Rana Renjana

Rana Renjana

Piko

4.9

Matahari baru saja naik sejengkal di ufuk timur, si mandung pun mulai tampak menceker tanah pekarangan, untuk sekadar mendapatkan cacing sebagai sarapan. Peliharaan yang berjengger merah tersebut tersentak sesaat kemudian berlari, ketika mendengar bunyi pantat cangkir blirik milik Pak Sutomo, beradu keras dengan permukaan meja kayu di teras rumah.

Teras hunian berbentuk limasan yang berdinding kayu tersebut tidaklah terlalu luas. Hanya ada dua lincak panjang yang saling berhadapan di sisi timurnya, serta sebuah kursi goyang di sisi baratnya.

“Gimana toh, Ram?! Kamu itu satu-satunya pengibing di sangar kita, malah sekarang tangannya terkilir.”

“I-itu karena ….“

“Aku tahu kemarin itu kamu berniat menyelamatkan Arum, gadis yang kamu tresnani. Tapi sebagai seorang penari, kamu juga harus bisa menjaga tangan dan kakimu!” Mata Pak Sutomo menatap tajam pada seorang pemuda berahang tegas, dengan alis tebal, dan rambut cepak, yang tengah duduk di hadapannya. “Terus gimana nasib pentas Lengger Tapeng kita di Pendopo Krajan minggu depan?!”

Rama hanya menunduk dalam-dalam, ia tak sanggup untuk manatap wajah gurunya—sekaligus pemilik sanggar tari Gumelar, yang kini sudah merah padam. Pertunjukan kemarin gagal total, akibat di tengah pentas tangannya terkilir karena menahan badan Arum yang hampir jatuh terpeleset sampur.

Peristiwa itu membuat Pak Sutomo dicaci maki dan tidak dibayar sepeser pun oleh yang punya hajat. Sebab, penduduk desa percaya jika tari sakral Lengger Tapeng gagal dilakukan semalam suntuk, maka akan membawa bala bagi penanggapnya.

“Tak ada pilihan lain, aku akan membatalkan pentas itu.”

“Jangan Guru … saya masih bisa menari dengan satu tangan!”

“Bodoh! Kamu kira pentas di Pendopo Krajan itu main-main? Tempat itu sangat wingit, ngerti kamu?!”

Pemuda berkaos hitam dengan luaran surjan lurik itu manggut-manggut, matanya sibuk menelusuri sampur hijau penahan lengan kanannya, yang ujungnya mengalung di belakang leher. Kain yang panjang itu semerbak bunga kenanga, bau harum yang sama dengan pemiliknya, Arum. Bibir tipis Rama pun sekilas melengkung membentuk senyuman, merasa senang kemarin bisa menjadi pahlawan bagi gadis yang ingin dimilikinya. Persetan dengan kemarahan gurunya yang dihadapinya saat ini.

Angin pagi di musim bediding, berembus pelan membawa hawa dingin ke dalam teras rumah. Lantai yang terbuat dari plesteran bata merah itu pun menjadi semakin dingin saat diinjak, membuat Pak Sutomo buru-buru mengangkat kakinya ke atas lincak yang tengah ia duduki. 

Pria berusia 50 tahunan yang sudah puluhan tahun memimpin sanggar tari tersebut, kemudian merebahkan punggungnya di sandaran lincak. Di hadapannya—di atas meja kayu persegi—tersaji tiga cangkir teh sangrai dan sepiring geblek beserta tempe benguk. Ia memijit keningnya kuat-kuat. Memikirkan kemungkinan sanggarnya yang akan semakin terpuruk, jika pertunjukan minggu depan itu benar-benar batal.

“Sepertinya Bapak lupa, kalau masih punya anak lelaki yang bakal mewarisi sanggar ini.”

Suara seorang pria berkulit putih, berhidung bangir, dengan rambut bergaya mid-length layered cut, yang sedari tadi duduk di kursi goyang mendadak memecah keheningan. Mata bulatnya tetap fokus menatap ponsel, sedangkan kedua jempolnya cekatan menekan layar untuk bermain gim.

“Apa maksudmu, Le?” Pria berambut gondrong dan berkumis tebal itu tersentak, ia kembali menurunkan kakinya di atas ubin yang dingin.

“Bapak lupa masih ada aku di sini?”

“Jangan memperkeruh Susana, Yu!” timpal Rama geregetan.

