Nggak nyangka, sahabat gue, si Tri, akhirnya nikah juga!
Gue kenal dia sejak bayi kali. Rumah kita dulu di gang Angus tetanggaan, sebelahan banget. Sampai akhirnya dia pindah ke jalan raya gara-gara usaha pulsa dan perlengkapan HP bapaknya sukses pas kita berdua kelas empat SD. Tapi kita tetap temenan walau ada yang berubah.
Oh ya, kita di sekolas sekelas, ya, by the way.
Nah, sejak kelas empat itu, Tri kayak menghindari gue gitu. Lebih suka main sama Ella, Fina, dan anak cewek lainnya. Gue pikir, itu karena dia sombong udah jadi orang kaya. Gue ledekin aja dia di sekolah.
"Mentang-mentang kaya, rumah di jalan raya, ogah main ama yang miskin."
Tau, nggak? Gue ditonjok!
Gila, kan, tu cewek? Mana tonjokkannya keras banget. Sampe mau putus rahang gue rasanya.
Pas dipanggil ke ruang guru sama Bu Panggabean, dia nangis. Gue nguping di balik pintu. Kata dia, "Saya nggak tau kenapa malu, Bu, kalo main sama Yoyo. Yoyo kan cowok, saya cewek. Anak-anak pernah ngeledekin, dibilang kita pacaran, Bu. Emang nggak bisa, ya, Bu, cewek-cowok sahabatan?"
Bak pahlawan kesiangan – kebetulan memang waktu itu udah jam setengah satu siang, sih – gue masuk dan teriak, "Bisa! Udah, mulai sekarang, nggak usah dengerin anak-anak!"
Setelah itu, gue ke kelas dan berdiri di depan, ngancem anak-anak. "Kalau ada yang berani ngeledekin gue sama Tri pacaran, gue hajar! Jadi jangan ada yang berani-berani ya sama gue!"
Si badung Eros langsung komen, "Gue mah ama elo berani, Yo. Gue takutnya ama si Tri. Lo aja ditonjok sama dia, langsung sempoyongan!"
Ngeselin, kan?
Tapi gapapa, sejak kejadian itu, gue leluasa sahabatan sama Tri. Nggak ada yang berani ngeledekin lagi. Kita berdua bahkan satu SMP dan satu SMA. Sayang, kita kuliah di tempat berbeda. Dia di Depok, gue di Jogja.
Awalnya dia marah banget pas tahu pilihan kedua gue di Jogja. Kita memang janjian untuk kuliah bareng di Depok. Secara kita berjuang bareng buat lolos PTN. Tapi gue nggak bisa ngejar dia, lah. Dia ambil dua bimbel sementara gue hanya beli buku soal dan kadang dapat lungsuran soal TO dari bimbel-bimbelnya itu.
Dia selalu bilang, "Yo, lo lebih pinter dari gue. Lo pasti bisa!"
Gue mau jawab, "Tapi gue nggak bisa ngebimbel kayak elo, jadi pilihan jurusan gue harus realistis," tapi nggak bisa. Takut dia malah salah nangkep dan tersinggung.
Ibaratnya, gue lolos di PTN di Jogja aja itu udah Alhamdulillah banget walau bukan jurusan atau univ favorit, sih, emang. Tapi gue hisa bikin orang tua gue bangga. Aselik Ayah sampe bikin selametan syukuran. Secara Ayah cuma lulus SMP dan hanya seorang servis lepis keliling.
So, terpisahlah gue dan Tri. Kita hanya ketemuan setiap liburan semester. Selama tiga setengah tahun gue jauh dari dia. Iya, hanya 3,5 tahun karena gue lulus duluan. Gue langsung balik ke Jakarta karena sudah dapat kerja pas ada job fair di kampus. Dan yang bikin gue seneng, gue bisa bantu Tri ngerjain skripsi. Tapi sayangnya hanya sampai bab 1.
Setelah sebulan kerja, gue dapat kepercayaan besar dari atasan yang mengharuskan gue keliling Indonesia biat presentasi tentang perusahaan. Gue nggak punya alasan untuk menolak selain rasa nggak enak gue ke Tri.
Bayangin, gue udah janji mau bantu skripsinya, tapi gue malah nggak bisa stay di sisinya. Tapi untung aja ada asdos kampusnya yang bisa bantu. Kebetulan pernah penelitian bareng gue di Jogja. Namanya Pras.
Gue yakin banget dengan kemampuan Pras ngebimbing Tri. Gue lega dan tenang ninggalin Tri dengan skripsinya.
Sampai akhirnya Tri kasih lihat halaman persembahan. Ucapan terima kasih pertama di luar keluarga adalah untuk Pras sementara nama gue persis di bawah Pras. . Entah kenapa, perasaan gue nggak enak.
Gue pulang dan Tri pun cerita. Dia dan Pras sudah jadian. Bukan hanya jadian sebenarnya, tapi sudah merencanakan pernikahan, karena keluarga Pras agamis banget. Mamanya nggak mau Pras pacaran.
Dan entah kenapa lagi, dada gue seperti ditusuk pedang saat Tri dengan bahagianya cerita semua itu. Tapi, tentu sebagai sahabat, nggak ada yang bisa gue lakuin selain ikut berbahagia.
