“Bu Agni, udah ditungguin ayangnya tuh di parkiran,” lapor Rini yang baru saja masuk ruang guru. Wanita itu menyengir lebar, menggoda calon pengantin yang berbunga-bunga itu belakangan sudah jadi hiburannya, apalagi jika sudah seharian berkutat dengan komplain wali murid.
Agni terpaku sesaat, sedari tadi wali Kelas Cemara itu sibuk membereskan prakarya kertas lipat murid-muridnya. Agni sampai lupa kalau siang ini ada janji dengan Aldio.
“Makasih, Bu Rini!” seru wanita itu. Agni buru-buru mengecek hand phone, benar saja ada pesan WhatsApp dari calon suaminya yang mengabarkan sudah menunggu di parkiran.
Setelah memastikan kertas lipat beraneka bentuk dan warna tersimpan rapi di kardus bekas wadah air mineral, Agni meraih ransel serta tote bag-nya lalu berpamitan pada rekan-rekan guru yang lain.
Wanita itu berjalan menyusuri koridor PAUD, terlihat ruang kelas di kanan dan kiri seluruhnya sudah tak berpenghuni. Anak-anak kebanyakan sudah dijemput orang tuanya sejak jam pelajaran usai. Beberapa anak yang belum dijemput, digiring ke area day care yang biasanya akan tutup menjelang sore.
Agni mempercepat langkahnya ke area parkir. Sosok pria yang sangat familier keluar dari mobil pajero sport hitam sembari melambaikan tangan ke arahnya.
Tanpa terasa, senyum Agni pun terbit.
“Udah lama, Al?” tanya Agni. Kalau dilihat dari waktu pesan Aldio terkirim, sepertinya sudah cukup lama pria itu menunggu. Namun seperti biasa, Aldio tidak pernah mempermasalahkan kalau dia harus menunggu Agni.
“Baru setengah jam, Ni. Udah makan?” tanya Aldio sembari meraih tote bag dan ransel wanita itu. Bermaksud meletakkan barang-barang di kursi belakang.
“Udah. Emang kamu belom?”
Aldio menggeleng. “Tadi nganter mama arisan, tapi sungkan mau ikut makan di acara yang isinya tante-tante semua. Jadi, buru-buru ke sini.”
Agni tertawa kecil mendengar curhatan calon suaminya itu. “Kenapa? Takut dijadiin berondongnya tante-tante, ya?”
“Huuush!” tegur Aldio.
Pria itu segera menghidupkan mesin mobil setelah Agni memasang seat belt dan melaju ke daerah Pandanaran.
Jalanan terpantau cukup lengang, mungkin lantaran siang di hari kerja, jalanan Kota Semarang tidak sepadat saat jam berangkat maupun pulang kantor.
“Tokonya yang kiri jalan sebelah showroom itu kan, Ni?” tanya Aldio sembari menurunkan laju kendaraannya.
“Iya, Al. Toko yang sama waktu kita pesen cincin tunangan dulu,” balas Agni.
Seorang tukang parkir berseragam oranye terlihat mengarahkan Aldio memasuki lahan parkir toko. Parkiran terpantau cukup lengang, hanya ada dua mobil dan satu sepeda motor yang tampak di depan toko.
Sebelum turun dari mobil, Agni menyempatkan diri untuk mengambil tote bag-nya terlebih dahulu. Setelah itu, Agni menggamit lengan Aldio untuk mengikutinya masuk.
“Selamat datang,” sapa pramuniaga yang membukakan mereka pintu. “Ada yang bisa dibantu, Kak?” tanya pramuniaga tersebut.
“Mbak, kalau mau custom cincin nikah bisa, kan?” tanya Agni to the point.
“Bisa Kak, silakan ikut saya, ya,” balas pramuniaga itu ramah. Salah satu alasan Agni memilih toko perhiasan ini lagi memang karena keramahan pegawainya, selain cincin tunangan yang dulu mereka pilih di toko ini sangat sesuai dengan selera mereka berdua.
Pramuniaga tadi mengarahkan Agni dan Aldio duduk di kursi dekat display cincin. Di seberang display tersebut sudah ada pramuniaga lain yang menyambut mereka dengan senyum ramah.
“Selamat siang Kak, ada yang bisa saya bantu?” sapa pramuniaga di depan Agni dan Aldio.
“Pagi Mbak, kita mau buat cincin nikah,” balas Aldio.
