PESAN

PESAN

Astrid SV

4.7

Jam digital pada dashboard mobil menunjukkan pukul 15.24. Bulatan oranye besar di ufuk Barat sudah akan sejajar dengan tanah dalam beberapa jam ke depan. Suasana sore mulai terasa di sepanjang jalan yang dilalui Joshua dengan mobilnya. Beruntung ia sedang menuju ke arah Timur. Jika tidak, silau cahaya matahari sore dari Barat yang menyebabkan bayangan panjang akan mengganggu pandangan mata.

Joshua terus mengemudikan Chevrolet-nya dengan kecepatan sedang. Pepohonan hijau di kanan dan kiri jalan seolah bergerak mundur. Perjalanan pulang dari pantai memakan waktu sekitar tiga jam, melewati jalan raya, masuk jalan tol, lalu kembali masuk jalan raya. Lalu lintas di jalan tol yang sekarang ia lalui tak terlalu ramai, namun entah nanti begitu memasuki jalan raya menuju kota.

“Semoga tak kena macet,” pikirnya dalam batin. Mereka harus segera sampai di rumah. Ia tak ingin berada di jalanan ketika langit sudah gelap. Diliriknya kaca spion tengah, melihat Aya, putri kecilnya yang seminggu lalu baru saja meniup lilin ulang tahunnya yang keenam. Si mungil berpipi gembil itu tengah tertidur sambil memeluk boneka My Little Pony-nya. Bersandar nyaman dengan kepala terkulai ke kanan, menempel pada lengan ibunya. Pria itu tersenyum bahagia. Dua perempuan paling berharga dalam hidupnya duduk di kursi belakang.

“Kamu kok nggak ikut tidur kayak Aya?” tanya Joshua pada istrinya. Perempuan yang sejak tadi melamun sembari memandang keluar jendela itu seperti tersadar. Ia menoleh ke arah anaknya sambil tersenyum. Ia membetulkan letak kepala Aya agar gadis cantik itu lebih nyaman.

“Anak ini kalau sudah tidur nyenyak banget,” komentar Nisa sambil mengelus lembut pipi Aya. “Lihat deh, lucu banget tidurnya ya. Harus kufoto, nih.” Ia merogoh tasnya, lalu mengambil ponsel, menyalakan kamera, dan memotret si putri tidur.

“Apalagi tadi dia main di pantai seharian, pasti sekarang capek banget,” suaminya menyahut dari kursi pengemudi. “Dia kelihatannya senang sekali, ya.”

Joshua tersenyum sendiri mengingat bagaimana tadi Aya menjerit kesenangan ketika ia mengajaknya mencelupkan kaki di air laut. Sebetulnya ini bukan pertama kali bagi Aya melihat pantai, namun memang sudah cukup lama mereka tak mengajak putrinya ke sana. Ketiganya berenang, main ombak, dan mendirikan istana pasir bersama-sama. Rasaya puas sekali.

“Piknik ke pantai sebagai hadiah ulang tahun benar-benar ide bagus, Josh. Aya sudah lama sekali minta lihat laut. Mungkin sejak nonton film kartun putri duyung itu.”

“Iya, dia terus merengek minta pergi ke pantai. Aku senang membuatnya bahagia meskipun harus menyetir selama tiga jam untuk sampai di sana.”

“Apa kamu capek?” tanya Nisa. “Mungkin ada baiknya kita berhenti sebentar di rest area. Jangan terus menyetir kalau capek.”

“Aku nggak capek, tapi... baiklah. Berhenti sebentar kelihatannya ide bagus. Nanti begitu ketemu rest area, kita istirahat, ya.”

Nisa mengangguk sambil membuka aplikasi peta di ponsel. “Kira-kira dua puluh menit lagi ada tuh rest area di sebelah kiri jalan. Rest Area KM 97”

Joshua mengangguk paham, dan terus menyetir. Seperti yang diperkirakan aplikasi peta, sekitar dua puluh menit kemudian mereka tiba di Rest Area KM 97. Pria berusia tiga puluh enam tahun itu membelokkan mobil dan mencari tempat parkir yang nyaman.

