Perfect Life

Perfect Life

kimitae

0

Namaku adalah Kim Jisoo. Seorang pengusaha yang mewarisi perusahaan dari Ayahku, Kim Sam. Hidupku yang bisa dibilang sempurna ini masih harus dituntut oleh pernikahan dari keluarga Ayah.

Sebenarnya Ayahku ini adalah ayah tiri. Ayah kandungku sudah meninggal saat aku berumur 2 tahun. Walaupun dia adalah Ayah tiri, tapi aku sangat menyayanginya layaknya Ayah kandungku. Begitupun sebaliknya, dia sangat memperlakukanku dengan baik walaupun agak semena-mena.

Ibuku (Shin Jihye) menikah dengannya ketika aku berusia 3 tahun. Dan sampai sekarang hanya mempunyai satu anak saja yaitu diriku. Meskipun keluarga kami hidup dengan baik, namun keluarga dari Ayah kebanyakan tidak menyukai aku dan Ibuku. Dari mulai kakak pertama, kedua, dan ketiga dari Ayah, semuanya sangat membenciku. Kecuali Bibiku yang merupakan adik dari Ayahku. Hanya dia yang menganggapku sebagai keponakannya.

Masalah muncul saat tiba-tiba Ayah memutuskan untuk menikahkanku dengan anak dari sahabat jauhnya. Berita diluar nalar itu aku terima ketika kami sedang sarapan bersama. Tentu saja aku syok dan tidak terima dengan keputusan Ayah. Posisiku saat itu baru satu minggu putus dari kekasihku yang berprofesi sebagai dokter bedah, Oh Jinseok.

Namun apa boleh buat? Walaupun ayah memberiku waktu untuk mencari pasangan, aku tidak bisa memenuhinya. Meski pernah membawa pria dan memperkenalkan pada Ayah, dia tahu jika itu adalah pria bayaran.

Di keluarga Ayah, untuk mewariskan perusahaan atau apapun syaratnya harus sudah menikah. Hal itu selalu dibicarakan di pertemuan keluarga. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa selain menerima sindiran-sindiran dari bibi-bibiku (kakak dari Ayah).

Pada akhirnya, pernikahan terpaksa kujalani meskipun semua cara sudah aku lakukan untuk membatalkannya.

****

"Kisseu! Kisseu! Kisseu! Kisseu!"

Begitulah para tamu undangan ketika meneriakiku dan Oh Sehun setelah kami mengucap janji pernikahan. Semua keluarga tampak bahagia ditengah kegugupan dan kepanikanku. Kulihat orang tuaku dan orang tua Sehun melihat kami dengan tatapan yang penuh haru.

Lalu bagaimana denganku? Aku hanya menerima nasib dengan pria didepanku ini yang sudah menjadi suamiku. Seorang petani bunga dari Jeju yang tidak aku sukai.

"Kisseu! Kisseu! Kisseu!"

"Kim Jisoo! Oh Sehun! Kajja!" Itu adalah teriakan bibiku yang merupakan adik dari ayahku, Kim Jin Ree. Dia memang orang yang sangat berisik dan paling heboh.

Aku menatap Sehun dengan gugup. Pria itu mulai menggenggam kedua tanganku dan mendekatiku. Kutatap matanya yang teduh dengan perasaan panik. Aku takut jika Sehun akan berani menciumku didepan semua tamu undangan dan juga keluargaku. Memang itu harus dilakukan sebagai suami istri setelah mengucap janji pernikahan, tapi aku tidak mau karena aku tidak mencintainya. Pernikahan kami hanya paksaan belaka.

"Jika kau benar-benar menciumku, aku akan membunuhmu!" Bisikku padanya saat wajah kami hampir bertabrakan. Tapi Sehun tak meresponku, ia hanya menatapku dalam diam mengamati seluruh wajahku.

Tangan Sehun sengaja memegang kedua pipiku sedangkan tanganku meremat jas yang ia kenakan. Sehun mulai memiringkan wajahnya, sementara jantungku sangat berdebar keras. Aku memejamkan mata saat Sehun mendekatiku. Lalu kudengar sorak-sorak dari semua tamu yang hadir dan tepuk tangan yang sangat meriah. Namun anehnya, aku tak merasakan apapun. 

Saat aku membuka mata, aku terpaku pada manik mata Sehun yang menatapku. Dia tidak menciumku. Dia sengaja menutupi bibir kami yang tidak menempel dengan tangannya. Beberapa detik kemudian Sehun menjauhkan badannya dan kami saling menghadap para tamu undangan dengan senyuman.

Aku bisa bernapas lega untuk itu. Sehun ternyata menuruti ucapanku. Ayah dan ibuku bergandengan bersama melihatku dan Sehun berada di pelaminan. Disebelahnya ada kedua orang tua Oh Sehun yang juga turut bahagia.

Kulihat pria disampingku menyunggingkan senyum yang manis. Sedangkan aku hanya mengulas senyum sangat tipis. Ya, karena aku tidak ingin menikah dari awal. Apalagi Sehun adalah seorang petani bunga. Dia sangat tidak sepadan denganku. Aku juga muak dengannya karena dia tidak mau menolak pernikahan ini.

