Pergilah Kasih

Pergilah Kasih

yurisa

0

“Kalau nginget-nginget dulu tu … kok bisa ya Yus? Ke mana-mana jalan kaki. Celana kuliah cuma punya dua. Ya Allah.” Jari telunjuk Husni terus mengeklik kursor ke kanan. Kenangan demi kenangan muncul di kepalanya dan mempengaruhi perubahan ekspresinya. Sesekali dia berhenti, bercerita sedikit pada adik di sampingnya tentang apa yang dia rasakan waktu itu.

Kakaknya masih kelihatan culun di foto yang Yushi lihat. Bajunya pink kotak-kotak bercelana levis dan berkerudung lengkap dengan sal topi. Senyumnya merekah bersama teman-temannya di ladang praktikum hasil garapan mereka.

Mereka berdua terdiam. Yushi terlanjur menikmati kenangan yang lain. Ada cerita panjang di balik kenangan membanggakan punya kakaknya.

Waktu itu kuliah masih dianggap hanya bagi orang yang mewah. Orang-orang seperti keluarga Yushi lebih baik bekerja, dapat uang, bisa menyambung hidup. Tetapi dengan kekukuhan hati Husni, dia berhasil melunakkan hati bapaknya yang saat itu mendukung anggapan itu.

Yushi ingat dengan baik bagaimana kakaknya berjuang bersama teman-temannya demi dana kuliah dari pemerintah. Mengumpulkan foto keluarga, foto inilah, foto itulah. Sore hari dengan sepeda biru legendarisnya, Yushi dibonceng Husni ke rumah kepala desa. Malam hari dengan keberanian ibunya, Husni diantar Marti ke warnet. Semua terlalui sampai akhirnya Husni diterima pada pilihan kedua.

Kelihatannya singkat, tapi itu sangat mendebarkan untuk Yushi yang saat itu masih kelas 4 SD. Dia sudah paham lebih awal dari teman-teman sebayanya. Kini setiap mereka bertanya tentang kakaknya, pasti ada satu kata yang tidak pernah absen dari mulut mereka.

“Keren.”

Husni menunjukkan foto kupu-kupu gajah yang sudah diawetkan. Tidak hanya itu, ada kupu-kupu kecil di sekelilingnya yang membentuk kupu-kupu seukuran kupu gajah di tengah-tengah dinding.

“Masih inget kupu gajah yang hinggap di jemuranmu?” tanya Husni.

“Ini itu?” Jari Yushi menunjuk kupu gajah di laptop.

Yushi pindah ke lain tahun, tepatnya ketika kakaknya menggarap skripsi. Semuanya sulit kalau belum selesai dilewati. Seperti yang akan dia alami juga, meski kini sudah ada beberapa hal yang menjadi mudah.

“Mbak Ni, aku di luar kota, ya?” ujar Yushi setelah menahan sekian lama yang ia simpan.

Obrolan ini tidak pernah dibahas keluarganya lengkap berempat dengan terang-terangan. Yushi merasa butuh kepastian itu sebelum dia pergi lagi dari rumah.

“Kamu pikir-pikir lagi aja, Yus.”

“Aku tu udah kebanyakan mikir, Mbak. Capek aku mikir terus. Mau berapa kali mikir ya sama aja aku maunya di luar kota.” Yushi sedikit tidak sabar. “Mbak aja boleh, kenapa aku nggak?”

“Yus!” gertak kakaknya. “Kalau aku bisa milih, aku maunya di sini aja. Waktu itu kuliah di kota sendiri lebih mahal karena nggak ada beasiswa sebanyak sekarang di sini.”

“Semuanya aja gitu alasannya. SMP mbak di Kawitan karena waktu itu lebih murah di sana daripada di pondok, padahal mbak aslinya mau di pondok.”

“Karena emang gitu kenyataannya. Apa lagi yang bisa kita pertimbangin kalau bukan biaya?”

Yushi diam, merasa kesal dengan keluarganya yang terus mempermasalahkan biaya, biaya, biaya. Mereka bohong, itu yang paling Yushi benci. Saat ini biaya kuliah itu banyak opsinya, menyesuaikan pekerjaan orang tua, beasiswa juga tinggal yang mana. “Plis, lah, Mbak. Kamu itu udah S-1, masa masih mikir kayak bapak ibu?” Yushi menyindir.

“Mikir kayak Bapak Ibu apa? Sekolah, di mana aja baik, Yus. Tapi tetep aja kita harus pertimbangin hal-hal lain.”

”Ya, iyaa, iyaa.” Yushi pergi sebelum semakin kesal. Waktu istirahatnya juga sudah habis. Saatnya lanjut mencuci.