Aku mengayuh sepedaku dengan malas. Beberapa hari ini aku ingin menyudahi pekerjaanku yang sangat membosankan ini.
"Di, kapan ibu dan ayah kamu ajak ke jakarta buat liat rumah barumu?"
Kalimat itu terus saja berputar-putar di kepalaku sejak tadi pagi. Kenapa ibu menelfonku jika hanya untuk menanyakan hal yang sama setiap hari? Aku bahkan belum sempat sarapan. Bahan-bahan di kulkas sudah habis tersisa. Uang sisa gaji bulan lalu sudah tak tersisa di tabunganku.
Aku memarkir sepeda onthelku di depan Apotek tempatku bekerja. Sudah hampir empat tahun aku mengabdi sebagai Apoteker di tempat ini. Meskipun hanya memiliki tiga karyawan, namun bu Puji enggan merekrut karyawan baru. Diantara ketiga karyawan tersebut akulah yang paling senior. Dan akulah yang paling banyak tugas. Bukan hanya di toko, namun juga tugas di rumah yang kerap tak masuk di akal ku, bagaimana tidak. Setiap hari aku harus menjemput cucu bu Puji yang jarak ke sekolahnya sekitar dua kilometer. Belum lagi harus mampir ke pasar untuk membeli bahan masakan untuk sehari-hari. Jika beruntung aku juga kebagian tugas menemani bu Puji arisan dengan teman-teman seprofesinya yaitu KPD atau komunitas pensiunan dokter. Aku tak tahu sejak kapan komunitas itu berdiri, yang jelas itu adalah kumpulan dari para mantan dokter yang berusia lima puluh tahunan, yang pekerjaan nya hanya membicarakan barang-barang mewah.
"Kak, kata bu Puji sebentar lagi kita akan ada semacam D.O gitu." Ucap Tiara yang bekerja satu sift denganku.
"Ah ngga mungkin ra, siapa yang mau jadi kurir? Buat gaji kita aja susah nya setengah ampun."
"Iya kak, bener ... Kalo ngga salah kak Diana nanti yang bagian nganter."
Hah? Aku melongo. Kenapa harus aku? Belum puas kah bu Puji memperbudak aku disini? Kalau saja ijazah s1 ku tak tertahan disini. Aku pasti sudah hengkang dari pekerjaan menyebalkan ini.
"Diana, nanti siang kamu ngga usah jemput Keysha, kamu ada tugas baru." Bu Puji membuyarkan lamunan ku di dalam toko.
"Tugas apa lagi bu?."
"Gini, tadi ibu sudah kasih tau Tiara. Dalam waktu dekat apotek kita ini akan open delivery ke rumah para pelanggan. Ibu pengen kamu yang bagian nganter. Nggak susah kok. Sehari juga ngga pasti ada yang minta di anterin ke rumah, soalnya ini juga masih baru banget. Nanti kamu catet nomor pembeli di buku ini. Kamu bilang kalo kita ada Delivery." Tukas bu puji sambil menyerahkan buku dan pulpen padaku.
"Tapi buk, kalo Diana yang jadi kurirnya. Gimana Keysha. Terus yang bantuin Tiara di toko siapa? Dia masih sering kagok bu, masih baru."
"Ya biar di handle sama supir, kamu tenang aja. Ayah nya Keysha bulan ini sudah pulang nanti di urus sendiri. Kamu jangan pikirin. Soal apotek kamu masih tetep kok ngelayanin pembeli. Lagian loh Di, berapa lama sih kamu nganterin? Hah?"
Aku terdiam tak punya alasan lagi. Intinya aku ingin bu Puji membayar gajiku lebih dari sebelumnya. Tidak ada yang tahu jarak kami Mengantarkan obat ke rumah pelanggan. Dan lagi aku tak mau berpanas-panasan di jalan raya setiap hari.
"Buk, boleh ngga Diana kerja satu sift aja." Wajahku memelas bak seekor kucing yang mengharap ikan dari majikan nya.
"Ya kalo kamu mau sift pagi aja. Terus ... Kalo malam ibu ngga Delivery." Jawabnya dengan enteng.
Sungguh pilihan yang sulit. Ingin rasanya aku berteriak sekencang mungkin. Betapa sulitnya mencari rupiah di ibu kota. Andai saja aku dulu mau mendengarkan saran temanku. Pasti sekarang aku sudah menjadi dokter. Minimal membuka usaha praktek sendiri di Surabaya.
Waktu menunjukan pukul setengah empat sore. Karna sibuk bergelut dengan fikiranku sendiri, aku bahkan tidak menyadari jika jam kerja sudah hampir selesai. Uang tiga puluh ribu rupiah ini akan terasa banyak jika aku membelanjakan dengan mie instan. Apa lagi makanan yang bisa ku konsumsi di tanggal tua seperti ini.