“Siapa yang kamu panggil ‘Yu’? Lidahmu masih tak bisa memanggilku ‘Kyu’?”

“Bukan salah lidahku, tapi memang namamu yang sama sekali ora njawani.”

Cho Kyuhyun terhenyak, ia membelalak menatap murid kesayangan ayahnya tersebut. “Bisakah kamu tutup mulutmu yang sudah banyak menggoda perempuan itu?”

“Cukup!” Tangan Pak Sutomo sontak menggebrak meja. Kupingnya panas mendengar nama pemberian mendiang istrinya, yang saat itu sedang tergila-gila mendengar musik Korea di radio, dipermasalahkan.

“Pak, izinkan aku untuk menggantikan Rama menjadi pengibing!” seru Kyuhyun berapi-api.

Pak Sutomo hanya bisa mengehela napas panjang, ia tak yakin jika anak semata wayangnya tersebut bisa menjadi seorang penari. 

Sejak kecil, Kyuhyun sama sekali tak tertarik dengan Lengger Tapeng, setelah dewasa pun, ia memutuskan untuk kuliah dan bekerja di kota besar. Hal itu ia lakukan untuk menghindari sang ayah, yang selalu mendesaknya untuk ikut mengurusi sanggar. Baru sebulan yang lalu ia mau kembali pulang ke kampung halamannya—di sebuah dusun kecil di kabupaten Kulon Progo—karena ibunya meninggal dunia.

“Kenapa kamu tiba-tiba ingin jadi pengibing?”

“Aku hanya berniat menunjukkan pada si playboy itu, kalau dia tak pantas untuk bersanding dengan Arum di panggung, atau pun di pelaminan,” sindirnya sembari melirik Rama.

Kalimat tajam Kyuhyun berhasil membuat kuping Rama memerah. “Jaga mulutmu! Siapa yang kamu sebut playboy?”

“Jangan kira aku tak tahu apa yang kamu lakukan di belakang Arum. Merangkul Sari anak pak lurah, atau mencumbu Ratih si biduan, di bawah pohon randu tempo hari itu?”

PRANG!

Seketika bibir semua pria tersebut terbungkam, tatapan mereka kompak tertuju pada seorang gadis manis berambut sepinggang, yang mematung dengan badan gemetaran di mulut teras. Di lantai, tampak kaca pecahan piring dan empat roti panggang jatuh berserakan.

“Arum!” seru keduanya bersamaan.

Gadis yang memakai blus bunga-bunga dengan bawahan rok batik itu, segera berbalik badan, berlari meninggalkan emper yang hawanya begitu tak nyaman. Air matanya menggenang, kala mendengar perkataan Kyuhun tentang kelakuan Rama pada Sari dan Ratih.

Kaki Rama dan Kyuhyun pun spontan bergerak, berniat menyusul langkah si gadis yang mereka gandrungi.

“Berhenti, Kyu!”

Langkah kaki pria berusia 25 tahun itu berhenti tepat di mulut teras. Ia hanya menatap penuh sesal pada roti panggang yang sekarang menjadi santapan si mandung.

Sudah genap sebulan ini, setiap pagi Arum selalu membawakan roti panggang dengan isian gula dan mentega untuk sarapan Kyuhyun. Arum tahu jika lidah pria yang pernah singgah di hatinya tersebut, tak lagi cocok dengan rasa geblek dan tempe benguk sebagai sarapannya.

“Biarkan Rama yang mengejarnya. Dia calon suaminya ….”

Kyuhyun mengangguk paham dengan mata yang sendu. “Aku tahu, Arum dijodohkan dengan Rama. Tapi aku tak rela dia jatuh ke laki-laki brengsek itu, Pak.”

“Niatmu baik ... tapi itu semua bukan urusanmu. Kamu yang meninggalkan Arum begitu saja untuk pergi ke kota, tanpa pernah memberi kabar selama 7 tahun. Sekarang kamu kembali dan ingin mendapatkan tresnanya lagi?”

Jejaka berkaos putih dengan celana jeans selutut itu menunduk dalam-dalam. Rasa sesal telah menyelimuti dirinya, ia dulu terlalu kekanak-kanakan. Pergi ke kota begitu saja tanpa memikirkan perasaan Arum, kekasihnya, dan hanya mementingkan egonya untuk melarikan diri dari ayahnya.

