
“Rian stop, ca..capek! Aku nyerah.”
Anak laki-laki yang sedang berlari di depanku tidak berhenti, dia tidak mendengarkanku.
“Riannn!.”
Akhirnya dia mendengarku, langkah kakinya terhenti, badannya berbalik mengahadapku, kemudian tertawa dengan keras.
“Berarti aku yang menang! Yess! Huu.. cupu banget si Dir.”Ejeknya sembari mengangkat kepalan kedua tangan tanda kemenangan.
Aku terengah-engah, rasanya tak sanggup lagi untuk melanjutkan permainan. Tubuhku secara spontan tidur terlantang di atas rumput hijau. Aku butuh oksigen lebih banyak, hidungku seperti tidak sanggup melakukannya, pengambilan nafas aku lakukan melalui mulut. Aku tidak peduli dengan sorak gembira dari anak laki-laki di depanku yang terus saja merayakan kemenangannya. Merebahkan diri sambil merasakan angin yang sedang bertiup, membuat kulitku yang diselimuti keringat menjadi dingin.
Permainan yang sedang aku mainkan dengan sahabatku bernama Rian, adalah polisi-polisian. Aku polisinya dan dia pencurinya. Dia berlari dengan sangat cepat, dan tentu saja aku kalah. Jika soal kecepatan berlari, aku bagaikan kucing sementara dia bagaikan cheeta.
Kami terbiasa bermain bersama, dan setiap permainan yang kami lakukan selalu membutuhkan energi yang sangat banyak. Permainan favoritku adalah petualangan, menjelajah lebih jauh, melihat pemandangan baru, kemudian mengeklaimnya menjadi milik kami. Kami menyebut tempat yang telah kami temui dengan kata Paikka. Beberapa tempat yang sudah kami temukan diantaranya ada Paikka 1 yaitu sekitar pohon angsana yang merupakan tempat kami bermain saat ini, Paikka 2 yaitu kebun teh, dah di seberangnya terdapat Paikka 3 yaitu sungai yang dangkal dimana banyak ikan kecil bersembunyi.
“Dir, sini, katanya mau cerita.” Ucap Rian menghancurkan ketenanganku.
Benar! Aku melupakan hal ini, hal yang sangat penting untuk dibicarakan dengan sahabatku. Aku mengumpulkan tenaga untuk berdiri, kemudian ku tepuk tepuk pakaian belakangku yang kuyakini banyak debu yang menempel. Kulangkahkan kakiku mendekati Rian, mataku sibuk mencari tempat ternyaman untukku bercerita. Batu besar berbentuk datar di bawah kanopi pohon angsana menjadi targetku. Sementara Rian memilih memanjat pohon angsana hingga cabang pertama. Huuh, dia pasti menjahiliku dengan melempar beberapa batang kering dan daun dari atas situ.
“Jadi besok dan besoknya lagi, aku mau pergi Yan.” Ucapku sesekali melihat ke arah Rian sembari mengumpulkan daun kering menjadi satu tumpuk.
“Itu namanya lusa Dir, kamu harus belajar kosakata baru.”Oceh Rian dengan tangannya yang sibuk mengumpulkan daun berwarna kuning dan mengepalnya menjadi bentuk bola.
Dan benar, dia melemparkan kumpulan daun kering ke arahku. Belum sempat menyentuhku, kumpulan daun kering tersebut sudah berpencar terkena tekanan angin, kini aku bagaikan kejuhanan dedaunan kering. Sungguh dirinya sangat usil.
“Ihhh Rian! bajuku kotor tauk.” Gerutuku sambil berusaha menghalangi dedaunan yang jatuh mengenai tubuhku.
“Itu mah kotor karna kamu tiduran di tanah, bukan karna ini.”Protesnya.
“Aku mau naik pesawat terbang jauh, kata papa mau ke Jogja.” Ucapku
“Liburankah? Berapa hari?” tanyanya dengan tangannya yang kini sibuk menepuki nyamuk yang mendarat di kulitnya.
“Kata papa akan lama dan mungkin balik ke sini tahun depan lagi.” Ucapku dengan wajah menunduk, aku sedih sekali sekarang membayangkan berpisah dengan Rian. Tidak bermain polisi-polisian lagi dengannya dan tidak bisa berpetualangan lagi menemukan Paikka baru.
“Kamu pindahh?” pekiknya terkejut.
Aku terhentak kaget dengan suara keras dari Rian. Aku pandang wajahnya, ternyata dia telah memandangiku dengan muka bingungnya.
“Iya. Maap Yan” Jawabku lirih dengan pandanganku yang kini ke arah bawah, memandangi tumpukan daun kering yang telah aku kumpulkan. Seperti ada batu besar di kerongkonganku yang berusaha aku tahan, sungguh menahan ini sangat sakit.
