Koridor rumah sakit itu semakin lama semakin menyempit di mata laki-laki itu. Kepalanya masih terbebat perban dan wajahnya pucat dengan keringat dingin yang membanjiri wajahnya. Tangannya gemetaran saat pria muda itu mencoba melepaskan diri dari para perawat yang menghalanginya pergi.
“Lepasiin! Lepasiin gueee!! Gue harus pergi! Orang itu.. orang itu.. Aya.. Aya di mana?”
“Mbak Aya masih di ruang ICU, Mas Karel belum bisa lihat.”
“Enggak.. gue harus ketemu Aya.. Ayalissee!! Ayaaaa!!” pria bertubuh tegap setinggi 180 sentimeter yang sedang dalam keadaan sakit itu pada akhirnya harus terjepit di antara lengan dua perawat pria yang memeganginya.
“Mas Karel, Mas tenang dulu. Mas belum boleh kemana-mana. Ya?” seorang perawat wanita mencoba menenangkan Karel dengan menepuk-nepuk bahunya, tapi Karel tetap bersikeras hendak pergi. Kakinya yang telanjang terseret-seret di lantai. Mulutnya terus menceracau tak jelas.
“Karel!!” seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah mendadak muncul dari arah yang berlawanan. Haris. Laki-laki itu lantas memegangi bahu Karel dan menatap mata pemuda itu tajam, tapi Karel masih terus bergerak tanpa kendali. “Karel! Lihat saya! Lihat!!” bentaknya keras.
Mata Karel masih tidak fokus. Ia tahu ayah Ayalisse itu sedang berusaha menenangkan dirinya, tapi apa yang terjadi seminggu yang lalu itu benar-benar seperti monster yang menakutinta setiap hari. “Orang itu.. bagaimana dengan orang itu.. Aya.. bagaimana Aya Om? Aya..”
“DIAM!!”
“Orang itu mungkin mati, Om!!” bentak Karel. Matanya yang tadi nanar kini berubah merah dan membulat menatap Haris.
“Tidak ada yang mati!!” Haris menggoncang bahu Karel kuat-kuat tapi cowok itu masih berusaha memberontak. Kali in bahkan Karel mengerahkan tenaga yang lebih besar hingga harus membuat Haris melakukan hal lain yang tak direncanakannya.
PLAAKKK!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Karel dan itu sukses memubuatnya terdiam. Karel tampak linglung dan tubuhnya tak bergerak lagi.
Haris mencengkeram bahu Karel hingga seragam rumah sakit yang dipakainya kusut. Napas ayah Ayalisse naik turun dan rahangnya terkatup rapat. “Dengarkan saya...Mulai saat ini lupakan kejadian itu. Tidak ada yang mati, Karel. Tidak ada.”
Dada Karel yang tadi naik turun, perlahan mulai tampak tenang. “Nggak ada.. yang mati, Om?” ulangnya membeo Haris.
Haris mengangguk. “Nggak ada. Mulai sekarang lupakan semua kejadian itu dan jangan pernah mengungkitnya lagi di depan Ayalisse.”
Karel menggenggam ujung bajunya kuat-kuat dan perlahan tubuhnya merosot ke lantai. Mulai saat ini... ia harus melupakan kejadian itu. Harus.
***
Dari caranya berjalan yang sempoyongan, Karel jelas mabuk berat. Kakinya berjalan saling silang dengan tangan yang terus menopang ke dinding bar. Ayalisse hanya minum satu sloki dan kepalanya seperti dipukul-pukul tongkat baseball. Tapi masih berusaha membantu Karel berdiri seraya menahan sakit di kepalanya sendiri.
“Selamaaaat Ayaaaaa... Selamat untuk sang pemenaaaangg.. Ayalisseeee!!” racau Karel sambil berusaha mencari-cari kunci mobilnya di dalam saku. Begitu menemukan benda yang dicarinya, alih-alih memanggil sopir ia malah memberikan kunci itu pada Ayalisse. Ayalisse mengernyit bingung. “Malam ini... pemenangku harus merayakannya dengan.. menyetirrrr.. yeeeeaaah..” Jidat Karel akhirnya membentur kaca mobil dan membuatnya hampir jatuh.
“Hati-hati Kareel..” dibanding Karel, kesadaran Ayalisse jelas masih jauh lebih tinggi. Ia kemudian memegangi cowok itu, mengambil kunci di tangan Karel dan membuka pintu. Setelah mendudukkan Karel di jok depan, ia sendiri menyalakan mesin.
Ayalisse tahu ia tidak punya SIM karena masih di bawah umur untuk menyetir. Tapi seperti yang dikatakan Karel tadi, malam ini adalah perayaan untuk kemenangan Ayalisse sebagai aktris pendatang baru wanita terbaik di ajang tahunan paling bergengsi di Asean, Starlight Film Festival. Siapa yang tak takjub pada Ayalisse? Ia masih 16 tahun dan berhasil menggondol penghargaan yang bahkan belum pernah dimenangkan oleh siapapun di Indonesia.
Urusan mobil Ayalisse sudah pernah belajar menyetir pada Karel setahun belakangan, itu sebabnya ia tak kesulitan menjalankan BMW hitam itu. Selain otaknya yang sedikit tumpul karena pengaruh alkohol, semua berjalan baik-baik saja sampai tanpa mereka sadari perjalanan satu jam itu malah membawa Ayalisse dan Karel ke tol keluar Jakarta.
“Ayaaaa??” setengah mata Karel yang terbuka tampak celingukan. “Kita mau ke manaaaaa? Ke Puncak???? Haaahahaha.. Puncaaaaak?”
Alis Ayalisse bertaut. Tidak seperti orang lain, pengaruh minuman sialan itu selalu datang dengan cara seperti ini pada Ayalisse. Perlahan-lahan dan semakin lama, semakin membuat otaknya lumpuh. Ia bahkan sudah sulit mencerna apa yang dikatakan Karel dan pandangannya mulai mengabur. “Ke.. mana?” ulangnya sambil tertawa bodoh.
Ayalisse tidak tahu mereka ada di mana. Yang ia lihat hanyalah jalanan dengan lampu penerang seadanya. Melihat pagar besi pembatas di sisi kiri, Ayalisse menyimpulkan mereka sedang ada di sebuah jalan layang. Entahlah.
Ayalisse sedang mencoba menajamkan pandangan matanya saat Karel berusaha menarik tangannya. Ayalisse mencoba berontak karena apa yang dilakukan Karel membuat mobil mereka berbelok tak karuan dan hampir menabrak pembatas jalan. “Kareeeeelll....”
“Ayalisse sayaaaaang..Akuuuuu.. sayanggg bangeeeeet cinta bangeeeet sama kamuuuu..” Karel tampaknya sudah kelewat mabuk sampai-sampai ia terus menarik tubuh Ayalisse mendekat berusaha untuk memeluknya. Akibatnya, Ayalisse jadi kehilangan seluruh konsentrasinya.
Ayalisse masih berusaha meluruskan stir saat tahu-tahu seseorang yang entah datang darimana melintas tepat di depan mobil mereka. Ayalisse mencoba membanting stir untuk menghindar tapi sosok itu sudah keburu tertabrak dan terpental membentur pembatas. Ayalisse kehilangan kendali dan sedan hitam itu merangsek ke pagar besi itu.. dan melindas tubuh yang terlempar tadi sekali lagi.
**