Permata Tunggal

Permata Tunggal

Lia Andriyani

0


Apa sudah kalian baca berulang kali?  Baca lagi dan lagi maka kalian akan mengerti. Iya, menjadi yang pertama memanglah sulit. Aku harus serba bisa, harus terpaksa sempurna, harus mencoba bermultitalenta. 


Aku yang pertama, sandaran paling kuat bagi adik-adikku. Acuan paling tepat di mata mereka. Juga pusat rotasi dari segala hal tentang meniru dan ditiru. Aku kakaknya, kakak pertama dari enam bersaudara. Anak pertama dari bapak denial bagaskara. Perempuan pertama yang lahir dari rahim ibu agni bratayodya,juga permata pertama yang menduduki tahta keluarga. 


Benar! Akulah yang pertama. 


***


Putri Maulidya Ayunindya,itulah namaku. Bapak kerap memanggilku dengan sebutan kak Maul, hal itu tentu saja membuat semua bocah cilik di dalam rumah memanggil ku dengan sebutan yang sama. 


"lantas kapan kamu bisa meluangkan waktu buat anak saya? "


Interogasi Bapak setelah menanyai masalah perkerjaan. Bapak  menatap serius seorang pemuda tampan yang duduk bersebrangan darinya.Alis pemuda itu tebal, kulitnya hitam eksotis, kedua bola matanya hitam kelam menghipnotis. Aku memilin jari gelisah, sudah beberapa menit berjalan, namun ketegangan tak kunjung sirna. Pria itu, lelaki yang sudah bertahun lamanya menempati sudut hatiku, memang bukan pria pertama yang menjamah pusat rasa, tapi dia pria pertama yang mengajarkan aku makna dari cinta yang sebenarnya. 


"saya bisa mengatasinya pak"

Jawab Angga Harianto mantap, sorotnya tak lepas menatap lekat, tekadnya sudah terbangun begitu kuat. 


Aku menelan ludah kuat, kulirik sosok kerdil yang menyempil duduk beberapa meter di sana. Anak itu seakan tak mengetahui, tapi tatapannya menyiratkan lain. Dia mendengarnya, dan aku begitu yakin kalau kronologi hari ini akan begitu membekas membayangi benak kecilnya. 


"saya mencintai anak bapak. "


Bapak mengangguk maklum, sedang aku langsung mengatur degup jantung yang abnormal. Angga menatapku teduh, senyum manisnya mengembang. Ah, tentu saja, bukan cuma angga yang melimpahkan semua cintanya kepadaku, karena akupun melakukan hal yang sama untuknya. 


"dimana orang tua kamu? "


"saya datang sendiri untuk meminta kepastian. "


Sungguh berani! Disaat banyak pria ketar - ketir meminta kejelasan dalam menyambung ikatan, angga datang seorang diri meminta kepastian. 


"setelah saya menerima jawabannya, saya akan membawa orang tua saya kemari"


Lanjutnya lugas, bapak tak melirikku sedikitpun,bahkan hanya untuk menanyai bagaimana menurutmu maul? Apa kamu bersedia menerima pinangannya? Semua itu hanya mimpi semata. Bapak tak akan meminta pendapatku. Umurnya yang hanya terpaut tiga tahun diatasku sudah terlanjur masuk daftar lampu merah. Apalagi pekerjaannya yang mengharuskan angga berangkat pagi pulang malam tentu membuat list menantu idaman milik Bapak terhempas kuat. Aku menggigit bibir gelisah, sesekali melirik letak adikku yang duduk termenung seakan turut andil jadi bagian perbincangan. 


Kali ini apa yang akan bapak pilih untuk menjadi keputusan akhir?


***


Denial bagaskara. 


Kupijat kening yang berdenyut nyilu. Berbagai pikiran merangsek masuk saling menindih. Apakah aku memilih keputusan yang benar? 


Aku memejamkan kedua mataku rapat, rasa bersalah mampir memenuhi ruang hati. Nafasku sesak tak terperi. Aku memang dipaksa untuk seperti ini setiap waktu, menjadi yang terkuat dan tertangguh untuk menjadi layak sebagai sandaran paling hebat di kehidupan putri-putriku. 


Kuusap wajahku kasar, tadinya aku memang mantap mengutarakan penolakan. Aku yang lebih tahu, karena kurasai berbagai asam manis juga pahitnya berkeluarga lebih dulu. Pekerjaan angga tak akan mampu membuatnya leluasa meluangkan waktu untuk maul. Umurnya yang hanya terpaut sedikit tak menghapus kemungkinan terburuk mengenai perpecahan. Beda pendapat dalam lingkupan berkeluarga kerap terjadi, kalau kedua belah pihak tak saling mengalah, maka keretakan dari awal perceraian akan menjadi duri. Aku tak mau hal itu terjadi pada anakku.aku ingin yang terbaik untuknya. Aku ingin dia didampingi orang paling hebat di hidupnya kelak. Namun kemantapan hatiku akan tolakan perlahan goyah. Ya rabb, tangisnya yang tersedu menelusup di celah celah pintu, isakannya yang bernada pilu mengiris penuh hatiku,apa aku salah? Bolehkah aku meminta pemuda itu datang lagi? Hal itu tak mungkin terjadi. Semua itu terlalu mustahil. Hatiku memang ingin menarik angga kemari lagi, tapi pikiranku menolaknya. Aku tak bisa.


Tak ingin kuserahkan anakku itu, tak ingin kulepaskan barang sejengkalpun. Aku egois! Benar! Mana mungkin aku tak memiliki secuil rasa itu? Mungkin bukan hanya ketidakmiripan angga pada list menantuku, tapi kerelaanku melepaskan maul juga turut andil. Aku tak melihatnya ketika tumbuh sampai sebesar ini, tak kutemani maul sampai ia mampu memahami hukum agama, juga rumus kimia mengenai alkana,alkena dan semacamnya. Tak ku awasi setiap hari pertumbuhannya selama enam tahun belakangan.


Maul kamu masih kecil, tak bisakah kamu menetap disini barang sebentar saja? Bapak ingin melihatmu tumbuh. Di mata bapak, kamu hanya maul kecil yang kerap mengompol itu, di mata bapak, kamu hanya maul yang kerap menangis meminta pisang paling besar saat hajatan, di mata bapak, kamu tak pernah sedewasa ini nak. Tak bisakah maul tinggal disini menemani bapak?


Kuusap air mataku yang mengalir halus melewati pipi. Ya allah, betapa sakitnya, apa semacam ini rasanya seorang bapak mencoba melepas anak berharganya demi mencebur ke dunia yang lebih luas? Aku tak bisa ya allah, maul tak ingin kulepaskan. 


Aku bangkit berdiri dengan lunglai, kutilik sedikit maul dari celah pintu yang tak tertutup karena tak kuatnya engsel. Tangisnya merebak, disampingnya, agni mengecupi puncak kepala maul lembut, rangkaian kata agni lontarkan pada maul yang tengah bersedih, tapi agni pun tak bisa membendung tangisnya. Lihatlah! Aku membuat air mata meluncur dari mata dua perempuan yang amat aku sayangi. 


Maafkan bapak nak.