Aku menarik selimut hingga menutupi kepala, kemudian membalikkan tubuh. Aku belum siap berpisah dengan kenyamanan ini. Udara dingin, suara rintik hujan yang menghantam genting, cahaya matahari yang kesulitan menembus tirai kamar merupakan paket komplit definisi Bandung syahdu. Siapa yang rela berjauhan dari kasur jika seperti ini?
Aku nyaris kembali terlelap jika saja raungan ponsel minim akhlak enggak kembali menggangguku. Tolong, biarkan aku kembali masuk ke dalam mimpi. Sayangnya, dering kurang ajar benda pipih itu enggak menyerah. Dia kembali menggema dengan volume yang lebih memekanan telinga dari sebelumnya.
"Duh, Gusti!" erangku setelah gagal menghalau bunyi. Ternyata menutup telinga menggunakan bantal enggak bisa jadi solusinya.
Tanpa berniat keluar dari gelungan selimut, aku menjulurkan tangan dan berusaha meraih ponsel di atas nakas. Kenyataan kedua kembali menghantam ekspektasiku. Nyatanya, mengambil ponsel tanpa melihat dan dalam kondisi setengah sadar begini bukanlah perkara mudah. Setelah berkali-kali menyentuh bagian kosong, akhirnya aku berhasil mendapatkan benda canggih yang cerewet itu.
Aku membawa masuk ponsel ke balik selimut. Bersusah payah membaca layar dengan mata masih erat memejam seperti dilumuri lem UHU. Suara mengganggu sejak tadi rupanya bukan berasal dari panggilan telepon, hanya alarm. Aku berhasil membacanya sekilas dan langsung menggeser layar untuk mematikannya. Kalau sedang begini otakku memang suka lama bekerjanya.
Rasa kantuk yang enggan sepenuhnya hilang tadi kembali menggelayuti mataku. Tubuh terasa terombang ambing di atas ombak menenangkan sekaligus nyaman. Mimpi itu sudah di depan mata. Tinggal setitik lagi maka aku akan berlayar di dunia mimpi. Tepat sebelah kakiku akan menginjak lantai bunga tidur, hasil kerja otakku yang tadi bergerak lamban kini muncul. Ia membentang luas menghajar kesadaranku.
"Enggak!" seruku dalam hati.
Tubuhku otomatis tersentak membuka selimut dan langsung duduk. Mataku terjaga sempurna. Hilang semua segala syahdu dan kantuk, berganti keringat dingin meluncur di punggungku.
Dengan cepat kucari ponsel yang tadi diletakkan sembarangan. Kali ini enggak sesulit sebelumnya dan enggak memakan waktu lama. Segera kubuka catatan pengingat pada kalender. Ada lima catatan di pengigat hari ini.
Mataku membulat ketika membaca catatan pengingat paling atas. Aku mematung setelah membaca agenda pertama hari ini. Aku lebih tertegun lagi ketika menyadari kebodohanku yang melupakan hari ini. Bagaimana mungkin?
"Ini pasti karena stress skripsi," kilahku mencari pembenaran.
Aku membenamkan wajah pada kedua belah telapak tangan. Rasa sesal campur kesal pada diri sendiri bermunculan, menghantuiku tanpa belas kasihan.
"Hari ini enam tahunnya Ambu," lirihku dengan bahu merosot dan tangan yang terkulai di atas tempat tidur.
Tenggorokanku tercekat. Ada pedih yang menyerang hidung dan bola mataku. Aku mengedipkan mata berkali-kali demi menghalau desakkan di baliknya. Usahaku nyaris gagal, tapi aku enggak kehabisan ide. Kudongakkan kepala menghadap langit-langit kamar yang dilukis awan indah oleh Abah. Pria yang menjadi cinta pertamaku itu sangat mahir bermain warna dan kuas. Maka enggak heran kalau dia menduduki jabatan penting di kampus tempatnya mengajar. Kampus yang sama dengan tempatku menimba ilmu.
