"Sudah kau matikan penghangat rumahnya?"
Ibu menanyaiku kala aku keluar dari rumah dan mengunci pintu. Kuanggukkan kepala dan memasukkan segera kunci itu ke dalam jaket tebalku.
Ibu mengerti kemudian mendekati tubuhku dan berbisik. "Surat rumah bagaimana? Pastikan kau bawa. Tetangga kita sedari tadi mengintip kita dari balik tirai jendelanya."
Aku meringis kecil dan mencebikkan mulutku. "Dia selalu saja."
Setelah memastikan aku selalu membawa surat rumah ke mana pun aku pergi, aku dan ibuku segera menaiki kereta yang terpakir di depan rumah kami. Kereta yang ditarik orang itu terlihat terang--itu karena memiliki perapian kecil di dalamnya. Tetangga-tetangga kami pasti tahu kemana kami akan pergi dengan kereta yang kami sewa cukup mahal ini.
Kami akan pergi ke aula tidak terpakai di kota ini untuk acara pernikahan ibuku. Lagipula tidak masuk akal kalau kami berjalan kaki ke sana.
Kulepaskan jaket dan menarik napas dalam-dalam, sekalipun aku tahu ini tidak terlalu baik untuk tubuhku menghirup karbon banyak. Namun, di dalam kereta benar-benar hangat dan di luar tadi sangat dingin padahal seharusnya matahari sudah terbit di pulau cahaya. Ini aneh, tidak biasanya sedingin ini.
Begitu kami masuk dan sudah duduk dengan baik, kereta yang dipimpin tiga orang di depan ini mulai melaju, awalnya pelan tapi makin lama makin konstan. Aku tahu mereka harus melakukan pemanasan dulu sebelum mulai berlari di jalanan sempit dan gelap perumahan ini.
"Acaranya jam sepuluh pagi. Sekarang sudah lewat sepuluh menit. Bukannya ini cukup terlambat? Ibu tadi terlalu membuang waktu untuk sekadar memilih sepatu."
Aku sudah duduk di kursi kayu dan mengamati perapian mini yang terletak di tengah. Sedangkan ibu juga sudah melepas jaketnya memperlihatkan gaun pengantin putihnya.
"Di Quartam, terutama wilayah gelap aku rasa jam itu tidak terlalu penting Triste. Oh kau juga jangan menjadi maniak yang terpaku pada jam. Kita hidup bebas di sini. Lagipula ini tidak seterlambat itu kok."
Ibu mengomeliku sembari menggosok-gosokkan tangannya di atas perapian.
"Kalau tidak memperhatikan waktu dan tidak terpaku aturan. Kita akan menjadi seberantakan kota ini, bu."
Ibu menatapku malas. Sepertinya ia sudah bosan dengan sikapku yang seringkali suka beradu argumen dengannya terkadang. Entah kenapa meski ia ibu kandungku kami sangat berseberangan, dugaannya aku lebih condong ke gen ayahku. Meski kata Ibu, Ayah adalah orang yang paling lembut dan manis sedunia. Masalahnya aku tidak begitu, dan juga aku tak mengerti mengapa bisa.
"Kita adalah bagian dari wilayah gelap. Dan sudah hal lumrah kalau kita berantakan." Ibu akhirnya bersuara membalas argumenku.
"Yah, tapi kita tidak harus berantakan juga kan Bu. Cukup saja kota ini dan dunia ini yang berantakan."
Ibu menggeleng-geleng, tidak tahu lagi harus berkata apa. Kami pun kemudian kembali saling terdiam mengamati jalanan gelap kota ini. Selama perjalanan menuju aula kota. Kami berhenti selama lima menit sebanyak dua kali. Tiga bapak delman yang duduk di depan harus melakukan pergantian untuk berlari menarik kereta ini.
Padahal kami tidak membawa apa-apa, hanya tubuh kami saja. Namun, bapak-bapak delman itu nampak kelelahan sekali. Yah, sejatinya ini memanglah kereta kuda yang modelnya masih cukup sama dengan kereta kuda milik manusia bumi. Namun, karena hewan mahal dan langka di Quartam. Jadinya, manusia lah yang menarik kereta ini menembus dinginnya keabadian malam di wilayah gelap. Sungguh, aku jadi membayangkan apa jadinya kalau planet ini memiliki cahaya di mana-mana. Apa kereta seperti ini masih akan tetap ada? Atau hewan sejenis kuda bumi yang akan muncul menggantikannya?
Lama aku berpikir mengenai dunia ini, planet ini. Planet yang hanya memiliki cahaya kurang dari setengah kemudian ditambah kebiadaban kerajaan Quartz yang berada di pulau cahaya itu menyerupai iblis--Tidak mau membagi apa pun pada kami yang bahkan sebenarnya juga merupakan bagian dari rakyatnya. Sudah pantas sekali dunia ini disebut sebagai Neraka dalam arti hidup. Atau bahkan mungkin sudah menyerupai Neraka dalam artian ketika kita sudah mati yang lebih dahsyat siksaannya seperti yang tercantum di dalam kitab.
Pulau itu, yang satu-satunya disinari Eguzkiavile lah pelaku atas kesemena-menaan pemerintah. Kebutuhan sumber daya mereka tercukupi lantas hanya dari sana. Mereka yang katanya peduli telah melakukan upaya menolong wilayah ini pun hanya sekadar dengan mengutus para ilmuwan andalan untuk menciptakan berbagai penemuan hebat, mendukung keberlangsungan hidup. Namun, di planet yang serba terbatas ini, semua itu harus dibayar dengan nilai yang tinggi dan penduduk tak banyak memiliki itu. Mereka hanya peduli pada keuntungan pribadinya.
Kepindahan manusia dari bumi, 500 tahun yang lalu ke Quartam menjadi sebuah pertanyaan besar. Mengapa mereka memilih planet yang semengerikan ini untuk pindah? Dan ke manakah semua kecanggihan yang manusia miliki saat masih di bumi?
Hanya duo ilmuwan hebat penyelamat manusia yang namanya sering muncul di buku sejarahku dulu yang tahu. Walaupun, duo ilmuwan hebat itu salah karena memilih Quartam sebagai bumi baru bagi manusia seperti kita. Yang nyatanya juga sama saja--membawa manusia menuju kepunahan. Itu menurut pendapat manusia yang hidup saat ini.
Quartam, sebenarnya adalah planet yang cukup indah. Bilamana kita memiliki bakat dan keahlian tertentu yang diinginkan pemerintah. Namun, tak jarang orang-orang licik dari wilayah gelap yang ahli memalak, menyuap dan segala hal berkaitan dengan itu pindah ke wilayah cahaya dengan aman. Menikmati segala fasilitas dan kebutuhan yang bercukupan di wilayah itu.
Sedangkan aku yang tak memiliki keahlian khusus atau pun cukup kelicikan untuk tinggal di wilayah cahaya. Aku hanya bisa menikmati kegelapan yang ada di lingkunganku. Yang mana lambat laun aku akan terlahap kegelapan itu sendiri dan kemudian pergi ke alam baka. Terkadang aku berharap kalau akan ada pahlawan yang akan mengubah kenyataan pahit ini. Pahlawan yang akan mengubah dunia ini menjadi lebih bercahaya. Membebaskan keberantakan dunia ini yang tak kusukai.
"Triste, berhentilah melamun. Kita harus bersiap turun sebentar lagi."
Yah, tapi tidak mungkin semudah itu. Itu hanyalah fiksi dan kehidupanku adalah kenyataan. Mau tidak mau aku tinggal di sini dan aku akan menjalaninya.
"Iya."