Kalau ditanya risi atau tidak ketika ditanya terus-menerus kapan akan menikah, jawabanya pasti risi. Apalagi kalau keluarga besar Rajendra sudah tahu ia punya pacar. Mereka akan terus bertanya kenapa Rajendra belum menikah dengan pacarnya. Ah, tetapi Rajendra tidak peduli. Ia masih perlu mengenal pacarnya lebih dalam lagi sebelum memutuskan untuk menikah.
Lebaran tahun lalu, ketika dirinya pulang ke Solo, Jawa Tengah, keluarga besarnya tidak berhenti bertanya kapan ia akan menikah. Rasanya Rajendra ingin meneriaki mereka. Tetapi ia tidak mungkin meneriaki pakdhe dan budhe-nya. Tidak sopan namanya.
Pertanyaan mengenai pernikahan sepertinya akan selalu menghantui hingga ia memutuskan untuk menikah nanti. Buktinya, pertanyaan mengenai pernikahan kembali ia dapatkan pagi ini. Minggu pagi ibunya menelepon. Seperti biasa, beliau menanyakan kabar Rajendra, pekerjaannya, dan lain-lain. Intinya, mereka mengobrol ngalor-ngidul layaknya orangtua yang sedang melepas rindu kepada anaknya di perantauan. Awalnya Rajendra yakin kalau ibunya tidak akan menyinggung tentang pernikahan, karena sejujurnya ia sudah malas menjawab. Namun ia salah. Ibunya malah terus menerus menyinggung masalah itu.
Kepala Rajendra tiba-tiba pening. Ia paham kalau ibunya ingin cepat-cepat melihat Rajendra menikah. Maklum, lelaki itu sudah menyentuh kepala empat. Sudah waktunya menikah. Tetapi Rajendra belum siap menikah. Ia belum siap untuk terikat dengan pacarnya.
“Buk, Tara itu masih belum mau diajak nikah. Masa Jena maksa sih?” tanya Rajendra. Ia memijit pelipisnya sebentar sebelum menyesap rokoknya.
“Kan bisa diajak pelan-pelan, Je. Kalian itu udah pacaran lama lho. Masa nggak nikah-nikah?”
Rajendra semakin pusing mendengar pertanyaan ibunya. Memang mereka sudah pacaran lama, tetapi mau bagaimana lagi? Keduanya belum siap sekarang. “Ya udah, Buk, nanti Jena coba ngobrol sama Tara.” Rajendra memberikan jawaban yang ia rasa dapat menenangkan hati ibunya. “Omong-omong, bapak mana sih, Buk? Kok nggak kedengeran suaranya?”
Rajendra dan bapaknya memang jarang berbicara melalui telepon. Mereka biasanya saling bertukar kabar melalui chat setiap harinya. Mereka tidak ada masalah, sungguh. Hanya saja, bapaknya memang jarang berbicara. Sangat berbeda dengan ibunya yang cerewet. Karena jarang mengobrol, kadang Rajendra rindu dengan suara bapaknya yang teduh. Makanya, ketika ibunya menelepon, Rajendra selalu mengambil kesempatan untuk mengobrol dengan bapaknya.
Terakhir kali Rajendra berbicara dengan bapaknya melalui telepon adalah dua minggu yang lalu. Saat itu bapaknya khawatir setengah mati setelah mendengar bahwa Rajendra demam selama satu minggu. Awalnya Rajendra tidak berniat untuk memberi tahu orangtuanya. Ia takut membuat mereka khawatir.
Namun, Tara, pacarnya terpaksa menelepon bapaknya untuk membujuk Rajendra ke rumah sakit. Sebenarnya Rajendra berniat menolak, lagipula ia merasa sakitnya tidak separah itu, tetapi ia memutuskan untuk menuruti bapaknya karena tidak ingin membuat bapaknya semakin khawatir. Saat itu juga Tara langsung membawa Rajendra ke rumah sakit.
Pada intinya, meskipun bapaknya jarang berbicara dan terkesan cuek, namun bapaknya benar-benar sayang kepada keluarga. Rajendra bersumpah ia akan menjadi sosok seperti bapaknya kelak. Eh, sebentar, Rajendra harus menikah dan memiliki anak terlebih dahulu agar ia bisa memberikan kasih sayang kepada keluarga kecilnya kelak.
