Pelangi Tiada Punya Rasa

Pelangi Tiada Punya Rasa

Aisyah Kho

5

Pernikahan sebuah ikatan suci sebuah hubungan mempersatukan dua insan yang berbeda karakter. Setiap wanita menginginkan menikah bersama lelaki impian mereka, memiliki sifat penyayang serta menjadikannya ratu di keluarga kecilnya. Begitupun, perasaan yang diinginkan Rahma.

Perjodohan yang dilakukan oleh sang ibu bersama sahabat kecilnya beberapa tahun lalu, kini dia sudah resmi menjadi seorang istri. Kesibukannya dalam karir membuatnya melupakan dunia percintaan. Tiada Rahma inginkan menikah dengan lelaki memiliki karakter dingin seperti bongkahan es, tetapi saat bersama tetangga, teman, dan keluarga karakter lelaki itu berubah menjadi ramah sangat hangat.

Rahma terus berusaha bertahan di pernikahannya, setelah putri pertamanya lahir diberi nama Ratu. Rahma berharap sang putri mampu mengubah karakter suaminya yang dingin menjadi hangat mengayomi keluarga kecil mereka.

Ibu Diah meminta sang anak lelaki serta menantunya untuk tetap tinggal di rumah mereka. Namun, Rahma ingin sang suami berubah sikap padanya. Keputusan untuk pisah rumah dengan mertua, ada terselip harapan di setiap keputusan diambil Rahma. Dia berharap karakter suami bisa berubah, kebiasaan keluar malam pun bisa hilang.

“Bu, kami boleh pisah rumah sekarang? Maaf, Rahma ingin belajar jadi seorang Bunda buat Ratu,” ucap Rahma perlahan, agar sang mertua tidak merasa tersinggung. Rahma mengambil tempat duduk di samping sang mertua.

“Kenapa tidak betah tinggal dengan kami, Nak?” tanya Bu Diah sedih mendengarkan ucapan sang menantu.

“Tidak, Bu. Rahma bahagia tinggal dengan Ibu dan Ayah, kalian memperlakukan Rahma seperti anak sendiri,” jawab Rahma, sambil memengang tangan sang ibu mertua.

“Izinkan kami hidup terpisah, Bu.” Rahma menatap mata sendu sang mertua.

“Izinkan mereka, Bu. Cucu kita Ratu tetap akan dititip di sini, ya, Rahma?” tanya sang ayah mertua.

“Iya, Yah. Ratu masih dititip di sini setiap pagi sampai sore, kami jemput saat pulang kerja,” jawab Rahma, ingin menyakinkan sang mertua, perpisahan ini tidak menghalangi mereka untuk dekat dengan cucunya.

“Baiklah, tetapi kalian tidak usah beli rumah atau mengontrak,” pinta sang mertua. Rahma terdiam mencoba memahami maksud sang mertua.

“Tinggal saja di rumah Ibu, rumah panggung yang Kak Rahmat tempati untuk berjualan setiap malam, kalian tinggal di atasnya. Rumah panggung kayu yang di ujung jalan sana, jadi tidak jauh, jika kami rindu kalian untuk berkunjung,” ucap sang ibu mertua.

"Tidak enak kami dengan Kak Rahmat, Bu. Biar kami cari kontrakan sementara waktu, sebelum membeli rumah sendiri." Rahma menolak secara halus.

"Biar itu urusan Kak Rahmat Ibu yang bicara, dia juga sudah Ibu belikan rumah. Itu rumah digunakan kakakmu hanya untuk warung kopinnya. Tempat strategis di sana di depan jalan," ucap sang mertua tetap memaksakan keputusannya.

"Baik, Bu. Jika itu keinginan Ibu, kami akan tinggal di sana," ucap Rahma tiada bisa menolak lagi.

Akhirnya keputusan Rahma di dukung sang mertua, dia sangat bahagia. Malam ini dia ingin berbicara dengan sang suami.

Setelah makan malam suaminya duduk di pojok kamar meja kerja, sibuk bersama berkas pekerjaannya di salah satu instansi pemerintahan. Sesekali dia akan tersenyum membaca pesan di handphone miliknya. Begitulah, aktivitas Rahul jika sedang di kamar bersama sang istri.

Dia menganggap sang istri itu tidak ada, terhanyut dalam dunianya sendiri. Rahma merasa hampa, pernikahan dia jalanin ini tidak sehat. Berhubungan badan pun jika sang suami inginkan, meskipun Rahma terus berusaha mendekatinya. Selalu dibalas dengan sikap dinginnya.