“Duk…”
Ternyata Rian telah turun dari cabang pertama, mendarat dengan kedua kaki secara sempurna. Dia berjalan secara pelan mendekatiku, kemudian duduk bersila didepanku.
“Oke gapapa Dir, kamu pasti kembali ke sini kan? Itu kapan?” Tanyanya dengan tangan yang memainkan tumpukan daun di depanku.
“Kata papa, saat liburan kenaikan kelas kita kembali, papa ada perlu dengan pekerjaannya.” Jawabku. Sebenarnya, saat papa menjawab pertanyaanku tentang kapan kembali lagi, papa berbicara mengenai perusahaannya, penelitian, dan kebun teh, dan aku sangat tidak paham maksudnya.
“Ayo kita bermain lagi saat liburan kenaikan kelas.” Ajak Rian. Dirinya kini berdiri dihadapanku.
Aku mengangguk tanda setuju.
“Berarti saat kamu kembali, giliran aku yang jadi polisi dan kamu jadi pencurinya. Lalu kita juga harus menemukan Paikka baru.” Seru Rian bersemangat.
Lagi-lagi aku hanya mampu menjawab dengan anggukan, karena apabila aku bersuara, suara serak akibat menahan batu di tenggorokan yang akan terdengar. Aku tidak mau menangis dihadapannya.
“Jangan lupa, disini pertemuan kita ya, dijam-jam biasa kita bermain.”Ucapnya sambil menunjuk tempat yang sedang ia pijak.
“Kenapa kamu tidak ke rumahku saja?” tanyaku karna aku malas menunggunya sendirian di sini.
“Tidak mau ah, mamamu galak. Lagian rumah kamu jauh Dir.” Ucap Rian mempertahankan kemauannya.
Memang mamaku sedikit tegas apabila ada anak tidak Ia kenal datang ke rumah. Namun tegas bukan berarti pemarah bukan? Pertemuan pertamaku dengan Rian terjadi di warung kecil di bawah kebun teh, aku membeli permen coklat kesukaanku, sementara dia membeli gula, mungkin dia disuruh mamanya untuk membeli itu. Hari selanjutnya, aku yang hanya bermain seorang diri di kebun teh, secara tidak sengaja bertemu dengan Rian kembali. Ia mengajakku untuk bermain bersama, dan aku mengiyakannya. Sejak saat itu, hampir setiap hari kami selalu bermain bersama.
“Oke, liburan semester depan kita main lagi di sini, aku akan ajak si Moly.” Jawabku dengan suara yang sudah mulai normal.
“Kalau begitu aku akan bawa biskuit kucing.” Ucapnya.
Aku terkekeh, seorang anak kecil laki-laki yang bahkan tidak memiliki hewan peliharaan berusaha membawa biskuit kucing demi si Moly? Moly pasti akan sangat senang.
“Janji yaa, nanti Moly kecewa kalau kamu engga jadi bawa.”
“Iya janji.” Ucapnya sembari mengulurkan jari kelingking dihadapanku.
Kulingkarkan jari kelingkingku, sebagai tanda bahwa kita sudah saling berjanji. Kami saling tersenyum satu sama lain.
Karena hari yang sudah sore dan nyamuk sudah mulai bermunculan mengigit kulit Rian. Kami sepakat untuk pulang kerumah masing-masing, aku ke arah barat sementara Rian sebaliknya. Sebelumnya, kami sepakat untuk bertemu lagi besok sebelum keberangkatanku ke Jogja.
“Jangan lupa besok Dir. Da..dah..” Ucap Rian dengan telapak tangan yang menjulur ke atas.
“Iya.. Da..dah.” ucapku membalas perpisahan Rian.
Keesokan hari pun tiba. Namun mama kembali kambuh, mama demam, seluruh badannya panas. Tentu saja aku tidak pergi bermain karena membantu papah merawat mama. Mamaku adalah nomer satu bagiku. Aku menangis, takut hal buruk terjadi kepada mama.
“Dir, mama gapapa. Jangan sedih. Besok kan mama sudah dapat pengobatan di rumah sakit. Kemasi mainan yang mau kamu bawa ya, mama belum bisa bantu.” Ucap mama berbaring sambil mengusap rambutku.
Aku mengangguk. Mulai kuambil tas gendongku, kemudian kumasukkan mainanku ke dalam tas.
Hari keberangkatan kami meninggalkan rumah tercinta akhirnya tiba. Koper-koper sudah masuk ke dalam bagasi taxi. Aku menggendong tas ranselku yang penuh akan mainan. Kupandangi rumah tingkat dengan balkon yang terbuat dari pohon bambu dan didepannya sudah terdapat tulisan rumah ini dijual. Rumah yang sederhana dan penuh cerita. Selama perjalanan, kami melewati kebun teh yang sangat luas. Aku langsung terpikirkan tentang Rian. “Maaf, aku belum mengucapkan kata perpisahan. Semoga saat liburan, kita bisa bertemu.” Ucapku dalam hati.
