Ade menarik kursi dan tidak sabar duduk di sana. Dia menatap lelaki berkemeja merah maroon di depannya, “Pokoknya kali ini beda, Dev. Gue yakin sekali kalau pilihan gue kali ini nggak salah. Begh! Sempurna. Sesuai banget dengan yang lo inginkan selama ini. Percaya sama gue.”
“Lo selalu bilang begitu setiap mau memperkenalkan gue dengan perempuan, De. Gue jadi nggak serius lagi dengan semua pertemuan yang elo atur buat masa depan hidup gue.” Dev terkekeh tanpa peduli dengan perubahan wajah Ade.
Dia kembali mengetik sesuatu di laptopnya. Ade menarik kursi lebih rapat dengan meja kerja Dev. Wajahnya condong ke arah Dev. Untuk kali ini dia yakin sasarannya tepat. Dev hanya perlu memberinya kesempatan kesekian. Meskipun kesempatan terakhir. Dia yakin ini juga petualangan proposal cinta yang terakhir untuk Dev.
“Dev, I need your attention, please. Give me a chance. Kali ini gue yakin nggak akan salah lagi. Serius! Insyaallah, kali ini janur kuning bakalan melengkung di depan rumah lo. Nyokap lo juga nggak akan uring-uringan lagi. Serius, Dev.” Ade menatap Dev serius. Dengan memohon seperti itu, Ade tampak seperti anak belasan tahun.
Tapi itulah kelemahan Dev. Dia tidak bisa melihat sahabatnya sampai seperti itu. Dev mengalihkan pandangan dari laptopnya. Menatap Ade, “Setelah Lovi, Sari, Salsabila, bahkan Diva yang lo bilang nama menunjukkan masa depan jodoh, gagal semua. Sekarang namanya siapa?”
“Namanya Nadia Putri, Dev. Lo lihat, kan? Namanya saja sudah cantik. Bagaimana dengan orangnya. Percaya sama gue, kali ini lo akan jatuh cinta bahkan sebelum bertemu dan bicara dengan orangnya.” Tanpa menghiraukan cemoohan Dev, Ade langsung memuji.
Dev tersenyum saja. Dia mengangguk-angguk. Pura-pura antusias. Ini bukan sekali dua kali Ade memuji perempuan yang dinobatkan sebagai calon permasuri hati Dev. Setiap perempuan yang dikenalkan oleh Ade kepadanya melewati proses pujian ini. Dev sudah hapal sederetan kalimat ini. Kalau saja bukan Ade, dia tidak akan membuang-buang waktunya untuk mendengar segala koleksi pujian untuk perempuan yang sama sekali tidak dia kenal.
“Lo kenal dia dari mana? Siapa lagi yang jadi orang terpercaya lo?” selidik Dev.
“Gue kenal dia fotokopi dekat kantor gue, Dev. Dan percaya sama gue. Kali ini gue jamin nggak salah pilih.”
Dev terkejut. Ade bilang apa? Fotokopian? Yang benar saja.
“Iya, gue kenal dia di fotokopian tahun lalu. Lo tahu kan tahun lalu gue tes PNS. Alhamdulillah, gue lulus, Dev. Gue lulus. Dan lo tahu apa? Salah satu kelulusan gue itu berkat dia. Dia, Dev! Putri Nadia.”
Mata Dev mebelalak. Jadi, orang yang dimaksud oleh Dev adalah calo CPNS? Lebih mengejutkan lagi karena tidak sengaja Ade yang jujur ini baru saja mengakui dia lulus berkat calo. Rasa jengahnya semakin menjadi. Bagaimana dia bisa hidup damai dengan seorang calo. Menghalalkan segala cara. Bahkan dia sudah menarik sahabatnya ke tepi jurang neraka.
Dia tahu Ade memang sangat obsesi menjadi PNS. Sejauh ini obsesi Ade masih normal. Belum melanggar norma-norma agama. Dia masih berpegang teguh bahwa orang yang menyogok dan yang disogok dosanya tidak main-main. Pengakuan yang barusan terceplos dari bibir Ade sangat menganggunya.
