Perempuan yang Kau Cinta

Perempuan yang Kau Cinta

AmelliaSan

5

"Sayang tidur di kamarku, yuk. Mau, ya?" Aretha bergelayut di lengan Arga. Ia tetap bertahan meski lelaki itu berusaha melepaskan diri.


"Lepasin, Tha!" 


"Nanti aku lepasin kalau kamu mau ke kamarku," jawab Aretha dengan nada manja.


Arga menatap tajam ke arah Aretha, "Kamu harusnya tahu jawabanku apa?!" sindirnya ketus.


"Aku tahu. Makanya aku usaha, Sayang," goda Aretha. Tak peduli selama tiga bulan pernikahan, Arga selalu menolak untuk tidur sekamar dengannya.


Tak mampu menahan kesabaran lagi karena istrinya tetap bergelayut manja di lengannya, Arga semakin kesal. Amarahnya pun pecah.


Aretha terjatuh di lantai karena tidak menyangka jika suaminya bisa setega ini. Lengan kanannya terasa sakit karena menahan tubuhnya sendiri. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak menangis. Aretha tahu jika sebenarnya Arga bukan laki-laki seperti ini.


Arga pun terkejut atas tindakannya yang keterlaluan. Sama sekali ia tak bermaksud untuk mendorong istrinya sampai terjatuh seperti ini. Mungkin saja Aretha yang mendramatisir keadaan demi mendapat atensinya. Dasar anak manja, gerutunya.


"Sudah kubilang jangan paksa aku!" tegas Arga, bersiap akan meninggalkan istrinya. Namun, ia tak menyangka mendengar teriakan wanita yang amat berjasa pada hidupnya. "I-bu ada di si-ni?" 


"Ternyata seperti ini kelakuan anak kesayangan Ibu," ujar Ratmi teramat kecewa. Ia langsung berjongkok untuk membantu menantunya berdiri. "Maafkan Ibu, ya, Tha. Ibu gagal mendidik Arga sampai sekasar ini ke kamu."


"Ini salah saya, kok, Bu. Harusnya saya nggak memaksa Mas Arga …."


"Kamu nggak memaksa, Tha. Itu hakmu sebagai istri," ujar Ratmi dengan lembut. "Memang sudah seharusnya suami istri itu tidur sekamar," sindirnya, kali ini ia mengalihkan tatapan tajam ke anak sulungnya. "Sekarang kamu masuk ke kamar sama Aretha!" perintahnya dengan tegas.


Aretha tersenyum dengan penuh kemenangan saat ibu mertuanya sibuk memarahi suaminya. Meski, harus dibayar dengan lengannya yang masih terasa sakit. Ide untuk meminta ibu mertuanya ke rumah untuk mengajarinya memasak, ternyata merupakan langkah brilian. Lihat saja, kini ia berhasil menggaet suaminya sendiri untuk masuk ke kamarnya.


"Aku sudah menyuruh pembantu untuk membawa baju-baju dan semua perlengkapanmu ke sini. Jadi kamu nggak ada alasan untuk keluar dari sini," kata Aretha setelah menutup pintu kamarnya.


Sedangkan Arga segera menyingkirkan tangan Aretha agar tidak lagi bergelayut di lengannya. "Kenapa kamu mengajak ibuku ke sini? Mau mengadu?"


"Kan, sudah kubilang, aku akan terus berusaha, Sayang," jawab Aretha senang. Saat akan mencium pipi Arga, lagi-lagi ia mendapat penolakan.


"Jangan harap usahamu berhasil, Tha," sahut Arga sambil menatap istrinya. "Sudah kubilang kamu nggak akan mendapat apa-apa dariku."


"Seenggaknya aku bisa membuatmu sekamar denganku. Dan, aku bersyukur, Sayang." Aretha meletakkan jemarinya yang halus ke pipi Arga. 


Arga mengangkat telapak tangan Aretha tanpa berbicara apapun, hanya melemparkan tatapan tajam pada istrinya, perempuan yang pantas ia benci setengah mati.


Mendapat tatapan penuh kebencian dari Arga, membuat mata Aretha berkaca-kaca. Ia tak tahu lagi bagaimana membuat Arga sedikit saja mencintainya. 


Tatapan tajam Arga berubah menjadi kebingungan ketika melihat apa yang kini dilakukan istrinya tepat di hadapannya.


"Kamu mau ngapain, Tha?" tanya Arga kebingungan. "Kamu bisa, kan, ke kamar mandi?"


"Ini kamarku, kan? Ini juga rumahku," ujar Aretha dengan santai sambil sibuk melepaskan resleting gaun malamnya, membiarkan pakaian itu terjatuh ke lantai. Ide gila ini terlintas begitu saja di kepala.


Sebagai seorang laki-laki, Arga sempat tidak bisa menolak pesona kecantikan Aretha selama beberapa detik. Jika dulu saat malam pertama, ia bisa meninggalkan istrinya sendirian di kamar pengantin setelah resepsi. Namun, kini tidak mungkin karena ia tadi mendengar Aretha mengunci pintu kamar.