“Makanya, Pak, izinkan aku menari di Pendopo Krajan. Jika berhasil, aku berniat akan meminang Arum.”

“Tak semudah itu, Le. Memang orang yang berhasil menari di tempat wingit itu semalam suntuk, nazarnya bisa terkabul lantaran Gusti. Tapi sebaliknya, orang yang gagal menari di sana akan kehilangan sukmanya.”

Pak Sutomo berjalan mendekati anak lelakinya yang berdiri bersender tiang penyangga teras. Kicau Perkutut yang sangkarnya tergantung di tepi atap pun, mengalun pelan seoalah ikut merasakan kegelisahan majikannya.

“Bukan hanya itu saja, Ki Projo, ayah Rama tak akan berdiam diri kalau tahu keinginan anaknya untuk menikah dengan Arum dihalangi,” lanjutnya.

“Bapak lupa siapa aku? Aku ini anak Pak Sutomo, penari Lengger Tapeng ulung dan pemilik sanggar tari yang disegani. Darah seni Bapak mengalir dalam tubuhku. Percayalah aku pasti bisa melakukan pentas semalam suntuk, tanpa kesalahan.”

Pria berbadan tegap tersebut sejenak menatap lekat-lekat wajah anak kesayangannya, kemudian mengangguk gamam. “Baiklah, kuturuti permintaanmu untuk menjadi pengibing Arum di Pendopo Krajan.”

Seketika Kyuhyun bersimpuh di telapak kaki sang ayah, sebagai permintaan ampun sekaligus rasa terimakasih karena diberi kesempatan untuk kembali mendapatkan Arum—cinta pertamanya dulu. Sedangkan Pak Sutomo hanya bergeming, menatap nanar ke sebuah pohon melinjo, di mana terdengar sayup kicau burung kedasih, sang pertanda akan ada sukma yang lepas dari raganya. 

***

Seminggu kemudian, pendopo berbentuk joglo yang berdiri megah di pinggir desa tersebut, sudah siap untuk pentas. Matahari telah lama tenggelam, beberapa teplok pun sudah menyala di keempat pilar. Temaram cahayanya menyatu dengan bau dupa, dan kembang tujuh rupa yang diletakkan di kaki tiang. Itu semua cukup membuat berdiri bulu roma setiap orang.

Di sisi utara pendopo, tampak para wiyaga yang tengah sibuk mempersiapkan gamelan. Namun, tak terdengar suara kelakar seperti biasanya, mereka melakukannya dalam diam. Menghormati para leluhur yang baureksa di Pendopo Krajan.

Sedangkan di sisi selatan, tampak Kyuhyun bertelanjang dada, hanya memakai celana panji dilapisi kain batik sepaha, sebilah keris pun diselipkan di kamus timang berwarna merah yang terlilit di pinggang. Sebuah jamang juga menghiasi kepalanya, wajah tampannya polos tanpa riasan, karena akan memakai topeng kera.

Ia tak bisa duduk tenang, berkali-kali mencoba gerakan usap rawis. Ia benar-benar pemuda yang cerdas, dalam satu minggu saja sudah bisa menguasai gerakan mengibing.

“Wis, Kyu … gerakanmu itu sudah bagus. Sini duduk di sini.” Tangan Arum menepuk kursi kayu di sampingnya. 

Ia tampak ayu dengan riasan natural, cocok dengan hiasan rambut berupa sanggul dengan sunduk mentul. Badan semampainya terbalut kemben hitam dengan sampur berwarna kuning sebagai atasan, juga kain panjang batik sebagai bawahannya.

Kyuhyun menurut, ia merebahkan badan di samping gadis berlesung pipi itu. “Aku grogi banget, Rum. Malam ini aku harus bisa menebus kesalahaku padamu.”

“Tenangkan hatimu, kamu pulang dan masih mengingatku saja, aku sudah sangat senang. Aku juga berharap hajatmu terkabul, dan ….”

“Dan apa?”

“Dan bisa melepasku dari perjodohan dengan lelaki buaya itu,” lanjut Arum dengan mata berkaca.

“Serahkan semua padaku ....” Jemarinya menggenggam erat telapak tangan gadis di sampingnya.

“Beraninya kamu bermesraan di depan calon suamimu!” Suara berat Rama yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mereka, membuat Arum segera menarik telapak tangannya dari genggaman Kyuhyun.