Selanjutnya, aku dan Sehun melakukan foto bersama. Setelah kami melakukan foto dengan keluarga dan para tamu, kami segera melanjutkan sesi foto berdua. Walaupun kami terlihat sangat serasi dengan pakaian yang senada dan berpose romantis, tapi semua itu palsu.

****

"Hufftt~!!!" Aku merebahkan tubuhku di ranjang dan menghela napas lega setelah seharian lelah dengan serangkaian acara pernikahan. Aku sudah ganti pakaian dan menghapus make up. Aku cepat-cepat kembali ke kamar hotel sedangkan Sehun dan yang lain masih mengobrol dengan para tamu meskipun acaranya sudah selesai.

Drrtt! Drrtt!

Belum sempat lima detik aku terpejam, suara getaran ponsel memaksaku membuka mata kembali dan segera bangun untuk mengambilnya di atas nakas. Tepat setelah aku membuka layar, terdapat banyak sekali notif dari teman-teman yang menanyaiku tentang pernikahan yang mendadak ini. Sebenarnya aku sengaja merahasiakan ini dari mereka karena latar belakang Sehun yang seorang...

"Omo! Ige mwoya? Kenapa mereka bisa tahu Sehun adalah petani bunga?!" Aku benar-benar terkejut saat membuka pesan dari Park Chaeyoung, Kim Jenny, dan juga Lisa, teman-teman hangoutku.

Kemudian aku mengecek akun media sosialku dan saat di beranda ternyata bibiku mengupload fotoku dan Sehun saat berciuman. Pantas saja mereka tahu jika aku menikah dengan tukang bunga. Pasti mereka stalking akun milik Sehun karena bibiku menandaiku dan juga pria itu. Sial!

Klek!

Aku menoleh saat mendengar pintu dibuka dan melihat Sehun memasuki kamar. Mungkin para tamu sudah pulang, makanya dia balik ke kamar cukup cepat. Aku segera kembali menatap ponselku untuk membalas pesan dari Jenny. Namun tiba-tiba terbesit pertanyaan dimana orang tuaku? Ya, aku meninggalkan semuanya dengan alasan tidak enak badan.

"Hei! Dimana orang tuaku? Apa mereka langsung pulang? Atau masih di hotel?" Sehun mengurungkan niatnya saat akan membuka pintu kamar mandi, lalu menatapku.

"Masih di hotel." Jawabnya sekilas.

"Tamu undangan?"

"Mereka sudah pulang." Jawabnya lagi.

Aku mengangguk paham. Entah mengapa mendadak aku kepikiran tentang kejadian 'ciuman palsu' tadi.

"Oh Sehun!" Panggilku yang lagi-lagi menghentikan pria itu masuk ke kamar mandi. 

"Mengenai ciuman tadi, aku sangat berterima kasih." Ucapku tanpa rasa bersalah. Sedangkan Sehun hanya tersenyum tipis dan mengangguk, lalu segera memasuki kamar mandi.

****

Sore ini aku, Sehun dan kedua orang tuaku checkout dari hotel. Sementara orang tua Sehun sudah kembali ke Jeju sesaat sebelum kami melakukan checkout.

Kini aku dan Sehun berada di basement, koper-koper yang kami bawa sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Tinggal menunggu Ayah dan Ibuku yang sedang berjalan menghampiri kami dengan membawa beberapa koper mereka. Sehun yang melihatnya langsung membantu Ayah memasukkan koper ke dalam bagasi.

"Kalian sudah memutuskan untuk tinggal di Jeju atau di Seoul?" Tanya Ayahku setelah menutup bagasi mobil.

"Kami akan tinggal di Seoul. Sehun memutuskan untuk mengikutiku karena pekerjaanku tidak bisa aku tinggalkan." Jawabku mewakili Sehun, lalu menatapnya agar pria itu tidak lupa tentang persetujuan sebelum menikah kala itu.

"Lalu bagaimana dengan kebun bungamu jika kau disini?" Tanya Ayahku lagi, kali ini menuntut jawaban dari pria disampingku ini. Aku membuang wajah.

"Ayah tenang saja, aku bisa menghandlenya. Lagi pula mengelola kebun bunga tidak harus setiap hari didatangi. Beda dengan Jisoo yang pekerjaannya sebagai CEO perusahaan, itu sangat tidak bisa ditinggalkan." Jawab Sehun.

Syukurlah jika dia sadar diri. Batinku sambil bersidekap dada.

Ayah langsung memegang pundak menantunya itu. "Kau jangan merendah seperti itu. Semua pekerjaan sangat penting, namun jika kau sudah memutuskan, Ayah tidak bisa melarang."

"Oh iya Ayah, aku dan Sehun hari ini langsung ke apartemen." Ucapku memberitahu orang tuaku. Ada alasan tersendiri kenapa aku memutuskan untuk cepat-cepat pisah rumah dari orang tuaku. Jika aku dan Sehun masih berada di rumah orang tuaku, pasti kami akan tidur bersama dan aku tidak mau untuk itu.

