“Aish ya ampun, kesiangan lagi deh.” Embun mengumpat disela nafasnya yang terengah.
Embun tahu dia sudah terlambat masuk sekolah. Sayangnya, gadis itu cukup malas untuk berlari. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi andai saja dia mau berangkat ke sekolah lebih pagi sedikit lagi.
Tapi namanya juga Embun. Jarak dari rumahnya ke sekolah itu biasanya ditempuh dalam waktu 30 menit jika naik angkot. Embun masuk jam 7.15, dan dia baru naik angkot sekitar jam 7 kurang beberapa menit. Otomatis akan terlambat, kecuali angkot yang dia tumpangi memacu kendaraannya ugal-ugalan.
Turun dari angkot, Embun masih harus berjalan kaki menuju gerbang sekolah yang jaraknya sekitar tiga ratus meter. Bisa dibayangkan, berapa lama waktu yang harus Embun persiapkan kalau ingin masuk tepat waktu.
Kedua orangtuanya sudah sangat bosan menemui guru BP karena tingkah Embun yang hampir tiap hari terlambat. Padahal, Embun dan kedua adiknya sudah bangun sejak subuh lalu disuruh bersiap untuk sekolah. Dua adik Embun yang sekolahnya lebih jauh dan harus pindah angkot dua kali aja nggak pernah terlambat.
Selama kelas X, orangtua Embun sudah delapan kali dipanggil ke sekolah. Semuanya karena alasan yang sama: terlambat. Satu-satunya yang masih bisa menolong Embun untuk tidak dikeluarkan dari sekolah itu adalah Embun dikenal sangat aktif dalam organisasi. Embun sudah terpilih sebagai wakil sekretaris OSIS ketika dua baru 3 bulan duduk di kelas X. Dia juga sudah beberapa kali memenangkan lomba pidato dan lomba baca puisi mewakili sekolahnya.
Nilai akademik Embun juga tergolong cukup bagus. Dia selalu masuk lima besar di kelasnya. Wali kelas Embun saat kelas X hanya bisa mengusap dada dengan kelakuan gadis ajaib ini.
Sekarang Embun sudah kelas XI. Baru masuk minggu kedua dan dia sudah terlambat lima kali. Untungnya, selama ini Embu selalu diloloskan untuk masuk ke dalam gedung sekolah oleh si Babeh. Panggilan keren untuk satpam di sekolah mereka. Lelaki paruh baya itu sangat mengenal Embun. Selain baik dan aktif di sekolah, Embun juga kalau terlambat selalu sendirian. Nggak pernah bawa teman apalagi pasukan. Jadi ketika suasana sepi, Babeh bisa membuka gerbang dengan leluasa dan Embun pun masuk tanpa banyak pertanyaan.
Bukan itu saja, setiap seminggu sekali Embun selalu memberikan upeti berupa satu boks rokok kesukaan si Babeh. Tidak ada makan siang gratis, itu slogannya Babeh. Sama-sama diuntungkan sih.
“Hhhhhh... Kali ini gue beruntung. Terlambat tapi bisa bareng sama elo.” Sebuah suara terdengar dari samping kanan Embun. Tampak Jeno sedang menjejeri langkahnya yang terburu-buru.
“Tumben lo kesiangan?” Embun bertanya heran. Meski seluruh sekolah tahu kalau Jeno ini si biang kerok, tapi seingat Embun, Jeno nggak pernah terlambat.
“Wah lo perhatian juga ya sama gue. Sampe tau kalau gue gak pernah terlambat.” Jeno nyengir menggoda Embun.
“Nggak usah ge ger gitu. Gue cuma basa basi.” Embun mengerling ketus. Matanya seolah siap menerkan Jeno.
“Ya ampun, lo jadi cewek galak banget ya. Kita baru seminggu sekelas loh.” Jeno mengingatkan.
Dan itu yang Embun nggak suka. Hari pertama dia masuk kelas XI.3 dan tahu ada Jeno di sana, Embun langsung menghadap Bu Sirait sebagai wali kelas. Embun minta pindah kelas. Tentu saja permintaannya ditolak mentah-mentah. Embun tidak bisa memberikan alasan yang tepat kenapa harus pindah. Meski dongkol, Embun tidak mungkin mengatakan dia pindah karena ada Jeno di kelas itu. Bisa panjang urusannya.
“Lo jangan bareng gue deh. Ntar masalah buat gue.” Embun makin mempercepat langkahnya. Kini setengah berlari untuk menjauh dari Beno.
Walaupun Babeh baik mau membukakan pintu gerbang untuk Embun, bakalan lain cerita kalau dia bersama yang lain. Apalagi sama Jeno.
“Nanti yang lain sama kayak kamu. Minta Babeh bukain pintu gerbang kalau mereka terlambat.” Itu alasan Babeh kenapa hanya mau membukakan gerbang sekolah kalau Embun sendirian. Kalau terlambat rame-rame, ya Embun juga harus terima konsekuensi ikut dihukum.
“Ogah. Gue malah sengaja mepet sama elo biar bisa masuk. Elo kan sakti. Terlambat hampir tiap hari tapi bisa masuk terus.”
Bukan cuma Jeno yang tahu rahasia itu. Lebih dari setengah isi sekolah juga tahu kalau terlambat, lebih baik menunggu Embun supaya bisa tetap masuk ke dalam sekolah walaupun nantinya mendapatkan hukuman.
“Lo jalan di depan gue deh. Biar kita nggak kena hukuman. Kalau lo bareng sama guet, yang ada juga malah kita berdua dihukum.” Setengah hati Embun mempersilakan Jeno jalan di depannya. Cara ini masih lebih baik daripada mereka datang bersama.
“Wah gila, gue nggak nyangka banget lo bisa sebaik hati ini. Oke, gue duluan ya.” Jeno langsung berlari mendahului Embun. Gerbang sekolah sudah di depan mata mereka.
Benar saja, Jeno bisa lolos dari Babeh tanpa banyak pertanyaan. Awalnya Babeh menatap tajam ke arah Beno, namun tatapan itu melembut ketika Babeh melihat ada Embun yang berjalan dengan buru-buru di belakang Jeno.
***