Pramuniaga yang tadi mengarahkan mereka ke sana counter pun undur diri, tapi tak lama wanita itu kembali dengan dua botol air mineral serta stoples kecil camilan. Setelah itu, barulah si pramuniaga kembali stand by di depan pintu. Agni cukup kagum dengan SOP toko ini, mengingat tidak semua toko high end punya karyawan yang ramah kepada pelanggan—setidaknya itu yang bisa dia simpulkan dari cerita Aldio saat menemani ibunya berbelanja barang-barang bermerek.
“Custom ya, Kak? Sudah ada model rancangannya?” tanya pramuniaga yang siaga di depan counter.
“Udah, Mbak.” Agni merogoh kertas dari tote bag yang dia bawa. Ada beberapa sketsa cincin pasangan yang wanita itu perlihatkan. Cincin-cincin itu punya motif ukir yang sama, satu cincin memiliki lebar lebih, sementara cincin satunya bertatahkan permata. Kesamaan dua cincin itu selain ukirannya yang berbentuk sulur adalah ini sial ‘AA’ yang ada di bagian dalam. Inisial nama Agni & Aldio.
“Kalau selain emas, ada bahan apa aja ya, Mbak?” tanya Agni sungguh-sungguh. Cincin tunangannya dulu berbahan perak. Sampai saat ini masih tersemat cantik di jari manis mereka berdua.
“Platinum, palladium, perak, kalau mau lebih tahan lama saya rekomendasikan pakai platinum, Kak. Tapi memang harganya lebih mahal dari bahan lain.”
Agni menoleh ke arah Aldio. “Gimana, Al? Mau bahan apa?”
“Aku sih terserah kamu aja, Ni. Platinum boleh, mahal dikit nggak apa-apa yang penting tahan lama.” Cincin itu akan mereka pakai seumur hidup, menurut Aldio faktor ketahanan merupakan faktor paling krusial.
“Oke deh, platinum aja, ya?” Aldio mengangguk setuju.
“Oke, kita ambil platinum aja, Mbak. Btw, ada diskon buat yang pernah beli cincin tunangan di sini, kan?” tanya Agni lagi.
Pramuniaga di depannya mengangguk. “Boleh saya lihat kwitansi pembelian cincin tunangannya, Kak?”
Agni kembali mengeluarkan kertas dari tote bag-nya. “Ini.” Untung Agni termasuk wanita cermat yang selalu menyimpan dokumen serta nota-nota pembelian penting.
“Iya Kak, nanti dapat diskon 5% ya.”
Agni yang mendengar itu tersenyum lebar. Budget pernikahannya bisa ditekan lagi, sejauh ini anggaran terbesar masih dipegang konsumsi dan sewa gedung karena tamu dari pihak keluarga Aldio lumayan banyak. Hampir 3 kali lipat dari tamu dari pihak keluarga Agni.
“Ukuran cincinnya sama seperti cincin tunangan, Kak?” tanya pramuniaga itu lagi, memecah pikiran Agni yang mengkhawatirkan anggaran nikahnya yang kadung membengkak.
“Iya Mbak, masih sama.”
“Baik Kak, cincinnya perkiraan jadi satu bulan lagi ya.”
“Nggak bisa 2 atau 3 minggu lagi gitu, Mbak?” tawar Agni. Kurang dari dua bulan lagi akad nikahnya berlangsung, terlalu mepet kalau cincin itu baru jadi satu bulan lagi, mereka pasti sibuk mempersiapkan keperluan lain.
“Dari desain tadi tingkat kesulitannya lumayan rumit, Kak. Jadi sepertinya baru bisa jadi satu bulan lagi, tapi tetap kami usahakan secepatnya ya. Saya akan hubungi Kakak lagi kalau cincinnya sudah bisa diambil.” Pramuniaga itu menyodorkan nota pembelian.
Agni menghela napas, tapi dengan segera menyodorkan kartu debitnya. Aldio sudah melunasi biaya lainnya, sehingga Agni bersikeras untuk urusan cincin harus Agni yang membayar. Apalagi, wanita itu juga ingin simbol penyatuan mereka benar-benar spesial. Itu sebabnya Agni menyempatkan diri membuat desain cincin meski sibuk mengajar dan mempersiapkan keperluan pernikahan lain.
Saat hanya ada Agni dan Aldio di situ, pria itu mengelus pundak Agni. “It’s okay, Ni. Desain bagus begitu pasti pengerjaannya harus teliti banget.”
Agni mengangguk meski bibirnya mengerucut.
“Ya udah, mau langsung pulang atau ke mana lagi nih?” tawar Aldio.
“Makan dulu, Al. Lapeeer,” keluh Agni.
“Oh, jadi bibirnya monyong-monyong gitu laper ya? Kirain…”
Agni mencubit perut Aldio. “Kirain apa?”