“Lo lulus pakai cara sogok juga, De?” Tidak bisa disembunyikan rasa tidak suka Dev.
Ade tidak sadar perubahan wajah sahabatnya. Dia terus bercerita bagaimana dia bertemu dengan Nadia. Gadis itu tersenyum manis padanya. Lalu mereka berbincang sejenak. Ketika Ade sedang digalaukan dengan penyusunan berkas CPNS yang ribet itu, justru Nadia ini membantunya untuk menyusun. Ade juga mengatakan tidak bisa melupakan tulisan Nadia. Sangat indah. Bahkan dia sempat mengabadikan dengan kamera ponsel.
“Nanti gue coba cari di laptop. Lo bisa tanyakan ke bagian HRD, mana tahu lo langsung tahu karakter dia seperti apa. Berkat tulisan tangan dia yang rapi itu, gue bisa pakai seragam ini, Dev. Gue bisa membuat emak gue bangga karena lulus PNS.” Ade terus nyerocos.
Dev menarik napas lega. Prasangkanya salah. Ternyata bantuan yang dimaksud Ade adalah surat lamaran. Ade yang tidak menyadari perubahan wajah Dev dalam beberapa detik ini terus bercerita bagaimana pertemuannya dengan Nadia.
Putri Nadia. Jika mendengar ceita Ade, Dev bisa membayangkan jika dia memang sangat cantik. Bahkan tulisan tangannya saja cantik sekali. Dev pernah melihat tulisan tangan itu pernah dibagikan oleh Dev di sosial media. Dia mempromosikan tulisan Nadia untuk pekerjaan musiman ini.
***
Seperti janjinya dengan Ade dua hari lalu di ruang kerjanya, Ade datang lagi menemuinya. Kali ini di rumah Dev yang nyaman. Sambil meneguk secangkir cappuccino racikan Ade, keduanya duduk di teras belakang. Menikmati irama air terjun buatan di taman warna warni rumah Dev. Ade sudah siap dengan segala informasi terkini tentang Nadia Putri. Penulis surat lamaran di fotokopi Humaira.
“Lo nggak masalah kan kalau calon istri lo itu bukan orang kaya dan gadis desa?” Tanya Ade. Pertanyaan tetap setiap dia memperkenalkan seorang perempuan baru sebagai kandidat istri Dev.
Dev menggeleng, “Seperti yang gue ulang setiap lo bertanya, gue butuh istri yang nggak neko-neko. Mengerti posisinya sebagai istri. Dan dia nggak matre pastinya. Dia harus memenuhi keempat syarat gue. Pertama, dia harus cantik. Kedua, dia harus bagus agamanya. Paham agama. Ketiga, dia dari keluarga baik-baik. Keempat, dia harus berpendidikan. Minimal dia tamat SMA.”
Ade mengangguk-angguk. Tentu saja dia masih ingat jawaban berulang itu. Itu syarat mutlak yang selalu diulang-ulang Dev setiap bertemu perempuan baru. Selama ini syarat awal selalu lengkap. Dalam proses ta’aruf syarat kedua dan ketiga seringkali melenceng. Ditambah dengan syarat pendamping yang semakin terlihat tidak eligible dan jauh dari harapan. Sekali lagi, seperti yang dikatakan Ade pula secara berulang pada Dev. Dia tidak membawa orang yang salah. Kali ini pilihannya pasti benar.
Dev mengeluarkan ponselnya. Membuka galeri foto dan menunjukkan pada Dev. Dev mengambil dan menggeser foto-foto di layar sentuh ponsel Ade yang semakin canggih sejak lulus PNS. Ada puluhan foto candid yang diambil Ade. Dev pun mengakui, Nadia Putri memang cantik.
