PULAU RAWA BAYU

PULAU RAWA BAYU

Lestari Anggraini

0

Di sebuah Sekolah Dasar Negeri 1 Harapan.


Seorang anak lelaki bernama Diki tengah berpura-pura sakit perut dan berusaha menahan perutnya seolah benar-benar kesakitan.


"Ah sakit, Bu," ujar Diki merintih.


Di tengah kesibukan di dalam kelas saat pelajaran sudah dimulai. Diki mulai melancarkan kebohongannya.


Bu Dini selaku sebagai guru bergegas menghampiri dan bertanya dengan khawatir. "Mana yang sakit? Ayo kita UKS dulu, biar diperiksa dokter di sana!"


Diki mengangguk patuh dan berdiri. Sang guru membantu Diki berjalan sampai ke ruang kesehatan sekolah.


Sesampainya di depan pintu yang terbuka.


"Permisi, Bu!" sapa Bu Dini pada perawat sekolah.


Dengan tersenyum ramah, perawat sekolah menjawab. "Ya, mari masuk."


Bu Dini membantu Diki duduk dan mulai menjelaskan, "Ini Bu, Diki sakit perut katanya, jadi saya membawanya kesini, mohon diperiksa sebentar, Bu!"


Perawat itu pun mengangguk. "Baiklah!"


"Kalau begitu saya tinggal dulu, masih ada pelajaran kelas, Bu. Saya titip Diki. Terima kasih!"


"Ya, silahkan! Jangan sungkan."


Bu Dini lantas pergi meninggalkan mereka berdua. Bu dini pergi kembali ke dalam kelas.


Sang perawat memandang Diki lalu bertanya, "Apa yang sakit? Ayo kita periksa dulu!"


Perawat itu mengajak Diki tidur di sebuah ranjang untuk diperiksa. Sang perawat mengeluarkan alat medisnya untuk mengecek kondisi Diki.


"Coba buka mulut," ucap perawat itu, lalu Diki pun patuh dan membuka mulutnya.


Perawat itu juga memeriksa detak jantung dan pernafasan Diki menggunakan stetoskopnya.


Sang perawat mengerutkan kening. Setelah beberapa detik, perawat mulai bertanya lagi walau agak ragu. "Em ... Diki sakit apa? Apanya yang sakit?"


Diki menjawab tanpa dosa. "Perut saya sakit, Bu."


Karena seperti tak menemukan titik sakit Diki, akhirnya perawat memberikan vitamin untuk diminum.


"Baiklah kalau begitu, Ibu akan memberi Diki vitamin dan harus cepat diminum, setelah itu Diki bisa beristirahat." ucap perawat sambil memberikan beberapa vitamin dan air putih untuk Diki.


Diki mulai meminumnya dan mencoba membaringkan tubuhnya.


"Ibu mau keluar sebentar, kalian bisa istirahat dulu disini," ujar sang perawat, lalu melangkah pergi meninggalkan ruang kesehatan.


Diki memandang perawat yang mulai menghilang. Dia pun menghela nafas.


Tiba-tiba sebuah suara nan imut muncul dan mengagetkannya. "Hay!"


Diki yang terkejut mencari sumber suara dan membuka gorden samping yang dijadikan sekat untuk ranjang lainnya.


"Kamu?"


Ternyata itu Rachel teman sekelasnya.


Diki yang sedang tiduran langsung bangun dan duduk.


Rachel mulai berkata tanpa ragu, "Sepertinya kamu tidak sedang sakit."


Diki yang takut ada orang lain dengar langsung mendekat dan menutup mulut rachel. "Husstt, kecilkan suaramu!"


Rachel pun mengangguk tanpa suara.


Rachel memandang Diki yang seolah ingin tahu kebenarannya.


Diki yang faham mulai bercerita dengan sedih.


"Hari ini adalah hari ulang tahunku, tapi aku bosan, aku juga sedih, orang tuaku tak pernah ingat hari lahirku."


Diki pernah merasakan meriahnya pesta saat berusia 2 dan 5 tahun. Tapi saat dia mulai memasuki fase Sekolah, dan keluarganya juga disibukkan oleh pekerjaan. Hari di mana Diki ingin bahagia malah selalu terlupakan. Dia menjadi sedih. Dia ingin berkumpul bersama keluarganya seperti dulu, tapi itu hanya khayalan yang tak pernah terwujud.


Terkadang dia membeli cake kecil untuk dirinya sendiri, dengan satu lilin di atasnya, dan berdoa untuk diri sendiri dan orang tuanya.


Dia selalu mengharapkan hal indah yang bisa diwujudkan bersama kedua orang tuanya.


Rachel yang pengertian langsung mengulurkan tangannya dan berkata dengan Wajah manisnya. "Selamat ulang tahun, Diki!"


