Pengantin Pribumi

Pengantin Pribumi

atanasiaayu

4.7

 

(Yogyakarta, 1920)

Sambil dibantu oleh dua rewang (pembantu), akhirnya pagi ini aku memakai kebaya favoritku, kebaya berbahan bludru berwarna merah marun. Sambil mereke merapihkan rambutku dan membuatnya menjadi sanggul, kami bertiga pun mengobrol dengan asyik, membicarakan tentang beberapa kejadian lucu yang terjadi hari kemarin. Selesai berdandan, sekarang aku tengah sarapan di ruang makan bersama ibu.

Selesai makan, aku dan ibu duduk di teras dan melihat andong sudah keluar dari kendang. Bapakku, Raden Bayu Kusmanto yang berprofesi sebagao bupati di Yogyakarta, muncul dan tengah bersiap untuk pergi ke kantor. Ibuku beranjak dari duduknya dan langsung membantu bapak merapihkan pakaiannya.

“Bapak sudah makan?” tanyaku.

Bapak mengangguk. “Sudah.”

Aku mengangguk dan tersenyum ketika bapak menepuk kepalaku.

“Bapak pergi kerja dulu. Kamu jaga rumah sama ibu, ya?” ucapnya.

Aku tersenyum sambil mengangguk lalu kami berdua melihat ayah kami naik ke atas andong dan pergi keluar dari rumah kami. Kami masuk ke dalam, ibuku melanjutkan kegiatan menjahitnya di kamarnya dan aku di dalam kamarku, melanjutkan bacaanku. Bapak baru saja memberiku buku bacaan baru sebagai hadiah ulang tahunku minggu lalu.

Satu jam berlalu. Ketika aku hampir sampai di paragraf terakhir, ibuku memanggilku. “Nala?”

Aku keluar dari kamar dan ibu pamit karena harus pergi ke tempat temannya untuk mengambil baju pesananannya. Aku keluar dari kamar dan mengikutinya sampai ke teras rumah.

“Ibu mau pergi ke tempat Nyonya Mirna?” tanyaku.

“Iya. Kamu jaga rumah, ya?” pintanya.

Aku mengangguk pelan sambil duduk di kursi teras. “Ibu jadi pesan bajunya?”

Ibuku menoleh, ibu tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Iya. Ibu sudah pesan semuanya.”

“Oh..” hanya itu yang keluar dari mulutku. “Ngatos-atos, Bu. (Hati-hati, Bu.)”

Ibuku mengangguk lalu naik ke atas andong.

Sekarang, sambil ditemani pengasuhku, Mbak Minah, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sekitar rumah. Karena bapak adalah bupati, maka kami berkesempatan untuk mendapat rumah yang lumayan besar. Rumah kami berbentuk joglo tentunya dan lengkap dengan pendapa di depan rumah. Pendapa ini biasa kami gunakan untuk menyambut dan mengobrol dengan tamu.

Dan sebentar lagi akan ada acara besar di pendapa ini.

“Non Nala, gimana perasaannya?” tanya Mbak Minah dengan ceria.

Aku tersenyum ke arahnya lalu mengangkat bahu sambil membelai dekorasi bunga yang ada di pinggir pendapa. “Campur aduk.”

Mbak Minah terkekeh sambil merapihkan rambutku. “Calon suaminya Non Nala ganteng, lho. Baik sama sopan juga. Udah cocok sama Non Nala.”

Aku lagi-lagi hanya terdiam dan duduk di salah satu kursi yang ada di pendhapa, menikmati dekorasi pernikahan yang sudah dipasang di beberapa sudut pendhapa.

Betul sekali. Sebentar lagi aku akan menikah dengan seorang laki-laki yang bapak amat kagumi. Anak laki-laki dari seorang pemilik kantor penerbit yang ada di Yogyakarta. Kami memiliki beberapa kesamaan seperti sama-sama anak tunggal, hobi membaca, melukis dan menyanyi. Yang membedakan adalah aku adalah pribumi sedangkan dia memiliki keturunan Tionghoa, ibunya berkebangsaan Indonesia dan ayahnya berkebangsaan Tionghoa.

