Playing With Jealousy

Playing With Jealousy

claeria

4.9

Kalau biasanya Alisa memilih untuk menghabiskan waktu ekstra di pagi hari untuk memperpanjang waktu tidurnya barang sebentar saja, hari ini gadis itu terbangun lebih pagi dari biasanya. Tidak setiap hari ia akan dijemput berangkat kerja oleh pacarnya, sehingga ia memutuskan untuk menyisihkan waktu lebih untuk bersiap.

Mengenakan blus warna krem favoritnya serta rok selutut berwarna hitam, Alisa berputar di depan cerminnya. Rambut hitam sebahunya tergerai rapi, membingkai wajah mungilnya yang juga sudah dipoles make up tipis. Terakhir ia tinggal memulas bibirnya dengan lipbalm strawberry berwarna merah muda, membuat penampilannya pagi itu terlihat lebih segar dan feminin. Sempurna.

“Alisaaaa, masih lama?” terdengar suara dari balik pintu kamar diiringi bunyi langkah kaki yang perlahan semakin mendekat. Tidak lama kemudian, suara Mama terdengar persis dari balik pintu kamar. “Winter sudah datang tuh!”

“Iyaaaa, ini sudah mau selesai, Ma!” sahut Alisa sambil buru-buru menyambar botol parfumnya. Dengan cepat ia menyemprotkan parfum kesayangannya itu ke titik-titik nadinya, membuat kamarnya ikut dipenuhi wangi vanila yang manis.

“Kamu nggak sarapan, kan?” tanya Mama begitu Alisa muncul dari balik kamar sambil menenteng tas tangannya.

Mama sudah hapal, sudah dua tahun berlalu dan setiap kali sang pacar datang menjemput, putri sulungnya itu tidak pernah sarapan. Winter selalu menyempatkan diri membelikan Alisa makanan. Lumayan lah, Mama tidak perlu repot-repot menyiapkan. Ada untungnya juga Alisa punya pacar sekantor, bisa nebeng pulang pergi dan sering dibelikan makanan.

“Winter udah beliin aku sandwich.” Alisa mengambil segelas air putih di atas meja makan dan menandaskan isinya, tidak menyentuh nasi goreng di atas meja yang wanginya sebenarnya sangat menggoda.

“Aku pergi dulu, ya!”

Sepatu hak tinggi Alisa menimbulkan bunyi menghentak ketika pemiliknya berlari kecil keluar dari rumah, menuruni tangga teras, dan menghampiri mobil warna hitam yang sudah terparkir di depan rumah.

Sebenarnya jam masih menunjukkan waktu setengah tujuh, Alisa masih punya banyak waktu untuk berangkat ke kantor, tidak perlu terburu-buru. Namun, gadis itu selalu tidak pernah mau membuat orang lain menunggu. Atau dalam kasus Winter, Alisa hanya ingin bisa  bertemu dengan pria itu secepat mungkin.

“Santai aja, Sayang. Aku nggak bakal ninggalin kamu berangkat duluan,” Winter tertawa kecil melihat kekasihnya buru-buru masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku penumpang di sebelahnya.

“Kasihan kamunya kalau kelamaan nunggu,” jawab Alisa.

Tidak bisa menahan rasa gemasnya, Winter mengacak rambut Alisa sambil terkekeh, membuat gadis itu memekik dan merapikan kembali rambut yang sudah ia tata dengan rapi.

“Belum sarapan, kan?”

Tidak memedulikan Alisa yang mengomel perkara rambutnya yang kini berantakan, Winter mengulurkan tangan ke jok belakang. Sebuah paper bag ia taruh di pangkuan Alisa, membuat Alisa berhenti mengomel. Begitu Alisa membuka paper bag dengan logo coffee shop favoritnya, aroma roti yang baru saja dipanggang langsung menguar ke seluruh penjuru mobil.

Chicken mushroom buat kamu, roast beef buat aku,” jelas Winter.

Sebuah senyum lebar langsung terpulas di wajah Alisa. Dua tahun berpacaran membuat Winter sudah hapal betul menu favoritnya. Tidak hanya itu, si tampan berkacamata ini juga tipe pria yang mengingat detail kekasihnya dengan baik. Tidak hanya menu favorit, Winter ingat warna favorit, kebiasaan kecil, tanggal anniversary, tanggal ulang tahun, bahkan sampai jumlah ikan koi peliharaan Alisa di kolam rumahnya.

“Kok cuma dua, Win?” Alisa mengangkat wajahnya dari paper bag dengan dahi berkerut. “Emang seharusnya berapa?”

Winter ikut melongok ke dalam paper bag, memastikan jumlah pesanannya sudah sesuai. Seingat Winter ia sudah memesan dua sandwich, satu untuk Alisa dan satu untuk dirinya. Alisa juga tidak menitip lebih untuk dimakan siang nanti.

“Michelle nggak ikut dibeliin? Tumben.”