“Mas, Rahma sudah bilang ke Ibu dan Ayah. Rahma ingin kita pisah tempat tinggal dengan mereka,” ucap Rahma duduk bersandar di ranjang.

“Kenapa tidak betah tinggal bersama orang tua, Mas?” tanyanya Rahul dengan nada sinis, seolah dia ingin menuduh Rahma.

Rahul tetap sibuk mengetik di benda elektroniknya. Rahma merasa tidak di hargai saat bicara bersama sang suami. Rahma bernapas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Lisan yang basah dengan istigfar untuk menundukan amarah.

“Mas, dengarkan Rahma. Tolong jawab, Mas.” Rahma bangkit dari tempat ranjang, lalu berjalan menuju meja kerja sang suami.

“Bicara saja Rahma, aku akan terus mendengarmu sambil bekerja.” Rahul meletakan handphone di atas meja, Rahma tahu sang suami ingin minum. Dia pun mengambil gelas, kemudian mengisikan air.

“Apa, Mas setuju kita pindah rumah? tetapi Ibu minta kita tinggal di rumah di ujung jalan itu.” Rahma menatap sang suami, Rahul selalu menatap ke arah lain, jika sedang berbicara dengan sang istri. Dia tidak ingin tatapan mereka beradu, membuat lubang perasaan tersembunyi itu terbuka menyayat rasa luka. Setelah Rahul mengguyur tenggorokan dengan air minum, dia meletakkan kembali gelas pada tempatnya.

“Iya, rumah panggung Ibu. Tempat Kak Rahmat jualan, ya, kan? Di atasnya apa kita akan tinggal?” tanya Rahul. Kembali mengapai handphone miliknya.

“Iya, Mas. Apa keputusan Rahma, Mas, juga setuju? Rahma ingin belajar mandiri jadi seorang Bunda merawat Ratu,” ucap Rahma ingin menerangkan maksudnya.

“Ratu tetap dititip di rumah Ibu dan Ayah jika kita kerja. Libur juga kan dekat dari sini, kita bisa tetap bisa berkunjung.” Lanjut Rahma menjelaskan lagi, dia tidak ingin sang suami salah mengerti atas keinginannya.

“Terserahmu. Mas ikut saja,” ucap Rahul ingin mengakhiri pembicaraan dengan sang istri. Dia bersiap merapikan pakaiannya, lalu menyelipkan handphone di saku celananya.

“Terima kasih, Mas.” Rahma ingin memeluk dan menggantungkan tangan di leher sang suami, tetapi itu hanyalah sebuah khayalan saja bisa bermanjaan dengannya. Lelaki dingin itu bagaikan bongkahan es yang sulit Rahma cairkan.

“Mas mau keluar ke tempat teman, kamu tidur duluan saja sama Ratu.” Rahul berjalan keluar kamar.

Rahma tidak habis pikir jalan pemikiran sang suami, setiap malam selalu keluar rumah. Dia lebih banyak waktu luang buat teman-temannya, daripada bersamanya menghabiskan waktu. Ketika dulu Rahma melarangnya keluar rumah, dia akan marah dan menjauhi sang istri tidak ingin berada di satu tempat ruangan hingga berhari-hari. Tiada pilihan buat Rahma, hanya bisa merelakan kepergiannya setiap malam.

“Mas pulang jam berapa? Mas pergi ke tempat teman yang bernama siapa?” tanya Rahma berjalan di belakang Rahul. Seketika Rahul menghentikan langkahnya, dia membalikkan tubuh ke arah sang istri.

“Sudah berapa kali, Mas, harus katakan padamu, Rahma. Jangan banyak tanya tentang urusan pribadi, Mas!” hardik Rahul. Menatap tajam ke arah Rahma.

“Tidurlah, jangan pernah menunggu, Mas. Jangan menelepon meminta Mas untuk pulang!” bisik Rahul dengan nada kesal ke telinga Rahma. Dia tidak ingin pertengkaran di kamar terdengar orang tuanya.

Rahul berlalu keluar kamar mereka, Rahma menatap kepergian sang suami. Punggung itu selalu Rahma rindukan, sekedar letakan kepala di sana saja tidak pernah. Sikap sang suami membuat hatinya hancur, selalu saja bersikap seperti itu. Rahma menangis dalam diam, sembari menatap wajah sang putri yang sedang tertidur pulas di atas ranjang.

#LookingForHappyEnding#KontesCeritaCabaca