Bapak kami bersahabat sejak sekolah di HBS (Hogere Burgerschool, pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa, Tionghoa, dan elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.) dan masih bersahabat sampai sekarang, sampai mereka menjadi orang terkemuka di Yogyakarta.

Calon suamiku bernama Huang Wonwoo, seorang penulis buku terkenal keturunan Tionghoa di kota ini. Karena dia memiliki kesempatan yang lebih banyak dan besar untuk mengenyam pendidikan, dia pun punya pandangan dan pengetahuan yang lebih luas dariku yang sejak kecil hanya tinggal di Yogyakarta dan di dalam rumahku sendiri. ‘Mas’ Wonwoo sendiri bersekolah di Hollandsche Chineesche School di Jakarta lalu mengenyam pendidikan langsung di Eropa sebelum dia pindah ke Indonesia dan menetap di Yogyakarta. Lewat karya Mas Wonwoo, aku bisa melihat dunia luar, terlebih dunia Eropa lewat tulisan-tulisannya.

Kami bisa bertemu karena aku, sebagai penggemar, iseng-iseng mengirim surat pada Mas Wonwoo, yang ternyata sedang menetap di Batavia pada waktu itu, menyampaikan bahwa betapa aku menyukai karya-karyanya. Dan ternyata surat itu sampai padanya lalu dia memutuskan untuk bertemu denganku. Sekaligus orang tua kami reuni dan berujung dengan perjodohan itu.

Apakah aku bahagia? Tentu saja aku bahagia karena sejak pertama kali kami bertemu, kami tidak menyangka kalau akan langsung merasa suka satu sama lain. Mas Wonwoo juga langsung memikat hatiku dengan memberiku salah satu bukunya, buku tentang indahnya negara Eropa. Aku baru sadar, ternyata semudah itu mengambil hatiku.

Tapi.. aku juga tidak sepenuhnya bahagia.

Maaf, aku tadi berbohong soal perasaanku. Ada seseorang yang mungkin hatinya tengah hancur ketika ayahku mengumumkan kalau aku akan menikah dengan Huang Wonwoo.

 

***

 

Malam ini orang tuaku pergi untuk menghadiri pernikahan salah satu kerabat mereka dan aku memutuskan untuk berada di rumah. Aku ada di dalam kamar, melanjutkan bacaanku sampai Mbak Minah masuk ke dalam kamar dan memberitahu kalau ada tamu yang datang ke rumah. Aku bergegas turun ke pintu depan rumah dan jantungku berdeup kencang ketika melihat siapa yang datang. Seorang laki-laki berkebangsaan Belanda sudah datang di depan rumahku dengan jas putih kesayangannya. Rambutnya pirang dan badannya tinggi. Dia tersenyum sambil melepas topinya. “Selamat malam, Nala.”

Aku tersenyum sambil berjalan ke arahnya. “Selamat malam, Menir Johnny.”

Dia tersenyum makin lebar lalu aku meminta Mbak Minah untuk membuatkan kami minuman sementara kami duduk di teras.

“Bapak dan ibu ke mana?” tanyanya.

“Pergi ke pernikahan teman,” jawabku sambil menuangkan teh panas  ke dalam gelasnya.

Dia tersenyum dan menyesap tehnya.

Namanya Johnny Gottahrd, seorang lelaki berkebangsaan Belanda yang juga berprofesi sebagai penulis, sama seperti Huang Wonwoo. Yang membedakan adalah dia lebih banyak menulis tentang cerita romansa dan peminat bacaannya juga banyak. Ya, meskipun hanya orang-orang kalangan elit seperti kami atau bangsawan yang bisa membacanya. Tapi tetap saja, peminatnya banyak, termasuk aku dan beberapa teman perempuanku. Selain berprofesi sebagai penulis, Johnny juga memiliki kebun teh di daerah Surabaya.

