnya Kostya; panggilan yang membangkitkan kenangan masa lalu.

Entah mengapa Niken selalu bisa menyentuh titik lemahnya bahkan meski dengan tidak sengaja dan Kosta kadang membenci itu.

Ia benci merasa lemah.

***