“Lagi siap-siap mau ke nikahan anak temennya bapak kamu tuh. Lagi musim kawin gini, Je. Mending kamu ikutan kawin juga.”
“Kalo kawin mah Jena sering, Buk,” canda Rajendra.
“Le, Ibuk kandani yo, guyonanmu ora lucu blas!” ejek ibunya. Rajendra hanya tertawa geli saat mendengar ejekan ibunya. “Wis yo, Le. Ibuk karo Bapak arep jagong disik. Ojo lali maem, istirahat. Ojo ngerokok terus. Dikurangi ngono lho, wis tuwo kok ngerokok terus!”
Rajendra terkekeh mendengar omelan ibunya. Inilah yang membuat Rajendra sering merindukan ibunya. Kalau sudah ngomel, titik dan juga koma pasti diabaikan. “Iya, Buk. Iya. Hati-hati di jalan ya, Buk. Bilang ke bapak, nanti Jena telepon lagi.”
“Iya. Wis yo, bapakmu wis nunggu kae. Ibuk matiin teleponnya.”
Setelah sambungan telepon terputus, Rajendra kembali masuk kamar untuk merebahkan dirinya di ranjang. Pagi tadi, Rajendra terpaksa beranjak dari ranjang karena diminta ibunya untuk bangun. Ia lantas menuju balkon kamarnya untuk merokok dan mengobrol dengan ibunya melalui sambungan telepon.
Tetapi, ketenangan Rajendra di ranjang tidak berlangsung lama. Baru saja ia merebahkan diri, teleponnya kembali berdering. Hal itu jelas membuat Rajendra mengerang kesal.
Seharusnya, Rajendra bisa tidur seharian. Bukannya malah bangun pagi-pagi begini. Ia butuh istirahat setelah berhari-hari kurang tidur karena mengerjakan project planning untuk kliennya di Alexius Indonesia, agensi yang bergerak di bidang marketing dan periklanan. Sudah hampir dua minggu ia memikirkan bahan riset konsumen, melalukan riset, mengolah hasil riset hingga menyusun media plan bersama timnya untuk keperluan eksekusi project. Otaknya butuh beristirahat
Tetapi nyatanya, Minggu paginya malah diganggu oleh telepon yang berdering berkali-kali. Ia gagal tidur nyenyak. Gagal bangun siang pula. Ia gagal menikmati hari tenangnya.
“Heh! Pagi-pagi ngapain telepon ke HP kantor? Dibilang kalau hari libur jangan telepon ke HP kantor kok masih ngeyel sih, Ta?” kesal Rajendra bergitu ia mengangkat telepon dari Tirta. Akibat belum sadar sepenuhnya, ia mengira kalau Tirta menghubunginya di nomor telepon kantor. Padahal, jelas-jelas telepon kantornya berada di samping tumpukan buku.
“Ini aku telepon ke nomor kamu sendiri ya, Je! Buruan beres-beres deh. Kita ada futsal sama anak PR ini,” jawab Tirta di ujung telepon. Suaranya terdengar masih serak. Rajendra yakin lelaki itu baru saja bangun.
Lelaki yang mengusik hari tenang Rajendra adalah Tirta. Sahabat karib Rajendra sejak kuliah hingga saat ini. Mereka bisa disebut sebagai senior di Alexius Indonesia karena mereka sudah bekerja di sana sejak Alexius Indonesia masih kecil hingga terkenal seperti sekarang. Posisi Rajendra di Alexius adalah Strategic Planner. Sementara Tirta memimpin tim kreatif sebagai Creative Director. Tugas Tirta adalah memikirkan keseluruhan konten di setiap project dan juga mengeksekusi jalannya project.
Dulu saat masih bekerja sebagai Graphic Designer mereka sering lembur hingga pagi demi memenuhi keinginan klien, bahkan tidak jarang mereka diminta untuk mengerjakan revisi yang diminta secara mendadak. Rajendra tidak suka itu. Alih-alih tetap berada dijalurnya, memikirkan konten yang membuatnya lembur hingga pagi, Rajendra memilih untuk memikirkan strateginya saja. Toh, itulah yang ia pelajari saat kuliah dulu. Lumayan, ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan revisi konten. Sudah ada Tirta yang memikirkannya sekarang.
“Hah? Futsal? Udahlah nggak usah ikut. Ngantuk banget ini. Kita lembur lho dari kemarin, mending tidur aja!”
