Gadis itu melotot. Tangannya menggenggam erat selimut. Dadanya kembang kempis tak beraturan. Dari rambut hingga lehernya basah oleh keringat. Napasnya terasa berat. Jendela kaca di samping tempat tidurnya merefleksikan cahaya bulan. Cahaya berbentuk kotak terbagi empat terbentuk di lantai kayu. Dia membuka selimutnya karena pengap. Tubuhnya perlahan bangkit duduk sambil tangan menyentuh dadanya. Napasnya perlahan kembali normal. Dia kembali bernapas dengan hidung. Matanya melihat ke arah luar, memandang bulan purnama yang putih bersih.
“Hanya mimpi,” ucapnya lega.
Jam dinding menunjukkan sekarang tengah malam lewat sepuluh menit.
Sudah seminggu berlalu sejak orang yang merawatnya sejak bayi, meninggal dunia. Dia bukan ayah atau ibu, juga tidak memiliki hubungan darah dengannya. Gadis itu memanggilnya bibi. Sosok itu sudah memberikan segalanya untuk menjaga dirinya hingga di umur yang ketujuh belas ini. Gadis itu tidak pernah berpikir dia akan menjalani hari ini. Hari dimana dia hidup sendirian tanpa bibinya di dunia yang keras.
Dekat, tapi misterius. Itulah yang dipikirkan gadis itu mengenai dirinya sendiri. Pernah terbersit di pikirannya sebelum semua berubah drastis seperti sekarang. Bahwa ada yang salah dengan hidupnya. Ini seperti bukan hidupnya. Itulah yang dia pikirkan, hingga akhirnya dia memilih sebuah keputusan. Gadis itu telah melakukan kesalahan, yang berdampak pada situasi dan kondisinya saat ini. Keterpurukan dan kesedihan. Kini hanya tinggal dia seorang di rumah kayu yang reot ini.
Sejak saat bibinya meninggal, gadis itu selalu bermimpi buruk. Dia bahkan sudah bisa menduganya sebelum tidur, tepatnya pukul tujuh tadi. Dia tahu dia akan terkejut dan terbangun dengan dada terengah-engah, tapi dia tetap tidur karena dia pikir dia tak boleh kalah dari mimpi buruknya sendiri.
Kakinya menapak lantai kayu yang kasar. Dia berjalan keluar kamar. Langkahnya hati-hati menuruni tangga karena rumahnya gelap gulita. Dia sengaja tak menyalakan lampu rumah sama sekali supaya tak ada tambahan biaya listrik. Dia sadar diri kalau dia tak bisa menghasilkan banyak uang karena belum punya pekerjaan. Lantai bawah adalah area dapur dan ruang tamu. Hanya meja dan kompor di bagian dapur. Gadis itu bercita-cita membeli kulkas jika dia punya uang, tapi dia kembali dipatahkan oleh fakta bahwa dia bahkan tak mampu untuk membayar biaya listrik. Tangannya meraih karet di ujung tangga dan mengikat rambut dengannya.
Tangannya bergerak hati-hati meraih gelas dan menuang air dari teko. Dengan hati-hati dia mengatur posisi untuk duduk dan meneguk air yang dituangnya tadi hingga tandas.
“Kenapa aku selalu lupa dengan mimpiku sendiri?”
Diam-diam, gadis itu selalu memikirkan kejanggalan itu. Beberapa detik kemudian, dia menutup mulut yang menguap lebar. Dia menggenggam erat gelasnya. Dia tak mau tertidur lagi. Kali ini untuk pertama kalinya dia tak ingin tidur lagi hingga pagi tiba..
Dia bangun dari duduknya. Gelasnya ditinggalkan di meja. Gadis itu teringat, jika bibinya masih hidup, dia pasti akan mengomelinya, menyuruhnya langsung mencucinya. Seketika dia mengambil gelas itu dan mencucinya. Setelah selesai, dia memandangi seluruh sudut rumah yang remang. Dia berniat mengelilingi bagian rumahnya, ketika dia melihat karpet merah yang terkena cahaya bulan dari celah langit-langit, pikirannya berubah.
Dia teringat kenangan saat dirinya masih berumur delapan tahun. Dengan penasaran dia menyibak karpet merah besar yang dipandangnya. Ada gagang pintu di lantai. Gadis kecil itu bertanya pada pamannya. Bibinya menembak jawaban lebih dulu sambil menggendongnya, membawanya menjauh.
“Jangan masuk ke bawah sana. Disana ada hantunya.”