“Jangan salahkan Arum!”

“Cih! Aku tak peduli dengan apa yang kalian lakukan. Aku hanya ingin memberikan teh ini padanya,” ucap Rama sembari menyodorkan segelas teh pada Arum.

Tangan Arum gemetaran menerima gelas tersebut, lalu perlahan meneguknya dengan raut ketakutan.

Tak lama tampak Pak Sutomo berjalan mendekat, bersama Ki Projo yang membawa sesaji dengan dupa menyala. “Lima menit lagi pentas dimulai, kalian berdua harus melakukan ritual dulu.”

Kemudian tangan Ki Projo perlahan memutar wadah sesaji di depan wajah kedua penari. Wangi gaharu pun mulai menyelimuti tubuh keduanya. Mulut pria yang memakai udeng tersebut lirih merapal mantera yang hanya ia seorang yang tahu maknanya. Terakhir, Pak Sutomo mengoleskan kapur sirih di kening Arum dan Kyuhyun.

Tepat pukul sepuluh malam, kenong, kempul, dan gong mulai ditabuh. Iramanya selaras dengan gerakan Arum, yang hari ini menjadi tokoh Dewi Sekartaji. Kemudian terdengar tembang jawa dengan lirik puji-pujian pada Yang Esa. Mengiringi Kyuhyun yang berperan sebagai Panji Asmorobangun yang sedang menyamar jadi kera, masuk dengan gerakan mengibing(menggoda).

Tak ada seorang pun yang menonton pentas Lengger Tapeng dengan lakon Panji Asmorobangun tersebut. Pendopo itu sepi, karena memang pertunjukan ini khusus disajikan bagi leluhur yang baureksa.

Dua jam kemudian, ketika bulan tepat berada di ubun-ubun langit malam, gerakan tangan Arum yang semula gemulai mengikuti ketukan gamelan, kini mulai pelan tak beraturan. Kepalanya tampak berat menahan kantuk, matanya pun sesekali memejam.

“Arum … kamu ngantuk? Jaga kesadarnmu …,” bisik Kyuhyun dari balik topeng.

Gadis  berkulit kuning langsat tersebut hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. Sekarang gerakan tangan dan kakinya semakin lunglai, hingga akhirnya badannya ambruk menyentuh lantai. Sontak Kyuhyun merengkuh badan sang gadis yang tak sadarkan diri. Tangan para wiyaga pun seketika berhenti menabuh, kala mendengar teriakan si pengibing.

Pak Sutomo yang merasa bertanggung jawab atas pentas ini, lari tergopoh-gopoh ke tengah pendopo. “Arum kenapa, Kyu?”

“Aku yang seharusnya bertanya! Apa yang tadi Bapak dan Ki Projo lakukan pada Arum?!” Tangan Kyuhyun tak berhenti mengguncang tubuh Arum supaya kembali tersadar.

“Aku tidak melakukan apa-apa. Sekarang yang penting kita sadarkan Arum, jangan sampai dia terlelap, dan sukmanya diambil alih oleh lelembut di sini!”

Mulut Pak Sutomo komat-kamit merapal doa, yang kemudian ia tiupkan pada segelas air. Arum kembali membuka mata, setelah gurunya mengusap air doa tersebut di wajahnya. Namun nahas, mata Arum menatap kosong, bibirnya pun terus tersenyum tanpa sebab.

“Sadar, Rum!” seru Kyuhyun, wajahnya amat tegang.

Arum menoleh pada lelaki yang sedaritadi merengkuhnya. “Sopo kuwi Arum?” suaranya berubah serak, ia pun terkikik tanpa henti.

Kicau burung kedasih terdengar nyaring di sebatang pohon randu, samping Pendopo Krajan. Semua orang tampak tertunduk, meratapi kepergian sukma seorang gadis. Kecuali seorang pria yang menggendong tangganya dengan sampur hijau.

“Gadis itu bersikeras membatalkan perjodohan. Jika aku tak bisa mempersuntingnya, maka tidak ada seorang pria pun yang bisa memilikinya,” ucapnya sembari menggenggam plastik kecil berisi obat tidur.

Perlahan ia berbalik badan, berjalan pergi meninggalkan pendopo. Kakinya melangkah ringan menuju ke arah pohon randu, tempat di mana seorang perempuan berbadan semok sedang menunggu.

“Ratih, ayo kita pergi.”

***