Kantukku sama sekali sudah hilang. Bahkan hasrat untuk rebahan di tempat tidur empuk dan hangat pun sudah lari tunggang langgang. Aku beranjak dari tempat tidur, meraih ikat rambut di atas nakas sebelum keluar dari kamar.
Abah duduk di teras asyik membaca berita dari koran langganannya. Tak peduli perkembangan media sudah semelesat apa, bagi Abah, membaca berita dengan koran ditemani secangkir kopi dan singkong goreng di pagi haru enggak akan bisa tergantikan oleh apa pun.
Aku duduk di kursi kosong sebelah abah. Dulu, saat mendiang ambu masih hidup, jika beliau sudah selesai dengan pekerjaan rumah, ambu akan duduk di sini menemani abah. Sampai aku duduk di bangku SMA, abah dan ambu tetap konsisten menjadi pasangan romantis. Mereka enggak malu menunjukan cintanya di depanku. Dari mereka berdualah aku jadi punya standard kriteria cowok idaman. Ya, meski pun sampai detik ini statusku belum berubah dari jotik (jomblo cantik).
"Sinarieun kabeurangan, Neng?"¹ tanya abah sambil melipat koran yang selesai dibacanya.
Oke, pertama-tama mari kita luruskan dulu. Namaku bukan Neng apalagi Neng Nang Neng Gung. Neng hanya panggilan sapaan pada anak perempuan. Kedua, selama ini belum ada acara bubur merah - bubur putih untuk mengganti namaku di akta kelahiran. Artinya, namaku masih Jelita Prahadi, hasil produksi Pak Gani Prahadi dan almarhumah Bu Sukma Ambara.
"Jeje Nembe tibra adzan awal, Bah. Nuju se'eur revisi skripsi,"² jawabku yang enggak sepenuhnya berdusta.
Kemarin dosen pembimbing memintaku merevisi nyaris setengah dari skripsi yang sudah selesai kubuat. Katanya sih demi relevansi antara satu dengan hal lainnya yang kubahas di dalamnya. Jujur saja, aku curiga Pak Sungkono punya motif lain. Sebab semua revisi yang beliau berikan selama ini lebih ke arah dia enggak rela aku sidang, dari pada ingin membantuku cepat lulus. Nasib.
Setelah menyesap kopi hitamnya, abah berkata, "ulah cape teuing, Geulis."³
Aku mengangguk patuh. Memang apa lagi yang bisa kulakukan selain manut? Aku enggak mau mengambil risiko dikutuk jadi sapu terbang oleh Abah. Memang sih belakangan ini kemacetan Bandung sudah mirip Jakarta. Mungkin kendaraan terbang bisa jadi salah satu solusi mengatasi macet. Tetapi berubah jadi sapu apalagi sapu ijuk, kan, enggak keren juga.
"Skripsi memang penting, tapi kesehatanmu jauh lebih penting, Je," sambung Abah lagi.
Lagi, aku menyahutinya dengan mengangguk takzim.
"Abah," panggilku. Ragu-ragu aku menimbang apa baik jika kutanyakan hal ini pada abah.
Alis abah terangkat menandakan ia siap mendengar kalimatku berikutnya.
Duh! Tanya tidak, ya?
"Anu, Bah, itu ... ." Kalimatku tercekat di kerongkongan.
Abah menatapku penuh selidik. Kalau sudah ditatap begini, kuntilanak pun segan lewat di depan abah.
"Hari ini ke makam enggak, Bah?" tanyaku pada akhirnya.
Abah diam enggak langsung menyahutiku. Dia membasahi bibir. Penyesalan lainnya menghantuiku. Seharusnya aku enggak perlu menanyakan hal ini pada abah. Meski sudah enam tahun ambu meninggalkan kami, tapi aku tahu betul abah masih suka menangis sambil menatap lukisan ambu di studio lukis abah.
"Makam hanya tempat menyimpan jasad, Je. Sejatinya tempat ambu ada di hati kita." Abah menatap kosong ke depan, menghirup oksigen sebanyak mungkin, kemudian mengembuskannya berat. "Tapi, kalau kamu mau ziarah, biar nanti kita pergi bareng."