Suara bibinya terngiang seolah dia masih hidup. Gadis itu terpekut menatap karpet itu lagi. Selama ini dia selalu mengabaikannya karena bibinya bicara begitu. Sekarang, itu kembali menarik perhatiannya.
Kali ini pun gadis itu akan mengabaikannya. Dia menginjak karpet merah itu, ingin duduk di ruang tamu dan membaca koran.
“Aku mau lihat apa yang ada di bawah sana.” Tiba-tiba dia berbalik dan menyibak karpet merah itu. persis seperti ketika dia masih berumur delapan tahun.
“Apa benar ada hantunya?” Gadis itu sudah memegang pegangan gerendel yang bentuknya bundar. Dia termenung cukup lama sambil memegang gagang itu.
Dia menarik napas. Tangannya melepas pegangannya demi mencincing lengan baju tidurnya yang sudah pendek. Dengan tatapan yakin, dia menarik gerendel dan mengangkat pintu itu. Tangannya bersiap di depan wajah, melindungi diri dari apapun yang mungkin melompat keluar. Ternyata tak ada apapun. Ini baru dimulai.
Di bawah sana gelap gulita. Tak ada pencahayaan sama sekali. Gadis itu meremas ujung bajunya. Diam di depan kegelapan sama menakutkannya dengan berjalan di dalamnya. Tarikan napas lagi. Dia menginjakkan kaki di anak tangga pertama. Kayunya berderit. Dahi gadis itu mengernyit merasakan tangganya sangat kotor. Dia berharap tak menginjak kotoran tikus atau semacamnya. Ada pantulan cahaya kecil di sebelah kanan tangannya. Gadis itu meraihnya hati-hati. Sebuah lentera kuno. Gagangnya terasa dingin, seperti terbuat dari besi. Saat dia memutar sumbunya, tiba-tiba api kecil muncul. Jantungnya nyaris copot dalam sepersejuta detik.
Gadis itu lanjut berjalan, mengabaikan kejanggalan dari lentera kuno itu. Dia memanfaatkan bantuan cahaya api minim itu untuk menapak dengan hati-hati. Dia mendesis kecil untuk menyalurkan keluar rasa takut yang membludak. Setelah berjalan tiga langkah dengan waspada, dia menemukan meja. Dia meletakkan lentera itu di meja, melihat ada apa saja di atasnya. Gadis itu menempelkan dua jari di permukaan meja. Tidak perlu menggeser jarinya untuk merasakan debu tebal di permukaannya. Jantungnya kembali melompat. Ada cahaya kecil berwarna biru. Tiba-tiba muncul di dekat tangannya saat meraba-raba. Setelah menyadari kalau itu hanyalah sebutir batu kristal, dia menarik napas lega.
Saat dipegang, batu itu bersinar semakin terang. Jemarinya yang melekam merasakan dingin semacam es mengalir ke seluruh tubuh. Disaat yang bersamaan, suara yang memekakkan telinga membuat pundaknya menciut. Dia membelalak menyadari itu suara pintu masuk ruang bawah tanah yang membanting tertutup. Lampu lentera tiba-tiba padam seperti ada yang meniup. Sinar biru itu semakin terang sampai gadis itu bisa melihat seisi ruang bawah tanah. Ternyata ruang bawah tanah ini tak seluas yang dia bayangkan. Hanya 6x6 meter. Namun, itu tak menyurutkan rasa takutnya ketika teringat bahwa sesuatu menutup paksa pintu keluarnya. Gadis itu bersiap untuk lari jika ada sesuatu yang menakutkan terjadi.
Dia merapatkan bahunya saat sadar ada seseorang berdiri di belakangnya dan memanggil namanya dengan dingin.
“Sei.”
Gadis bernama Sei itu berteriak sejadi-jadinya. Dia terjatuh duduk, entah bagaimana batu kristal tadi menggores telapak tangannya. Mengabaikan rasa sakit itu, Sei bangkit dan keluar dari ruang bawah tanah tanpa halangan yang berarti. Dia kalang kabut membuka pintu depan dan duduk di atas tanah keras, bersandar pada pintu depan.
“Itu tadi bukan manusia. Apa dia hantu? Zombie? Psikopat?” Sei meracau. “Bibi, maaf aku tidak percaya kata-katamu. Aku selalu saja membantah kata-katamu.”
Sei menitikkan air mata, rasa takut menguasai dirinya. Kini dia tak berani masuk ke dalam rumahnya sendiri. Dia memeluk lutut dan menangis tersedu-sedu.
Seseorang menarik tangannya. Tegas, tapi tak memaksa. Sei mengangkat kepalanya untuk melihat siapa dia.