Diki tertegun dan tanpa sadar membalas mengulurkan tangannya.


"Terima kasih, Rachel," balasnya tulus.


Dia tersentuh.


Diki yang sadar mulai bertanya tentang Rachel.


"O iya, kamu sakit apa? Kenapa kamu disini?"


Dengan perasaan sedih Rachel menjawab dan menundukkan kepalanya. "Mereka memukulku, mereka jahat padaku."


Diki mengerutkan kening dan bertanya, "Siapa?"


Rachel menatap Diki lalu menjawab. "Kamu tidak bisa melihatnya Diki."


Diki yang masih kecil, dan juga bekum faham apapun lalu menjawab dengan nada tegas. "Apa yang tak bisa aku lihat? Dan kenapa aku tak bisa melihatnya?"


Rachel menatap Diki tanpa berkedip. Setelah beberapa saat, dengan ragu dia mulai menjawab lagi. "Apa kamu percaya hantu?"


Diki menatap Rachel dengan mata bulatnya. Dia terkejut.


"Apa dia ingin menipuku? Memangnya apa yang tak bisa di lihat jika kita masih punya mata," batinnya.


Rachel memahami sesuatu saat menatap raut ketidak kepercayaan Diki, dia lalu menambahkan, "Jika kamu tak percaya, aku bisa menunjukkan sesuatu padamu."


Diki dengan cepat menjawab, "Apa itu? Bagaimana caranya?"


Rachel melihat kalung yang dipakainya.


Kalung itu berbentuk seperti kotak hitam yang terbuat dari kulit, entah apa isi dalamnya, hanya saja itu adalah sebuah jimat untuk melindungi Rachel dari bahaya yang bisa mengancam nyawanya.


Rachel dengan sedih bertanya, "Diki, apakah kamu mau jadi temanku?"


Diki diam.


Rachel adalah salah satu murid pendiam di kelasnya, kadang dia berteriak sendiri seolah ketakutan, dia termasuk murid paling aneh di sekolahnya, Rachel juga tak punya teman bergaul. Dia merasa sendiri.


Diki belum menjawab pertanyaan Rachel.


Rachel berpindah menatap luar jendela, di luar sana ada anak-anak yang sedang melakukan aktivas olah raganya.


Ada yang berlari, ada juga yang main badminton, beberapa anak lelaki dengan bahagia bermain sepak bola.

Di mata Rachel mereka termasuk anak yang bahagia sedari kecil.


Tapi tidak baginya, dia lelah dengan hidupnya.


Mata Rachel menatap lurus pada anak-anak yang sedang bermain. Dengan mata berkaca-kaca Rachel pun mengeluh. "Aku juga ingin bermain."


Dia terlihat sangat sedih.


Jika dipandang sekilas dan merasakan mengobrol bersama. Rachel tidak gila, dia sama seperti kawan lain, bahkan dia bisa diajak ngobrol bersama.


Andai dia tidak aneh, mungkin banyak yang mau berteman dengannya.


Dengan rasa kasian Diki berkata, "Rachel, aku mau jadi teman kamu."


Rachel memalingkan muka menatap Diki dengan cepat, dengan mata berbinar bahagia dengan bertanya seolah memastikan. "Benarkah?"


Diki mengangguk. "Hu umm."


Namun wajah Rachel mulai kembali sayu. "Tapi aku lelah, Diki."


"Kenapa lagi?"


Rachel memandang Diki lagi dengan air mata yang hampir tumpah. Rachel lalu menjawab dengan suara yang lirih. "Mereka ingin membunuhku."


Rachel bingung bagaimana menjelaskan, lalu dia mulai memikirkan sesuatu.


Rachel menunjukkan kalung yang di pakainya dan berkata, "Aku punya kalung ini, jika aku memberikan kalung ini padamu, apakah nanti kamu akan meninggalkanku jika kamu melihat sesuatu yang tak seharusnya kamu lihat?"


Diki masih terdiam, dia mencoba mencerna kata-katanya. Dia masih bingung.

Lalu Diki mulai bertanya dengan ragu-ragu. "Apakah jika kamu memberikan kalung ini padaku, aku bisa melihat hantu?"


Rachel diam sejenak, setelah itu menjawab, "Aku tak tahu, hanya saja kamu mungkin akan ketakutan dan meninggalkanku."


"Jika aku tak bisa melihat hantu, lalu untuk apa kamu memberikan kalung ini padaku?" tanya Diki yang mulai kesal sebab tak bisa menemukan jawaban yang pasti.


Dengan tenang Rachel pun menjawab, "Agar kamu percaya bahwa mereka ada."


Diki langsung terdiam, entah kenapa dia mulai ragu, seolah hatinya berkata untuk menghentikan niatnya.


Rasa ketakutan mulai menjalar keseluruh tubuhnya.