Tubuhku kaku dan kesulitan untuk merespon ucapan abah. Jadi, sebagai gantinya aku memilih menunduk. Meski jawaban abah begitu, tapi aku berani bertaruh abah merindukan ambu setengah mati. Sama seperti aku yang juga merindukan ambu.
Setelah percakapan tadi, abah berpamitan berangkat kerja. Hari ini abah ada jadwal mengajar kelas pagi.
Rindu. Satu kata yang menyiksa dadaku. Bukannya aku belum ikhlas, tetapi ada kalanya aku berharap bisa mengulang waktu bersama ambu.
Dengan segelas kopi di tangan kanan dan headphone nirkabel terpasang di kedua telinga, aku masuk ke dalam studio lukis abah. Lukisan besar berukuran satu kali dua meter langsung menyita perhatian siapa pun yang masuk ke dalam ruang kerja abah.
Setelah meletakkan gelas di meja jati yang biasa abah gunakan untuk memeriksa tugas mahasiswa, aku berdiri menghadap lukisan. Menatap salah satu maha karya abah yang begitu spektakuler. Abah melukisnya dengan baik. Benar-benar hidup dan benar-benar mirip dengan aslinya. Ambu dalam lukisan ini begitu cantik. Ia mengenakan kostum jaipong lengkap dengan riasannya. Ambu berpose adeg-adeg, salah satu gerakan dalam tari jaipong.
"Ambu, Jeje rindu," lirihku dari dalam lubuk hati.
Aku nyaris menitikan air mata, tapi melihat debu kotor menempel di lukisan tepat pada hidung ambu membuat air mataku merangkak naik lagi. Yah, gagal melou part dua dong, batinku.
"Maaf, Ambu, kotorannya ngerusak momen banget," keluhku yang enggak jadi menangis.
Bukan pada ambu, tapi lebih pada kotoran attitude nol yang menempel di hidung ambu. Ehh, maksudku lukisan ambu. Benar-benar merusak pandangan. Kotoran itu membuat seolah-olah ada tompel besar di hidung ambu. Hilang sudah nilai estetika dari maha karya abah ini.
Aku mengedarkan pandangan mencari kursi, tapi dua kursi di ruangan ini terpakai penuh dengan berkas dan tugas-tugas karya lukis mahasiswa abah. Enggak ada pilihan lain. Dengan susah payah aku menurunkan lukisan berbingkai kayu jati lengkap dengan ukiran mewah. Selain ukurannya yang besar, lukisan ini juga cukup berat.
Aku meletakkan lukisan di atas meja kerja abah. Ternyata membersihkannya enggak semudah itu, Marimar. Selain enggak punya sopan santun, kotarannya pun bandel. Bak lirik lagu, semua jadi seba salah. Jika digosok pelan, kotornya susah hilang. Sebaliknya jika digosok terlalu kuat, aku khawatir akan merusak warna atau bahkan kanvasnya.
Aku bergeser ke kiri dan kanan bersusah payah menghilangkan kotoran yang entah terbuat dari apa. Aku baru tahu tantangan mengusir kotoran membandel sama sulitnya seperti menjadi peserta Benteng Takeshi. Tidak mudah.
Aku bergeser ke sisi lain meja. Tanpa sadar siku kananku menyengkol gelas kopi yang tadi kuletakkan di sana. Gerak reflekku kalah cepat dengan isi gelas yang meluncur bebas ke atas kanvas.
Aduh!
Segelas kopi yang elum sempat kunikmati hijrah total dari gelasnya. Bukan ke saluran pencernaanku yang sudah mendanbakannya sejak tadi, tapi pada lukisan yang amat berarti bagi abah.
Mati aku!
***
CATATAN KAKI :
1. Tumben kesiangan, Nak?
2. Jeje baru tidur adzan awal, Bah. Lagi banyak revisi skripsi.
3. Jangan terlalu capek, Cantik