Seluruh badannya tertutup jubah hitam legam. Semua tersembunyi kecuali bibirnya. Dia mengangkat kepala dan menunjukkan wajahnya yang asing. “Tanganmu terluka.”
Sei menjerit. Ketakutannya mencapai batas ambang hingga membuat kesadarannya lenyap seperti ditelan gumpalan awan.
***
Jendela kayu terbuka lebar, udara segar langsung masuk ke kamarnya. Cahaya matahari menembus celah dedaunan dan merangsek masuk ke dalam kamarnya. Beberapa tempat jatuhnya cahaya itu menimbulkan kerlipan di udara. Sei membuka mata karena terangnya cahaya yang mengganggu penglihatan. Saat sedang mengusap mata, dia merasakan sesuatu selain kulitnya menyentuh kelopak matanya. Dengan hati-hati dia mengondisikan cahaya yang masuk ke matanya. Ada kain putih yang membebat pergelangan tangannya.
Sei tak perlu meyakinkan dirinya ketika dia merasa tak sendirian di ruangan kamarnya. Saat menoleh, dia mendapati seseorang berjubah hitam duduk di kursi. Dengan panik dia bangun dan menjauh sebisa mungkin. Dinding membatasi pergerakannya.
Orang berjubah itu buru-buru membuka tudung gelapnya dan melambai seolah menyuruhnya tenang.
“Siapa kau?” tanya Sei tanpa basa-basi.
Dia berdehem. “Perkenalkan, aku Ian.” Dia mengakhiri perkenalan singkat itu dengan tersenyum.
Sei menelan ludah bulat-bulat. Orang asing itu membuatnya merasa bermimpi hanya dengan tersenyum. Jika disuruh mendeskripsikan, Sei akan menceritakan kalau rambutnya hitam lebat, dan tatapannya tegas begitupun rahangnya. Namun, jika disuruh mendongeng, maka Sei akan bilang wajahnya mirip seorang bangsawan di film-film. Sei tanpa ragu bertatapan dengan mata biru orang asing yang baru kemarin malam ditemuinya.
Dia menutup mulut dengan telunjuk, seperti berusaha menahan tawa. “Aku bisa membaca pikiranmu. Terima kasih untuk pujiannya.”
Wajah Sei perlahan dirambati api. “Tuan, itu sangat tidak sopan. Apa yang kau lakukan di rumahku?” tanyanya kembali pada fokus masalah.
“Aku turut berduka atas meninggalnya bibimu, Sei,” ucapnya sedih.
“Ap—” Sei menarik ucapannya yang menurutnya tidak penting. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Ian berdiri dari kursi kayu berdebu itu. Badannya membelakangi Sei, tapi Sei bisa tahu matanya menatap ke belakang. “Aku tidak bisa membiarkanmu hidup menderita di dunia ini setelah kau memanggilku.”
Sei membuka mata dan mulutnya. “Hah?”
Hanya itu respon yang bisa dia berikan. Dia tak punya ide sama sekali.
Ian menolehkan sedikit wajahnya, memperlihatkan tatapan tegas dan hidung mancungnya. “Tinggallah di Mythical bersamaku.”
Sei terdiam. Bagaikan seorang anak TK ketika diajari rumus pythagoras. Otaknya tak sampai. Tak ada bayangan sama sekali tentang apa yang Ian bicarakan.
“Permisi, Tuan. Aku mungkin miskin, tapi aku tidak sebodoh yang kau pikir. Aku tidak mau jadi pekerja ilegal di negaramu,” ucap Sei mantap.
Ian sempurna berbalik. Sedetik wajahnya bingung, sedetik kemudian dia putus asa. “Sei, ini tidak sesederhana itu.”
Sei menggeleng tak habis pikir. “Dari tadi kau menyebut namaku. Aku sungguh ingin tahu, Tuan. Darimana kau tahu namaku?!”
Ian maju selangkah. “Aku adalah murid ayahmu. Dia mengutusku untuk membawamu kembali ke dunia asalmu saat penjaga bumimu sudah meninggal. Penjaga bumi itu bukan lain adalah bibimu.”
Sei terdiam cukup lama. Punggungnya perlahan menjauh dari dinding. Cahaya mentari yang tadinya hanya mengenai pintu kamar, kini mulai bergerak merendah menyentuh lantai.
“Apa aku bisa bertemu ayah dan ibu?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja.
“Maaf, mereka sudah meninggal sejak kau masih bayi.” Ian setengah menunduk saat mengatakannya.
