“Aku hamil Gun,” suara lirih itu membuat Gunawan membelalakkan kedua matanya.
“Ka-kamu hamil?”
Mata Gunawan membulat terkejut, sembari merebut surat yang menyatakan aku hamil dari tanganku. Aku menatap Gunawan lurus. Wajah terkejut itu entah mengapa membuat hati ini terasa sakit.
“Iya,” kataku. “Aku hamil,” kembali aku memperjelas kata-kataku.
“Si-siapa yang menghamili kamu?” Gunawan bertanya, seolah-olah dia tidak tahu siapa pelakunya. Aku tertawa geli dengan menatap mata Gunawan tajam.
“Kamu bertanya siapa yang menghamili aku?” Aku berjalan mendekat kearahnya, aku mengelus rahangnya lembut. Aku mati-matian menahan tanganku yang ingin menamparnya dengan begitu keras.
Terlihat begitu jalangkah diriku di matanya? Hingga Gunawan menanyakan siapa yang telah menghamili pacarnya sendiri. Aku wanita dua puluh satu tahun yang baru mengenal cinta. Cinta dengan satu pria, yang sayangnya membuat aku buta sebab mau saja merelakan tubuhnya untuk di jamah sebelum menikah.
“Apa maksud dari pertanyaan kamu itu Gun, jelas-jelas ini anakmu,” air mataku kini sudah menggenang di pelupuk mata.
Gunawan mengusap rambutnya kasar, umpatan yang tidak pernah ia katakan sebelumnya bila bersama denganku kini terdengar terlontar dari mulutnya.
“Dengar Nilam, aku belum siap menjadi seorang Ayah,” katanya dengan mencengkeram pagar besi yang ada di hadapannya.
“Memang kamu pikir, aku siap?” tanyaku dengan air mata yang semakin menggenang di pelupuk mata.
Gunawan membalikkan tubuhnya, hingga kini ia menghadap ke arahku. Ia berjalan cepat ke arahku, kemudian ia berjongkok di depanku dengan kedua tanganku yang ia genggam dengan erat. Dapat aku rasakan, tangannya bergetar. Kedua bola matanya bahkan sudah sangat merah.
“Kalau begitu, kita gugurkan saja anak ini.”
Air mataku seketika tumpah. Aku menatap dirinya dengan tatapan tidak percaya. Gunawan yang berada di hadapanku ini, nyatanya bukan Gunawan yang aku kenal. Gunawan yang aku kenal begitu lembut, penuh kasih sayang, dan sangat ramah. Namun, nyatanya kini di hadapanku ini bukan Gunawan melainkan iblis.
Aku berdiri dari kursi yang tiba-tiba saja terasa panas. Aku melepaskan paksa genggaman tangannya pada tanganku. Aku membelakangi Gunawan dengan langkah perlahan menuju ke arah sofa yang berada di ruang televisi, tempat pertama kali kami melakukannya. Tanganku aku lipat di depan dada dengan air mata yang tidak mau berhenti mengalir. Aku menggigit bibir bawahku menyesali semua yang terjadi antara dirinya dan aku di sofa itu.
“Sudah cukup aku berbuat dosa dengan melakukannya tanpa ada ikatan pernikahan denganmu Gun,” ucapku lirih dengan bibir yang bergetar hebat. “Tolong, jangan minta aku lagi untuk berbuat dosa.”
“Kita tidak bisa menikah, Nilam. Gugurkan saja. Aku masih ingin kuliah dan menggapai cita-citaku.”
Aku berjalan cepat ke arahnya, aku cengkeram erat kerah kemeja Gunawan dengan bibir yang bergetar hebat. Tidakkah ia berpikir aku pun memiliki cita-cita dan kuliah yang harus di tuntaskan? Enteng sekali bibirnya berbicara.
“Aku tetap akan mempertahankan bayi ini, dengan atau tanpa pertanggung jawaban dari kamu,” desisku dengan tatapan penuh amarah kepada kekasih hati yang kini telah membuat hatiku hancur.