“Dia bukan gadis desa dan berasal dari keluarga berkecukupan. Bahkan semua syarat dari lo itu sangat komplet, Dev. Gue sempat tanya pada kak Humaira, kenapa cewek ini bekerja musiman. Lo pasti nggak percaya dengan jawabannya, Dev. Yakin gue.” Ade sangat semangat.
Dev tertawa. Dia sudah melihat orang-orang yang bekerja musiman dengan recehan di musim PNS. Jawabannya sama semua, “Aji mumpung?”
“Salah!” Ade sangat senang tebakan sahabatnya salah. “Lo pasti nggak akan percaya apa jawaban yang diberikan kak Humaira. Ya, gue percayalah. Secara kak Humaira sudah kayak kakak gue sendiri.”
“Dia pasti money oriented, ya? Nggak cukup uang saku dari orang tuanya? Atau nggak enak minta sama orang tuanya karena sudah gede?” Dev terkekeh. Dia pun yakin, jawaban kali ini pasti benar.
Ade menggeleng senang. Dev salah lagi. Sebelum menjawab, Ade berhem dan menyeruput cappucinonya yang mulai mendingin. Kremnya menempel di bibir. Mata Ade melebar, “Menikmati euphoria mimpi sejuta ummat, Dev. Itu dia alasan Nadia Putri menulis lamaran dan menerima recehan. Dia nggak selalu di kedai fotokopi kak Humaira, kok. Dia suka bertemu orang baru. Maklum, dia anak Psikologi dulunya.”
Kening Dev berkerut. Tebakannya salah. Tapi dia tidak percaya ada orang seperti itu. Di kantornya saja, dia bertemu banyak orang yang beragam. Tanpa melihat tujuan utama mereka bekerja untuk menyambung hidup, banyak motif lain ketika seseorang bekerja di kantornya.
“Begini saja, kita harus menemui Nadia Putri untuk melihat seperti apa dia aslinya. Mungkin sekali dua kali lo harus berteu langsung. Jika memang oke, kita bisa langsung tanya apakah dia ada niat niah dalam waktu dekat atau tidak. Minimal kita tahu dia ini jofisa.” Tawar Ade semakin semangat.
Kening Dev bertaut, “Jofisa?”
“Jomblo fi sabilillah. Ah, lo! Kebanyakan main sama surat-surat duit sih. Nggak update!” Ade mengibaskan tangan di depan Dev. Saking senangnya sudah membuat Dev terbengong-bengong, dia menyeruput cappucinonya sampai habis.
Dev termenung beberapa detik. Ade ada benarnya. Untuk mengetahui seperti apa dia, kali ini Dev memang harus turun langsung untuk mengamati. Selama ini dia selalu mengandalkan orang ketiga. Tapi ketika penjajakan sudah dmulai, dia selalu kecewa. Mungkin sebelum kejadian yang sama terulang kembali, dia harus terjun langsung ke lapangan. Melakukan pengamatan.
Dev berdehem, “Kalau kita langsung ketemu Nadia, lo punya ide gimana? Apa kita perlu ngomong sama kak Humaira lo tentang keinginan untuk…”
Ade mengibaskan tangan dan kalimat Dev langsung terhenti. “Lo caranya kuno banget, Dev. Kita main ganteng, man! Main ganteng untuk berhadapan dengan orang cantik. Serahin semuanya sama gue. Kita mulai besok. Gimana?”
“Gue harus cek schedule gue dulu dari kantor.”
“Lo kasih tahu Fibel, semua meeting intern ditunda. Ini demi masa depan perusahaan lo juga, kan? Kalau lo nggak ada keturunan, siapa yang mau ngurusin hajat hidup orang banyak yang sudah lo tanggung selama ini?”
“Sebegitunya, ya?” Dev terpana dengan cara pikir Ade yang terkadang memang ada ajaib dan benarnya juga. “Boleh, gue beri tahu Fibel untuk cancel semua meeting besok. Lo atur bagaimana caranya.”
Senyum Ade merekah. Inilah saatnya!
***