Kakiku melangkah keluar dari bandara. Adisutjipto Airport, begitu sekiranya yang tertulis. Panas, itulah yang pertama kali aku rasakan. Kenapa sangat berbeda dengan kampung halamanku?
Perjalanan kami dilakukan menggunakan mobil berwarna hitam. Sepanjang jalan aku hanya melihat jalanan yang sangat penuh dan sesak dengan manusia. Selain itu, terjebak di lampu merah sangat sering terjadi pada kami. Berjam-jam kami habiskan waktu di dalam mobil. Mengapa kota ini sangat ramai? Pikirku dalam hati.
Tibalah kami dirumah baru kami. Rumah dengan gaya minimalis dan cat berwarna abu-abu, memang desainnya lebih modern dari rumah kami sebelumnya, tapi rumah ini juga terlihat lebih kecil.
Papa segera menurunkan koper dan barang-barang dari bagasi ke dalam rumah. Sedangkan aku dan mama diminta untuk bersiap-siap karna kami perlu melanjutkan perjalanan ke rumah sakit untuk perawatan mama.
Keseharianku berjalan sebagaimana semestinya. Merawat mama, mulai memasuki sekolah baru, dan mencoba beradaptasi di lingkungan yang baru. Saat melewati toko mainan, aku teringat dengan sahabat di kampung halamanku. Kutabung beberapa uang sakuku untuk memberikannya oleh-oleh dari sini.
Hingga tiba waktu kenaikan kelas. Liburanpun dimulai, hari yang aku tunggu-tunggu selama ini akhirnya datang. Papa bilang kepadaku bahwa kita akan 3 hari di sana. Tentu saja aku senang. Rasa tak sabar bertemu dengan Rian menggebu gebu di dalam hatiku.
Dikarenakan mama yang sedang dalam masa pemulihan, hanya aku dan papa yang kembali ke Sumatra Utara. Mama ditemani oleh saudaraku selama aku dan papa pergi.
Tempat penginapan kami bukanlah di rumah kami yang lama, melainkan di penginapan sewaan beberapa hari. Ternyata rumah lama kami telah laku terjual. Selain itu, urusan papa hanya dengan perusahaannya dan tidak membutuhkan waktu yang lama.
Di hari pertama sampai, aku langsung meminta papa untuk ke kebun teh belakang rumah kami dahulu. Dan ternyata kebun teh tersebut milik perusahaan tempat papaku bekerja. Jadi selama ini ternyata Paikka 3 yang menjadi tempat bermainku dengan Rian merupakan milik orang lain.
“Ke mana nak?” tanya papa yang terheran melihatku langsung berlari menjauh darinya.
“Ketemu temen pa, di bawah pohon angsana itu.” Ucapku sambil menunjuk sebuah pohon tinggi di atas sana.
Papa mengangguk kemudian memasuki pintu depan perusahaannya dengan membawa laptop dan beberapa berkas yang aku sendiri tidak tahu apa itu.
Kulangkahkan kakiku dengan melompat-lompat kecil. Aku tak sabar melihat bagaimana raut wajah seseorang yang sedang menunggu di sana. Dia pasti sedang memanjat pohon angsana dan mengumpulkan daun kering untuk dilemparkan kepadaku.
Pangkal pohon angsana sudah terlihat.
Kosong…
Ya, seperti itulah kondisi tempat janjian kita, Rian tak tampak hadir. Padahal aku sudah menggendong tas kecil berisikan makanan, gelang berwarna coklat yang sudah ku beli dengan uang tabunganku, dan tentu saja surat perpisahan yang akan kuberikan di hari terakhir pertemuan kita.
Kuletakkan tasku di atas batu datar. Sambil menunggu Rian datang, kurasa mengumpulkan dedaunan tidaklah buruk. Daun kering yang sudah terkumpul akan ku gunakan untuk dijadikan bola dan kulemparkan tepat dimukanya saat dia datang.
“Dira…”
Papaku datang sambil meneriakiku.
Aku terkejut, kenapa papa ke atas sini?
“Ayo kita pulang nak, mamamu butuh kita.” Ucap papa dengan tangannya yang mengajakku pulang.
“Bentar pa.” kuletakkan gelang coklat dan surat di atas batu datar. Sementara papaku ternyata sudah berjalan jauh di depanku.
Begitulah perpisahanku kedua kalinya dengan Rian. Aku tidak bertemu sama sekali dengannya. Tahun-tahun berikutnya, papa sudah tidak pernah mengajakku kembali lagi. Kami menetap di Jogja.