Saat Pras sibuk dengan penelitian-penelitiannya, bahkan gue yang temenin Tri pilih undangan. Oh ya, setelah keliling Indonesia hampir selama enam bulan, gue langsung naik jabatan sehingga nggak harus berangkat presentasi ke luar kota kalau bukan hal yang urgent atau untuk klien penting. So, ya, gue bisa stay di sisi Tri. Walaupun gue sadar, semua sudah terlambat.
Kata orang, penyesalan emang datang belakangan, kan? Kalau duluan, itu pendaftaran. Krik ... krik. Garing!
Gue lawan semua pedih. Termasuk saat Ibu nanya, "Kamu nggak sedih Tri mau nikah?" Gue tau, dalam hati sebenarnya Ibu ngarep banget gue sama Tri. Ibu sayang banget sama Tri. Kita sama, kok, Bu!
Tapi gue juga harus realistis. Bukan semata karena Tri udah nerima lamaran Pras, tapi karena gue nggak pantas buat Tri. Strata kehidupan keluarga gue dan Tri udah beda banget. Bapaknya Tri sekarang nggak hanya jualan pulsa dan perlengkapan HP tapi sudah punya jaringan penjualan ponsel terbesar di Jakarta. Untuk beli HP di konter-konter bapaknya Tri orang harus antre!
Ya, mungkin gue minder. Karena, walau gue sekarang punya kerjaan bagus, gue nggak bisa meningkatkan derajat keluarga gue dengan misalnya ngajak pindah ke rumah yang lebih layak. Iya, kayak gitu aja nggak bisa. Gue punya tiga adik yang harus gue biayain karena Ayah udah nggak bisa jualan keliling lagi. Jadi, gue tetap tinggal di rumah kecil di dalam gang.
Sementara Pras, keluarganya bukan hanya berada tapi juga terpandang. Bapaknya orang besar di sebuah departemen.
Entah kenapa (lagi), gue merasa kayak balik ke kelas empat SD. Ketika gue salah paham dengan sikap Tri. Tapi gue halau perasaan konyol itu. Intensitas hubungan gue dengan Tri enggak berbanding lurus dengan perasaan Tri ke gue.
Gue pun mematri dalam kepala. Tri sahabat gue dan dia akan nikah dan gue harus ikut bahagia.
Hingga suatu saat Tri telepon gue, minta gue ke rumahnya.
"Printer gue eror padahal gue harus print nama undangan di tom and jerry. Lo bisa ke sini?"
Tentu gue bisa. Gue bantu hingga printer-nya normal lagi. Bahkan gue temenin Tri nge-print sambil gue cek satu per satu daftar undangannya. Dan gue bercandain dia.
"Kok nama gue nggak ada? Lo cuma undang Ayah sama Ibu, ya? Tapi kok gue nggak nemu juga nama Ayah di daftar?"
Gue baru nyadar kemudian, mata Tri berkaca-kaca. Hati gue nggak keruan. Jadi gue beneran nggak diundang? Bahkan ayah-Ibu gue juga enggak???
Gue tersinggung. Salah apa gue? Salah apa keluarga gue?
Gue berdiri dan pamit. "Gue balik, ya?"
Saat gue balik badan mau keluar rumah, terdengar isak tangis Tri. "Gue takut nggak sanggup ngelanjutin pernikahan kalau lihat elo hadir, Yo!"
Gue putar badan lagi, menatap Tri. "Maksud lo?"
"Gue selalu bilang, lo sahabat gue, tapi sejujurnya, itu hanya kamuflase. Gue cinta sama elo. Tapi gue tau, lo nggak ada perasaan apa-apa sama gue. Gue terima Pras murni keputusan logis. Buat apa gue berharap terus sama elo yang nggak punya perasaan yang sama dengan gue?"
Sumpah, saat itu gue pingin langsung teriak, jelasin yang sebenarnya, bahkan kalau perlu menghambur meluk Tri. Tapi semua nggak mungkin.
Dan yang gue katakan hanya, "Ah, cemen, lo. Masa nggak bisa lanjutin pernikahan hanya karena cowok cupu kayak gue? Udah, lo jangan aneh-aneh. Udah bagus lo dapat cowok sehebat Pras. Jarang-jarang cowok keren kayak dia mau sama cewek abal-abal kayak elo!"
Tri membelalak kesal – seperti biasa kalo gue ledekin dia. Lalu sedetik kemudian semua bantal sofa sudah terlempar ke arah gue dan kita jadi main lempar-lemparan sambil ketawa-tawa.
Tapi Tri nggak tahu, setiap gerakannya kayak slow motion di mata gue. Setiap tetes air matanya, setiap tarikan sudut bibirnya yang membentuk senyuman tercantik dalam hidup gue, setiap helai rambutnya yang terkibas. Semua.
Pedang yang terhunus di dada gue seakan bergerak-gerak mengoyak tapi nggak kerasa. Tapi nggak kayak Goblin yang pedangnya bisa kelihatan sama Eun-Tak, gue akan berusaha sekuat tenaga supaya Tri nggak lihat pedang gue. Terutama di hari pernikahannya nanti.
Karena gue keukeuh, maksa dia undang gue dan Ayah-Ibu. Kalau gue nggak datang, dia nggak akan bisa move on dari gue. Begitupun gue. Walau pedang itu pasti akan meradang di dada gue, gue harus menyaksikan Tri bahagia dengan pilihan logisnya.