Dia hanya menganggukkan kepala sebelum dia menyesap teh itu lalu ada keheningan selama beberapa saat, kami sibuk dalam pemikiran masing-masing padahal kami tahu kalau kami memikiran satu hal yang sama.

Aku menoleh dan menatapnya. “Kamu menangis?”

Johnny menatapku dan menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Tidak.”

“Aku mungkin mengenal kamu hanya dalam hitungan bulan, tapi aku sudah tahu kalau kamu itu tidak pandai berbohong. Mata kamu merah dan bengkak.”

Senyumnya perlahan pudar. “Aku menangis semenjak bapak kamu mengumumkan kalau kamu akan menikah dengan Huang Wonwoo.”

Ya, aku sudah tahu alasannya tanpa harus bertanya.

Aku dan Johnny juga saling menyukai satu sama lain, kami bertemu pertama kali ketika ayahku diangkat menjadi bupati. Di rumah ini kami bertemu dan di rumah ini juga kami saling langsung terpikat satu sama lain dan setelah itu Johnny sering berkunjung kemari dengan dalih ingin melihat batik koleksi ibuku.

Genap tiga bulan kami saling kenal dan sebenarnya berpacaran, ibuku yang tahu apa yang terjadi di antara kami setelehnya, langsung mengadu ke bapak. malam harinya bapakku langsung mengatakan pada kami kalau bapak tidak merestui hubungan kami. Alasannya? Bapakku tetap merasa tidak suka dengan apa yang sudah para Belanda lakukan di negeri ini meskipun bapakku berhasil menjadi bupati juga karena pengaruh dan bantuan mereka. Tapi tetap saja, bapakku tidak ingin berdekatan mereka jika tidak sangat terpaksa.

Semenjak saat itu, kami akhirnya setuju untuk mengakhiri hubungan kami.

 Setelah menyogng Mbak Minah dengan susu kental manis agar dia tutup mulut, sekarang aku berhasil membawa Johnny ke kamarku. Dia duduk di pinggir ranjangku dan aku mengeluarkan salah satu jas pengantin yang akan Wonwoo pakai di hari pernikahan kami. Aku melepas pakaiannya dan membantunya memakai baju pengantin itu beserta blangkonnya. Aku pun pindah ke kamar samping dan keluar memakai pakaian pengantinku.

Dia tersenyum lebar dan memegang kedua tanganku, sibuk menikmati pemandangan yang ada di depannya. Sekarang kami tengah bercermin, mengagumi penampilan kami sebagai pasangan pribumi meskipun hanya mala mini.

Dia menoleh dan menatapku. Aku tersenyum lebar sambil membelai bajunya. “Je ziet er goed uit,” ucapku yang artinya ‘Kamu terlihat tampan’.

Bedankt,” jawabnya yang artinya. ‘Terima kasih’.

Aku membelai pipinya dan dia perlahan-lahan menangis.

“Aku ingin jadi pribumi,” ucapnya sambil terisak.

Ucapannya benar-benar membuatku sedih, Johnny sejak dulu berkata seperti ini setelah bapakku melarang hubungan kami. Keinginannya untuk bebas dan bahkan menjadi pribumi semakin besar meskipun hal itu adalah mustahil terjadi

Dan akhirnya aku menangis. Aku terisak sambil tersenyum dan membelai kedua pipinya. “Jangan. Nanti kamu dijajah.”

Dia akhirnya menangis tersedu-sedu dan aku memeluknya. Aku memendam wajahku pada dadanya, tangannya memeluk badanku dan mendekapku lebih dekat. Dia menangis tersedu-sedu dan aku berkali-kali memintanya untuk diam dengan nada halus. Aku menarik badanku dan menciumnya agak lama sambil membelai lehernya. Dia akhirnya balas menciumku dengan ibu jarinya yang menyeka pipiku. Aku menghela nafas ketika dia mencium leherku beberapa kali sebelum dia mencium bibirku lagi.

“Kita pribumi meski hanya malam mini,” ucapku.

 

***