Sei tersenyum kecut. “Kukira kau baru saja berkata kalau kehidupanku selama tujuh belas tahun ini palsu. Kukira kau akan membawaku ke dunia dimana aku akan hidup bahagia selama-lamanya. Bodohnya aku masih berharap. Kupikir aku bisa melihat wajah mereka, atau paling tidak mendengar suara mereka memanggil namaku dengan penuh kasih sayang.”
Ian tak mengatakan apapun.
Sei meremas ujung baju tidurnya.
Ian mengangkat kepalanya. “Sebagian perkiraanmu tadi benar.”
Sei menautkan alisnya. Jantungnya berdebar. Perasaan unik itu muncul dan seolah membuatnya ingin tersenyum. Namun, dia menahannya. “Aku tidak mengerti, Ian.” Sei memberanikan diri memanggil nama lelaki di depannya. “Bagaimana caramu tiba-tiba muncul di kamarku?”
Ian tersenyum memandang langit-langit, seolah mengingat sesuatu. “Entahlah. Semuanya seolah kebetulan yang disengaja takdir. Saat kemarin kau menyentuh batu berwarna biru es itu, aku merasa terpanggil dan akhirnya berteleportasi ke duniamu, ke ruang bawah tanah itu.”
Sei melebarkan bola mata. Beberapa saat kemudian dia mengangguk paham. “Baiklah. kalau begitu bagaimana cara pergi ke Mythical? Aku ingin segera melihat dunia yang ditinggali ayah dan ibu. Kedengarannya seperti sebuah negeri dongeng.”
Ian mengeluarkan kepalan tangannya dan membuka genggamannya. “Itu mungkin memang terlihat seperti negeri dongeng karena kau belum pernah tinggal disana.” Ada sebuah jarum di atas telapak tangannya.
Sei mengamatinya dengan cermat. Benda yang sangat umum, tapi dia tak merasakan sesuatu seperti menjahit ketika melihatnya. Benda itu tak memiliki lubang tempat memasukkan benang. Benda di tangan Ian itu terlihat seperti sebuah benda yang tidak bisa disamakan atau dianggap sebagai sebuah jarum biasa.
“Untuk apa jarum ini?” tanya Sei tak sabar.
Ian mengangkat bahu enggan. “Prosesnya akan sedikit menyakitkan, tapi kau harus melewatinya. Ini akan membuat darah Mythicalmu timbul dan kau bisa beradaptasi dengan cepat disana.”
Aku menelan ludah kesusahan. “Apa yang harus kulakukan?”
“Biarkan jarum ini terkena darahmu.”
Sei mengambilnya dengan ragu. “Sampai detik ini aku mempertanyakan keputusan hidupku.” Sei menusukkan ujung jarum itu ke jari telunjuk. “Aku berharap hidupku ini hanya mimpi dan aku terbangun di dunia utopia. Aku seolah merasa ragu dengan benda yang rasanya sudah seperti wasiat orang tuaku ini. Namun, aku mengingat bahwa tak ada hal yang kupertaruhkan untuk hidup di dunia ini lagi. Apapun yang terjadi, terjadilah.”
Jarum itu lenyap begitu darah Sei menggumpal di atas jari. Jawaban atas pikiran rancu mengenai dunianya kini terasa sirna. Dia bisa merasakan bahwa dirinya tidak salah. Sei menarik napas seperti orang asma. Ian diam berdiri di tempatnya dan mengamati. Tak lama kemudian, muncul reaksi yang tak diharapkan sama sekali.
Sei sempoyongan. Pandangannya seolah berputar. Cerminan di matanya berubah menjadi dua, kemudian menjadi tujuh, kemudian menjadi seribu. Sei menjerit kesakitan. Tiap mili kulitnya mengeluarkan darah. Gumpalan demi gumpalan keluar dari sekujur badannya. Dia memuntahkan darah berulang-ulang di atas kasur bersihnya. Tubuhnya bergerak tak beraturan.
Ian berbalik dan berjalan menjauh. Sei masih bisa melihatnya walaupun bayangannya ada seribu. Sei ingin menyesal dan mengutuk, tapi tak ada tempat di otaknya untuk memikirkan hal itu. Yang ada hanya rasa sakit dan sakit yang terus-menerus. Bahkan dia berharap segera mati dan rasanya memudar, tapi semuanya justru semakin menggigit dan menyiksa.
Kasur bersih itu digenangi oleh darah merah yang kental. Puncak dari segala rasa sakit yang ada di dunia. Sei masih kesakitan dan terjaga, hingga dia mendengar Ian mengucapkan kalimat yang tak pernah dia sangka-sangka,
“Maafkan aku. Kuharap kau bisa melawan kutukannya.”