Ada banyak kendaraan lain di dalam rest area sore itu. Josh hampir kesulitan menemukan tempat kosong untuk memarkir Chevrolet peraknya. Setelah berputar dua kali, akhirnya ia memasukkan mobil itu ke salah satu slot parkir tak jauh dari gerbang masuk. Ia menarik rem tangan dan keluar, sementara Nisa membangunkan Aya dengan lembut sambil melepaskan seat belt yang mengikat gadis kecil itu.

“Aya minta ke toilet,” ujar Nisa seraya keluar dari mobil dengan menggendong si kecil. Josh mengangguk, dan memberi tanda bahwa ia akan menunggu di kedai kopi seberang mobilnya diparkir. Ia melangkahkan kaki sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya, mencari bangku kosong, lalu duduk menyandarkan punggung yang pegal. Diliriknya notifikasi pesan di layar ponsel, kebanyakan pemberitahuan dari beberapa grup WhatsApp yang tak mendapat minatnya.

Joshua memang tak sering membuka pesan-pesan demikian. Ia hanya mau membuka pesan pribadi yang ditujukan pada dirinya. Dia lebih suka menelpon atau bertemu langsung jika harus mengobrol. Aplikasi WhatsApp hanya ia gunakan untuk pekerjaan, atau berkomunikasi dengan dosen-dosen lain dan juga mahasiswa bimbingannya. Itu pun sangat ia batasi waktu online-nya, apalagi di hari libur seperti ini. Pria tinggi kurus itu amat menghargai waktu dengan keluarga. Nisa dan Aya adalah dua orang yang amat dicintainya, dan ia tak akan pernah menukar mereka dengan apa pun.

Semilir angin sore di kawasan tersebut membuatnya sedikit mengantuk, dan agak lapar. Padahal baru satu jam lalu aku makan, pikirnya. Ia memandang sekeliling, ada kedai burger tak jauh dari tempat ia duduk. Gambar roti berlapis daging dengan kentang goreng dan minuman soda pada poster besar di depan kedai menggodanya, membuatnya tak mampu menahan liur. Ia pun segera berdiri, dan memasukkan kembali ponselnya ke saku.

 Belum ia beranjak, notifikasi WhatsApp-nya berbunyi lagi. Josh tak menghiraukan, namun setelah beberapa saat entah mengapa ia menjadi begitu penasaran. Dikeluarkan lagi benda itu, lalu diliriknya nomor yang tertera. Bukan dari grup, tapi pesan pribadi dari nomor yang tak tersimpan di phone book-nya. Nomornya sedikit tak biasa, +628186660999. Pria itu mengklik pesan dan hendak membacanya ketika didengarnya suara Nisa dari kejauhan.

“Josh, aku balik ke toilet dulu,” ujar perempuan itu setengah berteriak. Rupanya ia telah kembali ke mobil. “Jam tanganku ketinggalan di sana. Tolong, jaga Aya, ya.” Ia menunjuk ke dalam mobil yang pintunya setengah terbuka. Si mungil cantik sudah duduk nyaman di dalam, terikat aman pada seat belt, dan memeluk boneka My Little Pony. Joshua mengangguk. Ia segera bergerak menuju mobil sembari matanya tertuju lagi pada pesan yang tadi belum sempat ia baca. Pesan yang seketika membuat kedua alis tebalnya bertemu di tengah.

 

“Tewas akibat kecelakaan. Aya Karinda, usia 6 tahun mati mengenaskan dalam tabrakan di Rest Area KM 97, pada hari Minggu, 23 April 2017 pukul 16.08”

 

“Apa-apaan ini?” pikir Josh sambil menahan bingung. Jelas nama yang ditulis pada pesan itu adalah nama anaknya, usianya pun sama, dan lokasi mereka tepat, tapi kecelakaan? Apa maksudnya? Dengan keheranan, ia melirik jam di sudut kanan atas ponsel, angkanya menunjukkan pukul 16.06.

Belum habis rasa herannya, tiba-tiba terdengar teriakan keras dari arah gerbang masuk. “Minggir! Minggir!!” seru seseorang sambil berlari, tangan kanannya mengibas-ngibas menyuruh siapa pun untuk ke arah pinggir, sementara tangan kirinya menunjuk ke arah gerbang. Mata Josh mengikuti arah yang ditunjuk. Sebuah truk crane besar melaju kencang ke arah deretan mobil yang sedang diparkir.