"Jadwal rutin ini lho. Dateng aja deh. Daripada kita kena denda ratusan ribu? Dikira ratusan ribu daun apa? Ini aku udah baik lho ngabarin. Buruan mandi!” bentak Tirta. Samar-samar ia mendengar suara anak kecil menangis. Pasti anak Tirta terbangun gara-gara mendengar papanya marah-marah.
“Iya iya dateng. Udah matiin, anak kamu nangis tuh,” jawab Rajendra sebelum mematikan sambungan teleponnya.
Dengan berat hati, Rajendra meninggalkan ranjangnya. Tentu saja ia kesal karena hari Minggunya diganggu. Andai saja tidak ada denda, ia memilih untuk tidur seharian daripada ikut futsal.
Rajendra tidak rela mengeluarkan ratusan ribu untuk membayar denda. Ia memilih untuk tidak tidur daripada menghamburkan uang dengan sia-sia. Jakarta keras, Bos! Kalau tidak bisa berhemat, ia bisa jadi gelandangan.
***
Meskipun ia malas untuk bertanding futsal, Rajendra tetap berangkat karena ada denda yang siap menguras kantongnya. Ia takut kalau-kalau uangnya habis untuk membayar denda. Makan mi instan di pertengahan bulan bukan ide yang bagus. Jadi, lebih baik ia berangkat.
“Mas, ini mendadak atau emang ada jadwal kita tanding sama anak PR sih? Perasaan kita Minggu kemarin udah tanding?” tanya Rajendra kepada Ario, rekan kerjanya di tim Audiovisual.
“Kan emang jadwalnya seminggu sekali. Kamu nggak pernah lihat jadwal ya, Je?”
“Enggak. Ngapain juga lihat. Orang diriku ini aslinya nggak suka futsal, Mas. Ikut juga kepaksa gara-gara ada denda,” jawab Rajendra tak acuh. “Lagian, ngapain juga kita kudu rebutan bola? Mending rebutan rezeki.”
Obrolan mereka tidak berlanjut karena Mas Bayu memanggil ketiganya untuk masuk ke lapangan. Mas Bayu adalah Account Executive di Alexius Indonesia. Mas Bayu adalah sosok yang paling berwibawa jika dibandingkan dengan pegawai lainnya. Paling tampan pula. Sebagai seorang AE pembawaanya memang harus berwibawa, good-looking dan juga smart untuk membangun trust kepada calon user atau klien.
“Aku jaga gawang,” ucap Rajendra lemah sebelum menghampiri Mas Bayu. Sebelum berjalan, ia mengikat rambutnya agar tidak mengganggu nantinya.
Permainan dimulai tidak lama setelah ketiganya dipanggil Mas Bayu. Sesuai permintaan, Rajendra menjaga gawang hari ini. Padahal biasanya ia duduk di bangku penonton, tetapi karena Maulana, rekan satu timnya, berhalangan hadir ia terpaksa ikut dalam pertandingan.
Sebenarnya ia malas mengikuti pertandingan. Ia tidak begitu suka olahraga. Namun, karena kekurangan orang, ia terpaksa ikut melakukan olahraga melelahkan ini.
***
Sekitar jam tiga sore, Rajendra dan Tirta sudah sampai di Musico Café. Akhir pecan memang waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Setidaknya mereka bisa melepas penat hari ini, sebelum berkutat dengan pekerjaan besok.
Rajendra dan Tirta sedang pusing-pusingnya memikirkan pekerjaan mereka. Seperti biasa, ketika baru saja menerima project, beban pekerjaan mereka bertambah berat. Mereka harus memikirkan riset konsumen, logo merek, warna, desain dasar, dan lain-lain. Belum lagi kalau mereka mendapatkan klien yang ribet dan kolotnya setengah mati. Seperti sekarang.
Di dalam kafe, teman mereka bernama Doni, sudah duduk manis menunggu kehadiran keduanya dalam balutan kemeja putih dan celana kain. Terlihat seperti peserta ujian CPNS.
“Wong edan, nongkrong doang pake baju item putih. Mau ujian CPNS, Pak?” sapa Rajendra saat duduk di depan Doni.
“Pake jeans sama kaos item aja cukup kali, Pak? Sok-sokan pake item putih, mau caper ke cewek? Inget anak istri di rumah tuh,” sambung Tirta sebelum menenggak minuman Doni di atas meja.