"Langsung? Tidak mampir ke rumah dulu?" Tanya Ibuku yang langsung disenggol oleh Ayah.

"Biarkan saja. Apa kau lupa mereka adalah pengantin baru?" Sindir Ayah yang mungkin sudah berpikiran lebih jauh.

"Ah iya benar. Ya sudah, kami pulang dulu. Setelah sampai di apartemen, kalian cepatlah istirahat. Mengerti?"

Aku dan Sehun mengangguk meng-iyakan ucapan Ibu. Kemudian kedua orang tuaku berpamitan lebih dulu dan setelah mobil mereka melaju, barulah aku dan Sehun menuju apartemen yang telah lama tidak aku tinggali.

****

Kami sampai di apartemen. Tidak! Lebih tepatnya adalah griya tawang. Sebuah apartemen mewah yang hanya bisa dimiliki oleh para konglomerat dan mempunyai kartu member eksklusif untuk dapat masuk ke dalamnya. Sekejap Sehun memandangi mewahnya ornamen yang berada di ruang tamu ketika kami memasukinya. Walaupun sudah lama tidak aku singgahi, tapi kondisi apartemen ini masih sangat baik dan rapi karena setiap 2 minggu sekali aku membayar orang untuk membersihkannya.

Aku menoleh dan menatap Sehun yang dari tadi diam. "Ini adalah kamarku." Aku menunjuk sebuah pintu di sebelah kiriku.

"Dan kamarmu ada di sebelah sana." Aku menunjuk pintu diseberang kananku.

Sehun mengerutkan dahinya. "Bukankah kita satu kamar?"

"Satu kamar? Apa kau gila? Kau lupa jika aku terpaksa menikah denganmu? Kita akan hidup sendiri-sendiri, mengerti?" Aku sungguh kesal melihatnya, entah apakah aku akan tahan hidup berdampingan dengannya. Sehun telah menghancurkan statusku karena telah menyetujui permintaan kedua orang tua kami.

"Ah, satu lagi." Aku mengeluarkan surat nikah didalam tas yang aku bawa dan menaruhnya di meja ruang tamu. 

"Kau saja yang simpan." Lalu aku segera mengambil koper dan masuk ke dalam kamar meninggalkan Sehun yang masih terdiam. Aku tak peduli dengannya, lebih baik aku mandi dan segera tidur. 

20 menit berlalu, aku sudah mandi dan mengenakan piyama dengan bahan sutra berwarna pink kesukaanku. Setelah menyisir rambut, aku berencana untuk segera tidur. Namun saat membuka selimut, terdapat seekor kecoa yang masih hidup dan aku langsung berteriak histeris.

"AAAAAA!!!!!! KECOAA!!!!" Karena takut dan jijik, aku membuang selimutku ke lantai dan segera berlari ke kamar sebelah.

"SEHUNNN!!!!" Tanpa mengetuk pintu aku langsung melesat masuk ke dalam kamar Sehun dan spontan memeluk pria itu yang tengah terbaring.

"Jisoo, ada apa?!" Tentu saja pria itu sangat terkejut karena tiba-tiba aku memeluknya dan menangis.

"DI KAMARKU ADA KECOA!!! TOLONG AKU!!!!" Ucapku yang masih histeris dan ketakutan. Jujur, aku mempunyai fobia dengan kecoa dan hewan melata. Jadi saat melihatnya aku langsung keringat dingin dan berteriak.

Sehun bangun dari tidurnya dan mengajakku duduk. Dia mengusap air mataku, lalu menghela napas saat melihatku. "Tunggu disini sebentar."

Sehun keluar kamar meninggalkanku disini. Entah apa yang ia lakukan. Jantungku masih berdebar kencang hingga aku meringkuk memeluk kedua kakiku. Dahi dan tanganku sudah basah karena keringat meskipun kamar ini ber-AC. 5 menit kemudian Sehunn masuk membawakan secangkir teh hangat untukku.

"Minumlah, tenangkan dirimu. Tarik napas dan buang perlahan."

Aku mengangguk menuruti perintah pria yang sudah menjadi suamiku ini. Setelah merasa lebih baik, Sehun menaruh teh yang aku pegang.

"Kau tidur saja disini." Ucapnya.

"Tapi__"

"Kau tenang saja. Kamar ini sudah aku bersihkan." Potong Sehun.

"Bukan. Bukan itu..." Masa iya aku harus sekamar dengannya? Sebenarnya masih ada kamar lain, tapi tidak pernah dipakai. Bagaimana kalau kamar itu malah ada kecoa lagi? Aku bisa-bisa pingsan karena tidak kuat menahan fobia.

"Aku akan tidur di sofa ruang tamu. Sekarang kau istirahat. Aku juga akan tidur setelah membersihkan kamarmu." Ucap Sehun, kemudian keluar dan menutup pintu kamar.






Bersambung...