Kulepaskan cengkeraman tanganku pada kerahnya dengan usapan kasar pada mataku. Gunawan kini menatapku dengan kedua matanya yang sudah basah. Tanpa berbasa-basi lagi aku meninggalkan apartemen Gunawan dengan hati yang di penuhi rasa kecewa.
‘Tidak pernah aku sangka, aku mencintai pengecut.’
***
Tepatnya, satu bulan lalu Gunawan berkata tidak ingin bertanggung jawab atas janin yang aku kandung. Namun, lihatlah sekarang aku tengah menunggu dirinya di kursi pelaminan. Orang tuanya bersikeras untuk menikahkan kami setelah ayahku yang mengetahui kehamilanku ini mengamuk di rumahnya. Walaupun, selama satu bulan ini Gunawan dan aku hanya saling mengabari lewat pesan singkat tanpa pernah bertemu sejak saat itu. Aku bersyukur, sebab ia ternyata bukan laki-laki pengecut seperti yang aku pikirkan selama ini.
Namun, tiba-tiba saja ibuku berjalan ke arahku dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Ibu kemudian memeluk tubuhku dengan erat sambil berkata. “Sabar Nak, insya Allah akan ada jalannya. Insya Allah, Allah akan bukakan pintu hatinya.” Ibu melepaskan pelukannya di tubuhku.
Dengan tangan bergetar ia kemudian mengelus lembut wajahku yang kini tiba-tiba saja terasa kaku. Ibu menyerahkan ponselnya yang masih menampilkan sebuah pesan di layar padaku. Rupanya, Gunawan dan keluarganya tidak datang. Gunawan lari. Ia benar-benar lari meninggalkan tanah air tempatnya lahir.
Seketika hatiku hancur, bayangkan betapa malunya aku dan keluargaku. Undangan sudah tersebar habis, penghulu telah menunggu, teman-teman dan sanak saudara sudah datang dari jauh untuk hadir di hari bahagiaku yang ternyata menjadi hari kehancuranku. Saat itu aku tidak menangis, aku tidak ingin memperlihatkan kesedihanku. Aku berusaha tegar.
Seharian itu, para tamu undangan berdatangan. Mereka semua menangis memelukku seraya berkata. ‘Sabar ya, sabar.’ Aku hanya tersenyum berusaha terlihat tidak terluka, padahal nyatanya jauh di lubuk hatiku yang terdalam hatiku hancur.
“Ibu pingsan!” teriakan itu membuat aku yang tengah bersalaman dengan tamu undangan terkejut bukan main.
Mataku terbelalak saat tubuh ibuku di bopong menuju mobil ayah, aku segera berlari menerobos banyaknya orang menuju ke arah mobil ayah. Dengan sedikit memaksa aku meminta menggantikan posisi tetanggaku yang tengah memegang tubuh ibu. Air mataku yang sejak tadi tertahan kini mengalir deras saat melihat tubuh ibu terbaring lemah di pangkuanku. Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, ibu tersenyum lembut ke arahku. Tangannya yang sudah renta mengelus pipiku lembut.
“Jaga cucu Ibu ya!” ucapnya seraya tersenyum lembut di balik wajah pucat yang entah mengapa aku baru menyadarinya selama ini. “Kamu anak kuat Sayang, Ibu percaya kamu pasti bisa melewati semua ini.” Tangan ibu yang tengah mengelus wajahku tiba-tiba saja terjatuh.
Tangan Ibu yang hangat dan lembut kini terasa dingin. Air mataku menganak sungai. Kedua kelopak mata ibu tidak akan pernah terbuka lagi. Aku peluk kepala ibu yang tertidur di pangkuanku dengan erat. Di dalam tangisku, aku terus meraung menyesali semua yang telah terjadi.
‘Maafkan aku, maafkan aku.’