“Kirain ngambek. Ih, mikir apaan coba?” Aldio mengerling nakal.
“Idih, gak tau ah!”
“Hahaha… mentang-mentang mau nikah, pikirannya mulai nakal ya.” Aldion mencubit hidung Agni gemas. Rasanya tak sabar hidup berdua dengan wanita yang amat dia cintai itu.
***
Pajero Aldio melaju sangat pelan sejak memasuki kawasan perumahan Agni. Meski jalanan tampak sepi, tapi banyak polisi tidur yang memaksa laju mobilnya melambat. Rumah tipe 36 bercat krem tertata cantik dengan adanya pot-pot tanaman yang menghiasi halaman rumah.
“Belum puas lepas kangennya,” keluh Aldio saat calon istrinya melepas sabuk pengaman.
Agni tersenyum jahil. Wanita itu mengecup singkat pipi Aldio. “Hati-hati di jalan. Kalau udah sampai rumah, jangan lupa kabarin.”
Sebelum Agni membuka pintu mobil, tangannya sudah lebih dulu ditarik Aldio. Jantung Agni tiba-tiba bergemuruh saat pria itu semakin mendekat. Kesibukan pekerjaan dan persiapan pernikahan belakangan ini memang sudah membuat mereka jarang bermesraan. Realita yang harus dihadapi dua pasang manusia menuju hari bahagia.
Baru saja Agni hendak memejamkan mata, Aldio malah buru-buru menunduk untuk membuka laci dasbor. “Oh iya, ini undangannya udah jadi, Ni.”
Pria itu menyodorkan beberapa bundle undangan berwarna perak, desainnya sangat mewah dan elegan.
Alis Agni mengernyit, sepertinya bukan desain ini yang tempo hari mereka pesan.
Saat Agni hendak mencari jawaban dari kontak mata dengan calon suaminya, Aldio malah menghindar dan menggaruk tengkuk. “Mama kurang suka sama undangan yang kita pilih kemarin, katanya terlalu simpel. Mama bilang, undangan anak temen-temennya semua setipe ini. Kamu… jangan marah dulu ya, Ni. Desain yang kemarin tetep kita pakai buat undangan via broadcast kok. Ini buat yang versi cetaknya aja.”
Hati Agni tiba-tiba meradang. Setelah drama penggunaan adat pernikahan dan seragam keluarga, sekarang undangan pun harus dibuat sesuai dengan selera ibu mertuanya itu. Untung saja pihak keluarga Agni—terutama sang ayah tidak terlalu mempermasalahkan, sehingga tidak jadi perdebatan yang membuat cek-cok dua belah keluarga. Namun jujur, intervensi ibu mertuanya ini lama-lama semakin menguji kesabaran Agni.
“Hufh, ya udahlah,” respons Agni. Dipikir-pikir, mau protes pun tidak ada gunanya. Aldio yang terjepit di antara keinginan ibu dan keinginan Agni juga pasti sangat menderita. Jalan tengah desain undangan Agni tetap dipakai untuk broadcast ke teman-teman mereka sudah cukup memperlihatkan usaha pria itu untuk menengahi.
Agni melangkah masuk ke rumahnya setelah memastikan mobil Aldio menghilangan di belokan gang. Ini hanya perasaannya, atau memang waktu yang dia habiskan dengan Aldio selalu terasa cepat berlalu?
Saat pintu rumah dibuka, Agni kaget karena mendapati sang ayah duduk melamun di sofa ruang tamu tanpa menyalakan televisi atau pun rokok. Suatu fenomena ganjil yang jarang terjadi. Biasanya sang ayah duduk di ruang tamu merangkap ruang keluarga itu hanya untuk memantau channel berita di televisi atau merokok saja.
“Ayah?” tegur Agni cemas.
Kejadian setelahnya berlangsung terlalu cepat. Mata sang ayah tiba-tiba berkilat marah. Tanpa mengatakan apa-apa, pria paruh baya itu menghampiri dan mendaratkan satu tamparan ke pipi kiri Agni.
Agni merasakan pipinya berdenyut sakit, tapi rasa sakit itu tentu tidak sebanding dengan kebingungan yang melanda hatinya saat ini.
Kesalahan fatal apa yang sudah dibuatnya sampai-sampai sang ayah yang tidak pernah ringan tangan jadi bersikap sekasar ini?
“Kamu hamil?” sang ayah menyodorkan test pack yang menunjukkan dua garis berwarna merah. “Apa ayah gak ngajarin kamu jaga kehormatan sebagai perempuan sampai kamu dan Aldio berani kelewat batas gini?” murka sang ayah tidak memedulikan rahang Agni yang kian mengetat.
***