Prelude

Prelude

RennaLotary

5

Suasana Labdaff hari ini begitu bersahabat. Langit cerah tak berawan. Mentari menyinari gedung-gedung kuno berikut bebungaan yang tumbuh di sekitarnya. Turis-turis dari berbagai belahan dunia larut dalam keceriaan kota. Paling tidak, sebagian besarnya.

Seorang turis asal Ulisia bernama Rosie Zoule sama sekali tak larut dalam keceriaan itu.

Rosie yang tahun ini akan berusia lima belas sama sekali tak menampakkan wajah ceria. Ekspresi gadis berambut hitam bergelombang sepanjang bahu itu kaku seolah wajahnya terbuat dari batu yang dipahat. Rosie tak sendirian. Ia berjalan bersama sang ibu, seorang wanita energik berusia empat puluhan. Diame Ruphire-Zoule tak henti-henti melihat sekitar dengan senyum merekah. Tubuh rampingnya yang berbalut blazer dan celana taupe bergerak ke sana kemari. Sang ibu juga terus-terusan memanggil Rosie.

"Rosie, lihat itu!"

"Rosie, kau harus coba permen ini. Ini permen favorit Ma waktu masih kecil dulu. Tak kusangka mereka masih memproduksinya ...."

"Pakaian yang manis sekali! Ma rasa ini akan cocok untukmu, Sayang."

Rosie hanya mengangguk, menuruti ajakan sang ibu setiap kali beliau menyuruhnya mencoba ini dan itu, tetapi hampir tak bicara sepatah kata pun. Ia berusaha menjadi turis yang menyenangkan dengan tersenyum menikmati pemandangan dan berfoto di depan bangunan bersejarah, tetapi tak bisa. Peristiwa nahas sebulan lalu telah merenggut kebahagiaannya. Rosie bahkan ragu apakah dia bisa bahagia lagi, sebab liburan ke Brivelon saja—tanah air sang ibu yang selama ini hanya ada dalam angan-angannya—tak bisa menghapus ekspresi muram dari wajah lonjongnya. Kalau saja kejadian sial itu tak terjadi, liburan ini akan terasa berjuta-juta kali lebih menyenangkan ....

Hidupku sudah selesai, batin Rosie sementara ia mengamati anak-anak tertawa gembira mengerumuni Stroper, maskot kota Labdaff berwujud rakun. Rosie Zoule sudah tamat. Aku yang sekarang hanyalah cangkang kosong berwujud manusia. Aku sudah tidak bisa merasakan apa pun lagi.

Untuk kesekian kali, Diame memanggil Rosie lagi. Rosie menurut hanya untuk membuat sang ibu senang. Sebetulnya ia malas sekali mengiakan ajakan Diame. Namun, ia harus tahu diri karena kalau bukan karena ibunya, dia tidak akan pernah bisa menginjakkan kaki di Brivelon. Rosie juga tidak boleh lupa Diame adalah salah satu orang yang tetap berada di sampingnya sejak kejadian itu.

Sejak saat itu, semuanya pergi, batin Rosie. Tidak ada yang mau mengakuiku sebagai teman, kecuali satu-dua orang saja.

Rosie menghampiri Diame yang tersenyum cerah sambil menyerahkan sekotak mayo fries padanya. Mayo fries. Makanan berupa kentang goreng dan sosis bersaus mayonnaise favorit Rosie. Rosie hanya menerimanya sambil mengangguk singkat.

"Terima kasih, Ma." Rosie menyuap satu potong dan mengunyah dalam diam. Ia merasa pandangan Diame terus terarah kepadanya. Diabaikannya tatapan itu.

"Kau diam saja dari tadi."

Rosie terus mengunyah.

"Ma tidak mengajakmu ke sini untuk melihatmu sedih."

Rosie menelan mayo fries-nya.

"Kalau Ma jadi aku, Ma akan tahu membuat wajah cerah macam Stroper itu sulit luar biasa, terutama setelah ... ayolah, Ma. Ma tahu apa yang terjadi."

"Ma tahu, Ma mengerti apa yang—"

"Tidak, Ma tidak mengerti. Kalau mengerti Ma tidak akan bicara seperti ini."

Rosie menyuap potongan kedua. Diame hanya menghela napas.

"Kita ada di Brivelon, Sayang," kata Diame. "Negara yang ingin kau kunjungi selama ini. Kau ingat? Baru beberapa bulan lalu kau memohon-mohon agar dibawa ke tanah kelahiran Ma ini dan sekarang kita—"

"Itu tidak penting sekarang. Tidak ada lagi yang penting bagiku sekarang."

"Ma tidak menyalahkanmu atas semua yang telah terjadi."

"Begitu pun aku, tapi aku ... aku benci semuanya, Ma. Tidak ada yang penting lagi bagiku. Entah itu mayo fries, Brivelon, atau apa pun yang dulu kusuka dan kubela mati-matian. Semua sudah berakhir."

Rosie menyorongkan kotak mayo fries pada Diame.

"Ini, Ma. Aku sudah tidak nafsu makan lagi."