Naluri lelaki membuat Arga melepas jas hitamnya saat Aretha mencium bibirnya. Harum wewangian yang dihidu membuatnya lepas kendali, mengikuti permainan Aretha. Arga menjatuhkan istrinya ke ranjang. 


Jemari Arga meraba setiap jengkal kemolekan tubuh Aretha tanpa mengakhiri pagutan. Sedangkan, istrinya melepas ikat pinggang, lalu menurunkan resleting celana. 


Sensasi yang Aretha berikan di bawah sana, membuat Arga menggeram, menginginkan pelampiasan lebih. 


Seketika bayangan perempuan yang dicintainya muncul di benak, membuatnya gagal meraih puncak kenikmatan. Hingga akhirnya, mampu menyadarkan Arga untuk mengakhiri pergumulan panas malam itu. Dengan perasaan kesal, ia meninggalkan Aretha yang terbaring dengan napas terengah-engah di ranjang begitu saja.


Aretha hanya menatap langit-langit kamar. Air matanya membasahi pipi. Setidaknya ia menangis setelah Arga pergi begitu saja.


⭐️⭐️⭐️


Di ruang makan, sebisa mungkin Aretha menampakkan senyum semanis mungkin di depan ibu mertuanya. Setidaknya Aretha masih bisa menggandeng tangan Arga, bahkan menyandarkan kepala di bahu suaminya, tanpa lelaki itu bisa protes.


"Gimana tadi malam, kalian berdua berhasil, kan?" tanya Ratmi ingin tahu.


"Berhasil dong. Ini berkat bantuan dari Ibu," sahut Aretha senang bukan main, tentunya ekspresi inilah yang diinginkan ibu mertuanya, bahkan dirinya sendiri. "Makasih, ya, Bu. Nggak sia-sia jauh-jauh ke sini demi Mas Arga biar mau sekamar denganku."


Arga terbatuk-batuk, lalu meneguk segelas air untuk mengusir rasa gatal di tenggorokan. Mengingat peristiwa semalam membuatnya kesal karena sempat kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.


"Ibu jadi tenang mendengarnya. Kalau begitu siang ini Ibu pulang ke rumah. Nara pasti cariin Ibu."


"Kan, ada bude di rumah, Bu. Lagian Nara sudah remaja juga. Ibu tinggal di sini seminggu, ya," ajak Aretha penuh harap. "Biar Ibu cepat punya cucu."


"Ibu inginnya begitu. Tapi, Nara itu meski sudah SMA tetap saja baru bisa makan kalau Ibu yang masak." Ratmi mengalihkan tatapannya ke anak sulungnya yang masih terdiam. "Kamu, Arga, jangan lagi kasar-kasar sama menantu kesayangan Ibu. Awas saja, kalau kalian nggak tidur sekamar."


"Aku berangkat ke kantor dulu kalau begitu, Bu." Arga berusaha melarikan diri dari desakan ibunya. Sebelum meninggalkan ruang makan, lelaki itu berpamitan sambil mencium tangan ibunya.


Aretha mengambil kesempatan langka untuk bisa mencium tangan suami tercintanya. Selama tinggal bersama di rumah ini, ia tak pernah melakukannya karena Arga selalu menolak.


"Arga, kamu lupa nggak cium kening istrimu."


Dengan terpaksa, Arga menempelkan bibir sekenanya di dahi istrinya.


Layaknya seorang istri, Aretha mengantar Arga ke mobil sambil melingkarkan tangan ke lengan suaminya, menyandarkan kepala di bahu lelaki yang dicintainya. Ia mensyukuri detik demi detik bersama suaminya hingga terpaksa melepaskan Arga untuk masuk ke mobil.


"Hati-hati di jalan, Sayang. Semoga lancar di kantor. Salam buat Papaku, ya," ujar Aretha semanis mungkin sambil melambaikan tangan sebelum Arga menutup pintu jendela. Ia tahu jika Arga tidak mendengarkannya sama sekali.


Untuk melupakan kesedihannya, Aretha menghabiskan waktu di rumah bersama ibu mertuanya sambil belajar memasak. Ia merasa senang tidak kesepian di rumah seperti biasanya. 


Sayangnya saat waktu menunjukkan pukul sebelas siang, Ratmi harus bersiap-siap untuk pulang.


"Tha, Ibu berangkat dulu, ya, takut ketinggalan kereta." Saat melihat mata menantunya berkaca-kaca, Ratmi menaruh tasnya kembali. "Retha, kapan-kapan main ke rumah Ibu sama Arga, tapi …."


"Tapi kenapa, Bu?" tanya Aretha penasaran.


Ratmi menimbang-nimbang sebelum berbicara, "Ibu khawatir nanti kalau Arga pulang, Arga pasti ingat-ingat perempuan itu lagi."


"Memang perempuan yang disukai Mas Arga itu masih tinggal di dekat rumah Ibu?" tanya Aretha sedih.


"Iya, dulu masih tetanggaan. Dia tinggal di rumah bersama ibunya. Tapi setelah Arga menikahmu, mereka pindah nggak tahu ke mana. Mungkin dia malu karena nggak jadi nikah sama Arga."


Seketika Aretha merasa bersalah. Namun, semuanya telah terlambat.