Tak disangka dan tak pernah terskenario sebelumnya, saat itu aku menginjakkan kakiku di kelas pada permulaan SMA. Aku bertemu dengan seorang bunga hati yang sangat ingin kumiliki. Matanya bagaikan bola pingpong, senyumnya teduh menyejukkan dan menentramkan jiwa, tiba-tiba ia berjalan menghampiriku, dan spontan hatiku seperti rampak rebana ibu-ibu pengajian.
“Permisi, bolehkah aku berkenalan. Siapa namamu?” ujarku dengan penuh keyakinan.
“Boleh, aku Rachel. Kamu siapa?” jawab dia dengan ramahnya.
Aku bahagia sekali saat itu, dia berkenalan dengan menyunggingkan senyuman manis nan teduhnya kepadaku. Senyum manisnya membuatku terbang ke ujung dunia dan senyum teduhnya sesaat membuat kanopi di dalam hati ini. Gembur pipinya yang merona selalu terpancar saat ia mulai menyisingkan senyuman. Senyumnya selalu bisa membuat melting dan speechless, tak heran banyak buaya berdatangan silih berganti.
Singkat cerita aku semakin dekat dengannya, hampir setiap hari kita selalu memberi kabar. Kabar diri sendiri, bukan kabar burung. Walaupun demikian, hatiku masih saja dag dig dug seperti bedug buka puasa tatkala ia menghampiriku, terlebih lagi kalau ia tersenyum. Pernah, suatu ketika aku dengannya satu kelompok dalam suatu penelitian, bagaimana aku bisa menahan semua ini, dia amat murah memberikan senyumnya itu kepadaku.
“Rachel, di Tiongkok itu terkenal filosofi Yin sama apa?” tanyaku kepadanya.
“Yang?” jawabnya.
“Iya, apa Sayang, kok manggil-manggil. Aku tetep di sini kok buat nemenin kamu,” sahutku dengan PD-nya.
Dia langsung tersenyum dan tersipu malu, gembur pipinya merah merona memancarkan kehidupan masa depanku dengannya.
“Rachel, burung yang harganya mahal itu apa ya?” tanyaku.
“Ah, nggak. Pasti kamu mau gombalin aku lagi kan?” tolaknya.
“Nggak kok, aku penasaran aja,” jawabku untuk meyakinkannya.
“Lovebird, bukan?” jawabnya lagi.
“Emm... aku juga lovebird (r: lovebett), “ jawabku sembari tertawa kepadanya.
“Ihh.. apaan, kamu gombal terus sama aku,” jawabnya dengan tersipu malu.
Aku semakin senang dengan kedekatan ini, meskipun aku kemungkinan terkena diabetes karena melihat senyum manisnya tiap hari, hehehe.
Beberapa bulan berlalu, aku mendengar kabar tak enak dari salah satu temanku. Mendengar kabar ini hatiku terbelah, ternyata oh ternyata dia menghujamkan peluru di kepalaku dan pisau di relung hatiku. Sakit… pahit… resah… berdarah!
Dengan teganya ia mengkhianatiku, hatiku hancur bak kota Hiroshima dan Nagasaki dahulu saat dibom Amerika, dia sekarang sudah bersama orang lain. Senyumnya dulu yang senantiasa mengomandani hati ini sekarang telah sirna, dan hanya akan menjadi kenangan serta bayangan yang akan menghiasi setiap doa yang terucap dariku untuknya. Dan pada saat aku bertemu dengannya.
“Rachel, terima kasih atas semua yang kau berikan. Senyum manismu tak akan hilang dan tak akan lekang, selamat atas hunganmu dengannya. Semoga dia hanya akan menjadi penghias di dalam perjalanan hubungan kita ya,“ tuturku kepadanya.
“Iya, maafkan aku, “ jawabnya.
Sekarang semua hanya kenangan, mungkin ini adalah fase kulit pisang rasa stoberi, di mana rasa sepat dan asam menghampiriku. Rachel, semoga kita kan bertemu di pelaminan, baik kita duduk berdampingan saling bersuapan atau hanya sekadar bersalaman mengucap harapan kebahagiaan.