Mendengar pertanyaan Alisa, mulut Winter langsung membentuk huruf ‘o’. Pria itu mengangkat kedua bahunya santai. “Hari ini katanya dia nggak mau titip sarapan. Mau makan sama Marco aja.”

“Marco udah balik dari Jepang? Conference-nya udah selesai?”

Mata Winter langsung menyipit mendengar suara Alisa yang terdengar lebih bersemangat dari seharusnya. Gadis itu bahkan sampai menggeser posisi duduknya, kini tubuhnya menghadap ke arah Winter. “Sebentar. Ini kamu kenapa kelihatan senang banget Marco udah balik? Kangen Marco?”

“Bukan gitu. Kalau ada Marco, Michelle kan nggak bakal nempel-nempel kamu terus,” jawab Alisa dengan volume suara yang semakin mengecil.

“Alisa, aku kan udah bilang—”

“Iya, iya. Kamu sama Michelle cuma sahabatan sejak lama. Kalian nggak ada apa-apa, cuma terbiasa aja satu sama lain.”

“Nah itu tau,” ujar Winter sambil mengembuskan napas panjang.

Alisa sudah tidak ingat lagi ini kali keberapa mereka memiliki percakapan serupa. Yang ia tahu pasti, semua percakapan mereka tentang Michelle selalu berakhir dengan jawaban yang sama dari Winter, yaitu kami-cuma-sahabat-lama.

Tidak ada gunanya Alisa memperpanjang perdebatan, toh ujungnya ia hanya akan berakhir seperti kekasih yang posesif dan cemburuan. Memacari Winter berarti sama dengan menerima kehadiran Michelle sebagai sobat kentalnya. Well, they come in a package, cannot be separated.

“Kamu tau nggak, Sa, kamu lucu banget kalau lagi jealous nggak jelas begini,” Winter mencubit gemas pipi Alisa. Yang dicubit hanya bisa mengerucutkan bibir, membuat Winter malah terkekeh.

Ketika tawa Winter reda, cubitan di pipi Alisa melonggar, berganti menjadi sentuhan lembut nan hangat. Dengan sebelah tangan yang menangkup wajah Alisa, Winter mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu. Perlahan, jarak di antara keduanya terkikis. Mata Winter yang tadinya menatap mata Alisa kini bergerak turun ke arah bibir ranum gadisnya.

Tinggal sedikit lagi sebelum bibir keduanya bertemu, Winter memejamkan mata. Namun, bukan bibir lembut Alisa yang menyentuh bibirnya, melainkan sesuatu yang seperti... telapak tangan?

Winter membuka matanya dan benar saja, telapak tangan Alisa menghalangi kedua bibir mereka bertemu. “Winter, jangan. Ini masih di depan rumah aku....”

Well, kaca mobilnya tinted, nggak akan kelihatan dari luar,” bisik Winter terdengar setengah frustrasi. Tinggal sedikit lagi ia bisa mencicipi bibir lembut yang biasanya dioles lipbalm rasa strawberry itu.

“Tapi—”

Sebelum Alisa berhasil menyelesaikan argumennya, bibir Winter sudah lebih dahulu mendarat di bibirnya, membuat Alisa terpaksa menelan kata-katanya. Dalam hatinya, Alisa berdoa sekuat tenaga, semoga saja tidak ada anggota keluarganya atau lebih parahnya tetangga yang memergoki mereka.

***

Marco menyesap teh hangat di cangkirnya. Muffin dan omelet di piringnya belum ia sentuh sama sekali. Pria jangkung itu punya kebiasaan tidak akan makan duluan sebelum orang yang ia tunggu datang sehingga mereka bisa menikmati makanan bersama.

Jarum jam tangan di pergelangan kiri Marco menunjukkan pukul tujuh pagi. Seharusnya sebentar lagi orang yang ia tunggu-tunggu akan segera sampai.

Marco memandang ke arah sekeliling kafe, belum ada tanda-tanda kehidupan. Well, ini baru jam tujuh pagi. Hanya ada Marco, yang memang sengaja datang pagi untuk sarapan, menempati sofa di sudut ruangan dan dua orang pria paruh baya yang menikmati kopi mereka di ujung seberang sana.

Tidak ingin membuang waktu dengan melamun sia-sia, pria itu lalu meraih ponselnya dari atas meja kayu, tepat di sebelah piringnya. Ia membuka email dan pesan-pesan yang belum sempat ia baca kemarin malam. Pesawatnya tiba di bandara cukup larut kemarin dan rasanya badannya mau remuk ketika ia sampai di rumah. Alhasil, Marco hanya membereskan barang-barangnya sekadarnya lalu memutuskan untuk tidur lebih cepat, tidak sempat membaca pesan.

Oh, kecuali pesan dari satu orang. Dari Michelle, wanita kesayangannya.

“Cocoooo!” Suara ringan nan cerah ceria yang memanggil namanya sukses membuat Marco mengangkat kepalanya dari layar ponsel.

Gadis cantik yang tadi memanggil namanya itu kini berlari kecil ke arahnya, dengan rambut panjang kecokelatan yang berayun indah seperti di iklan sampo tiap kali ia melangkah.