Namun, rasa penasarannya begitu kuat, sehingga dia ingin sekali membuktikan kebenaran ucapan Rachel.


Diki mulai mengangguk. "Baiklah."


Rachel menatap lagi kalungnya, dia juga ragu dengan keputusannya. Akan tetapi hanya ini cara agar dia bisa mendapatkan seorang teman.


Dengan sedih dia meminta, "Diki, bisakah kamu tidak meninggalkanku?"


Tiba-tiba Rachel mulai berlinang air mata, lalu bertanya lagi untuk menyakinkan dirinya. "Kita teman kan? Nanti jika kamu melihat aku kesakitan, kamu bisa kembalikan kalungku."


"Tentu kita teman," jawab Diki tanpa berpikir.


Diki sudah tak bisa bersabar, apalagi melihat Rachel yang tiba-tiba menangis jadi membuatnya malah ingin sekali menghindarinya.


Rachel diam lagi, dia juga lelah dengan hidupnya yang sekarang.


Dia tak sanggup melihat ibunya yang hari-hari menangis hanya untuknya.


Entah kelahirannya adalah sebuah anugrah atau sebuah kutukan. Dia merasa menyesal hidup di dunia yang hanya bisa membuat Ibu yang di sayanginya menangis.


Dia pun mulai bersemangat untuk menyerahkan kalung itu pada diki.


Rachel menghela nafas dan memejamkan matanya. Lalu dia mulai melepaskan kalungnya dan memberikannya pada Diki.


Saat kalung itu sudah berpindah tangan, dalam sekejab saja tubuh Rachel yang tadinya masih dalam posisi duduk langsung tertarik cepat kebelakang dan menabrak tembok lalu terjatuh.


Darah keluar dari sudut mulutnya. Rachel berusaha ingin berdiri tapi tak sanggup.


Lalu tiba-tiba badan Rachel seperti kaku, dan tertampar berulang-ulang sampai kedua pipinya mulai memerah.


Darah juga keluar dari hidungnya, semuanya penuh dengan darah termasuk bekas cakaran di tangan dan kaki Rachel yang tiba-tiba muncul dan membekas di kulitnya.


Diki kaget, diam, tubuhnya membeku tanpa bisa bergerak.


Entah apa yang membuatnya seperti itu, tak ada wujud yang bisa dilihatnya.


Tak nampak apa-apa, yang dia tahu sekarang adalah, Rachel sedang terluka.


Dia ingin membantu Rachel tapi takut, akhirnya Diki mundur selangkah.


Rachel yang sudah terlihat tak berdaya ambruk seketika itu juga.


Sesosok tubuh yang masih mungil dan rapuh, harus menerima hantaman berkali-kali yang akan berakibat melumpuhnya otot dan syarafnya.


Tenggorokan Diki seakan tercekat dan bergumam dengan terbata-bata. "Ra ... Rachel"


Rachel kecil yang baru saja ambruk tak sampai semenit tubuhnya tiba-tiba melayang.


Diki melihat penampakan mengejutkan di depan dengan mata membulat. Dia masih diam di tempat.


Anak umur 7 tahun, apa yang mereka tahu?


Apa yang mereka bisa perbuat?


Tubuh Rachel yang tadinya melayang di udara tiba-tiba dihempaskan secara kasar ke bawah hingga berbunyi 'BRUK'.


Seakan bisa mendengar patahan tulang, Diki mulai menangis tanpa sadar.


Ibu perawat yang baru datang sangat terkejut melihat apa yang terjadi di ruangannya.


Sang perawat ingin menolong dan segera berlari menghampiri, tapi sayangnya tubuh rachel yang hampir tak bernyawa diterbangkan lagi ke atas.


Perawat langsung menatap Diki dan menyuruhnya keluar.


"Keluar, Diki! Cari bantuan!" teriaknya.


Diki yang masih terkejut dan menangis, berusaha membalikkan badannya dan keluar berlari sambil berteriak minta tolong.


"Tolong! Tolong!"


Seisi sekolahan yang mendengar langsung keluar menghampiri.


"Ada apa?" tanya kepala sekolah.


Dengan suara serak dan terbata-bata Diki menjawab, "Ruang UKS!"


Semuanya saling pandang.


Mereka langsung bergegas menghampiri ruang yang dimaksud untuk mengetahui apa yang terjadi.


Sesampainya disana, sang perawat memeluk tubuh Rachel yang sudah pingsan dengan darah yang merata di mana-mana tempat.


Mereka histeris dan berteriak.


Diki tersadar saat memegang sesuatu.


Dipandanginya kalung Rachel yang dipegang sambil menangis sesegukan.


Ini semua salahnya.


Dia lupa tentang ucapan Rachel. Diki merasa sangat bersalah.


Diki memejamkan mata dan memeluk erat kalung milik Rachel.


Dia bergumam lirih, "Maaf."