Primadona Undercover

Primadona Undercover

AliciaPerth

0

Primadona Undercover 


By Alicia Perth.


Adult Romance - Mystery - Action.



••• 


Kenapa kita terus melihat masa lalu, padahal kita sudah tidak tinggal di dalamnya?


•••


SUARA langkah kaki yang saling bersahut-sahutan, terdengar di kantor PSH Company. Setiap hari, kantor pusat berita sepuluh lantai dengan fasilitas super lengkap itu memang identik dengan segala kesibukannya. Sudah sepuluh tahun bangunan itu berdiri, dan sudah sepuluh tahun juga PSH Company mengembangkan bisnisnya di ranah media Indonesia. 


"Jadi Kapolres sendiri yang akan memimpin press conference untuk kasus pencucian uang skincare ini?" 


Felix mengedarkan pandangannya ke sekeliling. CEO PSH Company itu mengamati satu persatu bawahannya yang kini duduk dalam meja rapat perusahaan, sebelum akhirnya pandangannya berhenti di Aninda, sang sekertaris pribadi. 


"Siapa yang akan terjun ke lapangan?" 


Aninda mengerjap. Ia sempat tidak fokus, sehingga dengan gelagapan, wanita itu menjawab, "Ha-hari ini perusahaan menugaskan Alea, Pak." 


Felix mengerutkan dahi. Ia terlihat tidak senang dengan jawaban Aninda. Sehingga pada detik setelahnya, pria berwajah kebulean itu mengalihkan pandangannya kepada Niko, Pimpinan Redaksi yang duduk di seberangnya. Ia menunjuk Niko dengan pulpen di tangannya. "Tolong ganti Alea sama reporter pria. Kalau bisa, cari yang senior. Paham?" 


Niko mengangguk patuh. "Baik, Pak." 


"Oke, rapat selesai." 


Felix langsung beranjak dari kursi, berjalan meninggalkan ruang rapat dengan Aninda yang terburu-buru mengekor. Aninda berpikir semuanya baik-baik saja, sampai kemudian pria yang jauh lebih tinggi darinya itu berbalik tanpa aba-aba dan membuat Aninda menabrak dada bidang miliknya. 


"Aduh!" 


"Kamu ini gimana sih? Jalan aja nggak fokus," semprot Felix. Pria itu langsung menepuk-nepuk kemejanya, seperti menghilangkan debu yang menempel di sana, sebelum kemudian menatap Aninda dengan tatapannya yang dingin. "Saya lihat dari kemarin kamu ini banyak bengongnya, Nin." 


"M-maaf, Pak," cicit Aninda, yang langsung menunduk gugup. 


"Tolong jadwalkan ulang meeting saya sama staff Dinas Pariwisata hari ini. Ganti ke hari lain ... Ah, juga, saya nggak mau kejadian seperti hari ini terulang lagi. Untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan petinggi, saya lebih suka pakai reporter lapangan pria. Bukannya saya udah bilang berkali-kali ya?" 


Cecaran Felix yang seolah tanpa jeda, membuat Aninda semakin gelagapan. Ia hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mencatat setiap kata yang keluar dari mulut atasannya itu dalam tablet. 


"Kalau mereka udah live, segera kirim laporannya ke saya." 


"B-baik, Pak." 


Felix memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Sambil mengangkat dagu, pria itu menambahkan, "Kamu bisa kembali ke mejamu. Saya mau langsung pergi soalnya. Jangan hubungi saya kalau bukan untuk urusan darurat. Saya lagi nggak mau diganggu hari ini. Paham?" 


Lagi-lagi Aninda hanya bisa mengangguk patuh tanpa perlawanan. 


Bahkan sampai tubuh Felix tak lagi terlihat, Aninda masih bisa merasakan aura tidak nyaman yang dialirkan oleh pria itu. Ia pun kembali ke lantai dua, tapi tidak segera masuk ke ruangannya melainkan melipir sejenak ke meja rekan-rekannya terlebih dahulu. 