Kendaraan besar berwarna oranye dengan tiang-tiang besi terlipat di bagian belakang itu seolah tak dikendalikan. Ia melaju, semakin lama semakin kencang, terutama karena jalan dari pintu gerbang ke area parkir menurun. Truk itu tiba-tiba berbelok menuju jajaran mobil yang sedang diparkir. Tak ayal lagi, mobil-mobil yang sedang diam ditinggal pemiliknya tersebut menjadi sasaran. Truk crane itu bahkan tak berhenti ketika moncongnya menyundul mobil pertama, sebaliknya ia terus mendorong mobil-mobil itu ke satu arah hingga berbenturan satu sama lain seperti kartu domino.

Satu... dua... tiga... empat ... lima.... enam mobil. Semua terdorong  hingga tekanannya membuat mobil-mobil itu ringsek dan mulai terlempar satu per satu. Mobil terakhir adalah milik Josh. Chevrolet perak itu oleng, lalu terbalik dua kali sebelum terempas keras di aspal dengan Aya berada di dalamnya. Bau bensin mulai tercium dari salah satu tangki mobil yang bocor terkena benturan keras. Percikan api mulai terlihat menyala di beberapa titik.

Joshua yang sempat tercenung sejenak sekonyong-konyong menjerit histeris dan berlari ke arah mobil seperti kesetanan. Nisa yang baru saja keluar dari toilet segera menyadari situasi.  Ia juga berlari secepat mungkin untuk menyelamatkan anak perempuannya sambil menjerit-jerit tak keruan. Orang-orang yang berada di rest area tersebut juga segera berlari untuk memberikan pertolongan, namun tak ada yang dapat mendekati karena mendadak terdengar ledakan keras dari salah satu mobil yang tertabrak.

Api menyambar dalam hitungan detik, lalu mulai terdengar desingan kaca-kaca pecah. Semua orang seolah mematung sebentar karena terlalu terkejut, lalu berlarian menghindari api, tapi tidak dengan Josh dan Nisa. Mereka terus berlari menuju mobil untuk menyelamatkan putri mereka. Gadis mungil itu masih memeluk boneka kudanya, wajahnya ketakutan, dahinya bersimbah darah karena sempat terbentur langit-langit mobil. Ia tak dapat menggerakkan kaki dan tangannya, hanya menangis sambil memanggil orang tuanya. “Mama ... Papa ...”

Ledakan berikutnya terdengar keras tak lama kemudian. Sekarang keenam mobil dan truk crane itu mulai terbakar semua. Semakin lama, api semakin membesar. Nisa begitu shock melihat kejadian yang berlangsung hanya dalam hitungan detik tersebut. Ia merasakan kakinya seolah lumpuh, lalu jatuh bersimpuh sambil menjerit-jerit memanggil nama putrinya. Air mata berderai membasahi seluruh wajah. Ia menoleh ke sana kemari mencari Josh. Di antara kepulan asap pekat, dilihatnya beberapa orang sedang menahan suaminya agar tak mendekati mobil.

“Bahaya, Pak... itu bensinnya sudah ke mana-mana, sebentar lagi bakal meledak lagi!” seseorang berteriak sambil menarik tubuh Josh menjauh. Pria yang panik itu terus memberontak, berkelit dan berusaha melepaskan diri. Begitu ia bisa membebaskan diri, ledakan ketiga terdengar. Kali ini jauh lebih besar.

Panas api seperti sedang mengusap wajah di saat yang sama dengan suara pecahan kaca mobil berdesing melewati telinga. Josh merasakan seseorang kembali menarik kerah bajunya, kali ini sangat keras dan membuatnya terjerembab. Ia tak berdaya melawan ketika orang tersebut menyeretnya menjauhi api. Air matanya menderas di sela-sela jeritannya, “Aya ... Ayaaa ... Ayaaaaa ....”