Diame mengambil kotak itu tanpa berkata apa-apa. Lama keduanya diam. Rosie pura-pura mengamati Stroper hanya untuk menghindari bercakap-cakap dengan sang ibu. Dia tidak ingin bicara soal ini. Otaknya akan selalu ingat tanpa ada orang lain yang mengingatkannya. Frase "TIDAK LULUS" pada surat hasil ujian kelulusannya; nama "Rosie Zoule" yang mengiringi frase itu; ketiadaan kabar dan pesan dari mantan teman-teman sekelas begitu berita ketidaklulusannya tersebar ....

"Kau tidak berusaha membiarkan dirimu bahagia."

Kening Rosie berkerut. "Maaf?"

"Kita ada di tengah kegembiraan ini, tapi kau bersikeras memasang wajah masam begitu. Bersikaplah seperti turis pada umumnya, Rosie. Demi Tuhan."

"Ma tidak perlu menyumpah seperti itu."

"Ma kesal dengan sikapmu!" Suara Nyonya Zoule meninggi. "Ma sudah berusaha membuatmu senang dan rela meluangkan waktu di sela-sela pekerjaan Ma yang menumpuk, tapi ...."

"Ma malah membawa anak Ma yang menyedihkan ini jalan-jalan," sambung Rosie dingin. "Jadi Ma menyesal, itu yang ingin Ma katakan?"

"Ma tidak bilang begitu, Ma hanya ingin kau berusaha sedikit saja!"

"Berusaha bagaimana, Ma?" Rosie ikut menaikkan suara. "Aku sudah berusaha membuat Ma senang dengan mengikuti setiap ajakan Ma walaupun sesungguhnya aku enggan sekali. Sudah kubilang Ma tidak mengerti perasaanku!"

"Kau berlebihan! Semuanya akan baik-baik saja!"

"Berlebihan?" ulang Rosie marah. "Aku seperti ini dan yang Ma pikirkan aku berlebihan? Ya, tentu saja aku berlebihan. Tentu saja aku memilih untuk tidak lulus sekolah menengah dan memilih agar semua orang meninggalkanku. Tentu saja aku memilih untuk bertindak berlebihan, ya, kan? Lalu semuanya akan baik-baik saja? Bagaimana caranya, Ma? Satu-satunya cara agar aku baik-baik saja adalah tidak perlu hidup lagi sehingga aku tak perlu merasakan ini semua!"

"Jaga bicaramu!" Suara Nyonya Zoule mengeras menjadi bentakan. "Kau bilang Ma tidak mengerti perasaanmu, tapi apakah kau memikirkan perasaan Ma? Apakah kau memikirkan bagaimana rasanya melihat putrimu satu-satunya bersikap seperti kau sekarang ini? Ma juga menderita! Ma menderita melihatmu begini!"

"Kalau begitu jangan melihatku," balas Rosie. "Jangan memedulikanku atau mengurus segala hal yang berhubungan denganku kalau aku hanya membuat Ma menderita. Kenapa Ma mengajakku kemari kalau aku hanya menjauhkan Ma dari pekerjaan Ma tercinta?"

"Karena aku lebih menyayangi putriku sendiri dibanding pekerjaanku! Bukankah sudah jelas?"

"Tidak jelas sama sekali," bantah Rosie. "Ma terbukti tidak mengerti keadaan putri Ma sendiri. Ma sama saja dengan orang-orang yang pernah mengaku sebagai temanku dulu. Kalian hanya bisa menghakimi tanpa berusaha memahami."

"Bagaimana kau bisa bilang begitu? Ma tidak pernah meninggalkanmu!"

"Tidak pernah? Ma sedang melakukannya sekarang! Ma mengungkit-ungkit pekerjaan Ma seolah mengorbankannya sama dengan mengorbankan hidup Ma sendiri. Kalau begitu Ma pulang saja dan kembali pada pekerjaan Ma yang berharga, karena aku hanya akan jadi penghalang antara Ma dan semua hal yang membuat Ma bahagia!"

"Rosie!"

Namun, Rosie tak mendengar kata-kata Diame lagi. Ia berbalik dan berlari sekencang mungkin, berusaha menciptakan jarak sejauh mungkin dengan ibunya. Rosie mendengar Diame berteriak memanggil, tetapi panggilan itu sama sekali tak ia gubris. Beberapa orang tertabrak dan ikut memanggilnya juga, tetapi Rosie terus berlari dan berlari ....

Aku sendirian, batinnya pedih. Tak ada yang mengerti diriku. Tak ada yang tahu persis apa yang kurasakan. Tadinya aku berharap Ma bisa mengerti. Namun, kini Ma meledak karena hal yang berada di luar kuasaku, karena hal yang aku sendiri pun tak mengerti bagaimana bisa terjadi ....

Masih Rosie ingat hari-hari sebelum surat laknat itu tiba. "Rosie saat itu" amat berbeda dengan "Rosie saat ini". "Rosie saat itu" bukanlah pecundang, pemurung, dan pesimis seperti "Rosie saat ini". "Rosie saat itu" menyandang gelar sebagai salah satu siswi terpintar satu angkatan; dikerumuni siswa-siswi lain yang mengagumi kecerdasannya; bahkan sudah dijanjikan masuk ke sekolah akhir paling prestisius di kota.

Kenyataannya aku tidak lulus dan semuanya hancur berantakan, begitu saja.

===bersambung===