"Kenapa tuh muka? Kusut bener kaya layangan putus," tutur Maria, si Paling tahu soal keuangan alias Manajer keuangan perusahaaan. "Abis diomelin Pak Bos ya?" 


Aninda menarik kursi kosong milik Stefani ke depan Maria, kebetulan pemiliknya sedang cuti melahirkan. Sembari menopang dagu dengan kedua tangannya, Aninda menghela napas panjang. 


"Buset tuh napas, kedengeran sampe sini!" Putra menyahut. Pria yang duduk di samping meja Maria itu adalah seorang Manajer Program. "Udah kaya angin puting beliung tau kagak?!" 


Maria ikut terkekeh. "Cerita ceritalah sama kita. Kenapa lagi tuh Pak Felix?" 


"Nggak apa-apa, Mbak. Biasalah, ada sedikit miskom," timpal Aninda menutupi. Ia memaksakan senyumnya, lalu melihat kedua rekannya itu bergantian. "Kalo gitu saya masuk ke dalem dulu ya, Mbak." 


Maria yang tidak ingin mencari tahu lebih jauh hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Aninda kembali ke ruangannya di bagian dalam, untuk menyelesaikan semua perintah dari Felix. 


Namun getaran di ponsel membuat Aninda terkesiap. Ia memeriksa benda yang baru saja diambil dari saku celananya dan membaca isi pesan yang masuk. Mata Aninda membelalak seketika dan ponselnya jatuh menabrak lantai yang dingin di bawah sepatunya. 


•••


"Happy birthday, happy birthday, happy birthday ... to ... you." 


Felix meniup lilin di atas kue blackforest berhiaskan krim kue berwarna merah jambu. Sambil tersenyum kecil, pria itu lalu meletakkan kue yang tak seberapa besar ke atas gundukan tanah di hadapannya. 


"Ini hari ulang tahun kamu. Biasanya kita makan kue ini bareng-bareng, tapi tahun ini ... Anyway, kamu bisa loh minta hadiah apa aja ke aku lewat mimpi." Felix mengusap lembut papan nisan di depannya. Nama Sarah Atmajaya terukir samar di sana. "Maaf karena aku masih selalu nangisin kamu setiap malem. Ini terlalu berat buatku, Sar." 


Tes! 


Tanpa terasa Felix menjatuhkan air mata di pipinya. Ia buru-buru bergerak, mengelap sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh siapapun selain dirinya dan seseorang di bawah batu nisan tersebut. 


"Aku harus pergi sekarang, tapi besok aku pasti ke sini lagi." 


Felix mencium papan nisan milik Sarah sebagai tanda berpamitan. Sembari membawa kue yang dibelinya dalam perjalanan, pria itupun meninggalkan pemakaman. Ia tidak berniat membawa kue itu pulang, sehingga ketika anak-anak yang biasa membersihkan area makam terlihat, Felix segera membagikan kuenya tanpa berpikir panjang. 


Kini pria itu duduk termenung di dalam mobil, menatap pagar besar yang terbuka satu sisinya dengan tatapan gamang. Sudah dua tahun Felix mengunjungi pemakaman ini. Sudah dua tahun Felix berjuang menahan keinginannya untuk menyusul Sarah di pemakaman ini. Mungkin terasa sangat lama, tapi bagi Felix yang menyaksikan sendiri kematian sang tunangan, dua tahun bukanlah apa-apa. 


Cintanya masih sama, rindunya masih sama. Semua perasaannya untuk Sarah masih sama seperti sebelumnya. 


Semakin hari, hanya semakin menyakitkan baginya. 


Mesin mobil akhirnya menyala. Felix segera memutar setir, meninggalkan area pemakaman yang sudah ditempati Sarah selama ini. Namun penyesalannya akan kejadian hari itu, tidak pernah berubah. 


Setiap kali ia teringat akan insiden mengerikan itu, diam-diam Felix selalu membatin, seandainya saja hari itu Sarah tidak menyentuh tubuhnya, maka Sarah tidak akan mati meninggalkannya seperti ini. 


Seandainya saja... 


Hanya seandainya saja...