Rajendra tahu kalau Doni ingin protes karena minumannya diambil oleh Tirta begitu aja. Namun Doni tidak sempat protes. Rajendra yang melihat kelakuan Tirta hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tahu kalau Tirta kelelahan usai bermain futsal tadi. Ia pun merasa begitu. Tetapi, mengambil minuman orang lain sembarangan itu tidak sopan.
“Habis dateng ke acara nikahan temennya Laili nih. Dresscode-nya emang harus gini. Kalian berdua tumben akur?”
Rajendra langsung melihat Tirta yang duduk di sampingnya dengan raut wajah kesal. Ia jadi teringat kalau tirta sudah mengganggu tidurnya pagi tadi. Andai Tirta tidak meneleponnya tadi, ia pasti masih tidur sekarang. “Kalau nggak inget aku bonceng dia, nggak sudi akur sama dia. Hobinya ganggu orang tidur.”
“Pulang jalan kaki aja kamu, Je. Bukannya terima kasih udah dibangunin biar nggak kena denda, malah nyalahin,” omel Tirta sebelum menenggak minuman Doni lagi.
“Gini, Pak. Kan bisa bilang malemnya. Nggak mendadak kayak tadi,” kesal Rajendra.
"Baru aja dibilang akur. Udah berantem aja kalian. Diem. Malu tuh dilihatin orang-orang!" ucap Doni galak. Dan keduanya pun terdiam.
Kalau Doni sudah menyuruh diam, artinya mereka harus benar-benar diam. Sebelum Doni memarahi mereka. Ia memang terlihat kalem dan tidak pernah marah. Tetapi nyatanya, kalau sudah marah ia berubah menjadi manusia yang menakutkan.
Doni juga sahabat Rajendra dan Tirta sejak kuliah. Meskipun Doni lebih tua satu tahun dari mereka. Tetapi karena berada di satu indekos yang sama semasa kuliah, mereka menjadi akrab dan berteman hingga sekarang.
Sekarang Doni bekerja di salah satu Production House di Jakarta Selatan sebagai penulis naskah. Pekerjaannya tentu tidak jauh dari menulis naskah film, meeting dengan sutradara, bahkan dengan artis-artis terkenal ibu kota. Duh, Rajendra jadi iri.
"Mau ada film baru?" tanya Tirta. Lagi-lagi ia meminum ice americano milik Doni.
Menanggapi pertanyaan Tirta, Doni mengangguk sambil merebut gelasnya. "Kamu bisa beli minum sendiri kan?"
Tirta terkekeh mendengar pertanyaan Doni. "Iya, ini aku mau beli. Habis enak banget minta punya orang tuh," jawab Tirta saat berdiri hendak memesan minuman. ”Mau minum apa, Je?"
"Air mineral satu sama apa aja yang penting enggak pake es. Pesenin ya. Makasih," ucap Rajendra sambil mengibaskan tangannya menyuruh Tirta untuk segera ke meja kasir. Tirta hanya mengangguk kemudian meninggalkan keduanya.
Sepeninggalan Tirta, keduanya terdiam. Lebih tepatnya Rajendra yang terdiam. Memikirkan permintaan ibunya. Sebenarnya ia tidak terlalu memikirkan tentang pernikahan. Tetapi entah mengapa, ia selalu terbebani ketika ibunya terus meminta Rajendra untuk segera menikah.
Rajendra terlalu bebas. Ia masih berpikir kalau pernikahan akan membatasi jiwa bebasnya. Kalau ia memaksa dirinya untuk menikah dengan Tara, ada kemungkinan Tara yang akan terluka. Itulah mengapa ia memilih untuk tidak menikah terlebih dahulu.
"Kesambet apa, Je?" tanya Doni memecah keheningan.
"Bahagia nggak sih nikah, Don?" tanya Rajendra. Doni kaget bukan main gara-gara mendengar pertanyaan Rajendra.
"Ta, ini bocah kesambet apaan bawa-bawa nikah?" Doni langsung melempar pertanyaan kepada Tirta ketika Tirta selesai memesan kopi.
"Ibu minta aku buat nikahin Tara." Keduanya terdiam untuk menunggu Rajendra melanjutkan. "Menurut kalian, aku harus nikah nggak sama Tara?