“Kangen banget!” si gadis langsung menempati tempat di samping Marco dan menghamburkan dirinya ke dada Marco, memeluk pria itu erat-erat.

“Aduduh, sakit Chel. Kepala kamu nyeruduk dada aku,” keluh Marco sambil tertawa. Marco melonggarkan pelukannya dan mengecup kening kekasihnya itu. “Miss me?

A lot,” jawab Michelle sambil mendongak menatap wajah Marco.

Keduanya lalu kembali berpelukan, merasakan kehangatan satu sama lain setelah lebih dari seminggu tidak bisa saling bertemu. Walaupun pelayan kafe sesekali mencuri pandang ke arah mereka, keduanya tetap tidak peduli. Rasa rindu yang menjalar terlalu besar untuk bisa ditahan.

How was Tokyo? Acaranya lancar di sana?” tanya Michelle setelah keduanya sudah puas berpelukan.

Great, as usual. Di sana lagi musim dingin, beberapa hari itu turun salju banyak banget. Banyak peserta conference yang mengeluhkan cuacanya, apalagi yang datang dari South East Asia.”

“Kedinginan, dong?”

“Kedinginan dan kesepian. Di sana nggak ada kamu yang suka peluk-peluk,” jawab Marco dengan nada manja sambil mengelus rambut Michelle. “Kamu kesepian nggak ditinggal semingguan?”

“Kesepian,” jawab Michelle dengan nada yang sama manjanya. Namun, suaranya kembali cerita ketika melanjutkan, “Tapi untung ada Winter yang nemenin, jadi nggak apa-apa.”

“Kamu ditemenin Winter selama aku di Jepang?”

Mendengar nama yang sudah kelewat familiar itu, tanpa sadar rahang Marco mengeras. Belum ada setengah jam ia bertemu Michelle dan ia sudah harus mendengar nama Winter?

“Kadang dia nemenin aku makan atau ke toko buku. Oh, ingat nggak konser yang waktu itu aku ceritain? Aku akhirnya ditemani Winter ke sana,” Michelle menjelaskan dengan lancar, sepertinya tidak menyadari perubahan ekspresi Marco dan senyumnya yang mendadak sirna.

“Chel... Kamu jangan keseringan pergi sama Winter begitu, ah,” ucap Marco pada akhirnya.

“Kenapa sih, Co? Kamu cemburu?”

“Aku nggak suka aja.”

“Kan aku sama Winter cuma sahabatan.”

There she goes again. Same old excuse, batin Marco.

Sudah hampir dua tahun menjalin hubungan bersama Michelle dan Marco sudah tidak bisa lagi menghitung berapa kali mendengar kalimat itu dari bibir sang kekasih. Berulang kali Marco menyuarakan ketidaksukaannya tentang kedekatan Michelle dan Winter, tapi tetap saja tidak ada yang berubah. Yang paling parah, mereka ribut besar beberapa bulan lalu karena waktu itu Marco mencoba bersikap tegas terhadap Michelle, melarangnya bertemu dengan Winter.

Yang terjadi? Michelle ngambek berat dan menangis tersedu, menuduh  Marco posesif dan mengekangnya. Setelah pertengkaran itu, Marco kapok. Marco memutuskan untuk mencoba menerima kenyataan ini, tapi ternyata memang lebih mudah mengatakan daripada melakukan.

Marco sampai tidak habis pikir, Winter bahkan sudah berpacaran dengan Alisa, tapi sepertinya Alisa tidak tampak keberatan? Atau gadis itu memang sudah menerima kenyataan kalau Michelle dan Winter memang tidak bisa dipisahkan?

“Tapi kan kamu dan dia sama-sama udah punya pacar. Kalau kamu sering-sering sama Winter, memangnya Alisa nggak marah?” Marco berusaha membujuk.

“Ya ampun Marco,” alih-alih memikirkan perkataan Marco, Michelle malah mendengus dan tertawa, seolah Marco baru saja mengutarakan sebuah lelucon. “Nggak apa-apa lah, kenapa Alisa harus marah? Aku sama Winter kan udah sahabatan lama bahkan sebelum Alisa kenal Winter. Harusnya dia bisa ngerti nggak, sih?”

“Kalau kayak gitu, kamu juga berharap aku bisa terima kalau kamu dekat-dekat Winter terus?  Nggak begitu, Chel....”

“Iya, iya. Udah ah, aku nggak suka ngomongin soal ini melulu! Aku lapar, mau pesan sarapan dulu,” ujar Michelle cepat lalu beranjak ke arah counter untuk memesan sarapan.

Marco hanya bisa menghela napas panjang melihat punggung Michelle. Banyak orang mengatakan betapa beruntungnya orang yang menemukan sosok best friend dan boyfriend pada satu orang yang sama. Sayangnya, posisi itu belum bisa Marco isi, ia masih harus berbagi posisi dengan Winter, yang berarti juga berbagi afeksi.

Entah sampai kapan.