***

Garis polisi telah terpasang. Sebuah mobil pemadam kebakaran, dua buah ambulans dan dua mobil polisi mengelilingi lokasi kecelakaan. Lampu sirine menyala dan berputar-putar meski suara bisingnya tak terdengar. Tak ada lagi api, sudah padam setengah jam lalu. Meski demikian, asap masih mengepul di beberapa titik. Genangan air sisa pemadaman membuat seputar tempat parkir becek. Cahaya senja memantul pada genangan-genangan tersebut, berbaur dengan sorotan lampu-lampu jalan dan kedai di seputar rest area.

Bangkai enam mobil yang hangus terbakar, dan sebuah truk crane yang ringsek menjadi pemandangan utama. Beberapa orang dari kerumunan sibuk memfoto dengan ponsel mereka, dan kemudian mengunggahnya ke media sosial masing-masing. Petugas kepolisan memeriksa tempat kejadian dan mengumpulkan data dari saksi-saksi mata. Tiga orang reporter TV dan beberapa wartawan media cetak terlihat bergerak ke sana kemari, mencari siapa pun yang bisa diwawancara.

Joshua dan Nisa melihat semua ‘kesibukan’ itu dengan pandangan kosong. Keduanya duduk bersampingan tanpa bicara di dekat ambulans, dan sedang diperiksa oleh petugas kesehatan. Joshua menderita luka bakar ringan di lengan kirinya akibat terkena lontaran bunga api, sementara beberapa tempat di wajah Nisa terdapat luka bekas goresan pecahan kaca mobil. Walau begitu, sakitnya tak bisa mereka rasakan. Sebab, hati keduanya jauh lebih sakit karena kehilangan anak semata wayang mereka.

Shock, hanya itu kata yang tepat menggambarkan apa yang sedang dialami keduanya. Terdiam dengan mata nanar, seolah tak sedang memijak bumi. Mereka merasa apa yang terjadi barusan adalah mimpi. Walau demikian, suami istri itu mendengar semuanya ... semua yang dikatakan orang-orang yang sedang ditanyai polisi sebagai saksi mata, tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Truk crane itu, pengemudinya terkena serangan jantung mendadak saat membelokkan kendaraannya ke rest area. Tubuhnya kaku, dan kakinya menginjak pedal gas tanpa bisa terlepas. Demi melihat apa yang terjadi, kenek yang duduk di kursi pengemudi refleks meloncat ke luar. Rupanya ia yang tadi berteriak-teriak panik menyuruh semua orang minggir. Sayangnya, peringatannya tak berarti. Truk crane itu dengan laju menabrak enam buah mobil yang terparkir.

Kelima mobil lain kosong. Sebagian ditinggal pemiliknya ke toilet, minum kopi  dan sholat. Hanya Aya ... hanya Aya satu-satunya yang berada di dalam mobil keenam, dan menjadi korban. Di sore yang nahas itu, nyawa Aya dan juga sopir truk crane tak tertolong lagi. Hangus terbakar. Kantong jenazah keduanya diangkat menuju dua ambulans berbeda untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Nisa memaksa ingin masuk ke ambulans yang membawa anaknya, namun dicegah oleh petugas kepolisian yang berjanji akan mengantar mereka dengan mobilnya.

Hampir pukul dua pagi. Anggota keluarga Nisa dan Joshua berkumpul di depan ruang jenazah, menunggu visum selesai. Beberapa teman dekat mereka juga berdatangan satu per satu. Mereka lah yang sibuk menyiapkan segalanya untuk pemakaman esok pagi, sebab Joshua dan istrinya hanya bisa diam, separuh nyawa mereka seperti hilang.

Nisa bahkan sudah tidak mampu menangis lagi, air matanya kering, ia  hanya mampu terkulai lemas dipelukan ibunya. Sementara itu, Joshua duduk di lantai, menyandarkan tubuhnya di dinding. Matanya menatap kosong ke ujung sepatu. Ia tak punya tenaga lagi untuk berpikir atau melakukan apa pun. Ia bahkan tak mampu merasakan perih dari luka bakar di lengannya. Ungkapan duka dan perhatian dari orang-orang di sekitarnya tak ada yang masuk ke dalam telinga, hanya berdengung seperti suara pasukan lebah.

“Ini tak mungkin terjadi, pasti cuma mimpi... ini tak mungkin terjadi, pasti cuma mimpi.” gumam Josh berulang-ulang sambil menarik-narik rambutnya.

***