Kata orang, bahagia itu sederhana. Ada yang bahagia kalau bisa belanja, ada yang bahagia kalau jalan-jalan bareng keluarga, dan banyak juga orang yang bahagia kalau punya duit melimpah. Namun, tak seperti kebanyakan orang, bahagiaku adalah jika aku bisa berganti nama. Aku pasti sangat bahagia kalau bisa melakukannya.
“Pai ... jem Sulistyowati?” Laki-laki setengah baya itu memandangiku dengan alis berkerut dan bibir berkedut mengulum senyum. Ia adalah orang ke 1250 yang menampilkan ekspresi geli sekaligus kasihan saat mengetahui namaku, nama kampunganku.
“Iya, Pak,” sahutku kalem. Meskipun kesal, aku harus tahu diri. Pasalnya, lelaki di hadapanku adalah HRD di sebuah perusahaan tempat aku melamar kerja.
“Sudah pernah kerja sebagai cleaning service sebelumnya?”
“Sudah, Pak. Enam bulan di gedung SC Tower,” jawabku mantap. Menurut informasi yang kulihat di internet, menjawab dengan tegas dan meyakinkan adalah kunci sukses lolos wawancara kerja. Semoga saja informasi itu bukan hoaks.
“Nama kamu ... unik, ya?” kata Pak HRD yang masih saja membolak-balik fotokopi KTP dan KK milikku, sepertinya memastikan ia nggak salah baca. Kepalanya yang menunduk memperlihatkan kebotakan di bagian tengah. Kenapa, ya, kebanyakan petinggi kantor kepalanya botak? Apa ini termasuk teori konspirasi? Hanya orang botak yang boleh menjabat posisi penting. Ah, aku jadi ingat bapakku yang botaknya full alias plontos. Kata bapak, dulu rambutnya tebal berkilau, tapi semenjak umur empat puluh, rambutnya rontok beramai-ramai tiap hari. Alhasil, kepalanya jadi botak licin seperti sekarang.
“Iya, Pak.” Aku tersenyum sopan menanggapinya, sudah biasa.
“Hampir semua peserta yang saya wawancarai tadi namanya kebarat-baratan, sampai pusing saya bacanya. Ada yang Alexxandra pakai 'x' dobel, ada yang namanya Queensha pakai 'e' dobel. Pas baca nama kamu, pusing saya jadi hilang. Sekarang saya bingung, kok ada anak zaman milenial pakai nama zaman kolonial?” Pak HRD malah curhat sambil tertawa berderai, membuat lemak perutnya bergoyang-goyang. Agaknya ia belum puas membahas soal namaku. Ini HRD betulan bukan, sih? Dari tadi nggak ada serius-seriusnya.
“Nenek saya yang kasih nama itu, Pak,” sahutku masih dengan nada sopan santun ramah tamah loh jinawi.
“Owalah, pantes!” serunya antusias, seolah ia baru saja berhasil menebak nomor togel yang keluar hari ini. “Jadi, kamu dipanggilnya apa, nih? Pai atau Jem? Paijem?”
“Panggil saya Ai, Pak.” Aku mulai risi dengan percakapan ini. Otot di wajahku juga sudah mulai malas menarik bibirku untuk tetap tersenyum.
“Oh, iya iya. Bagus juga dipanggilnya Ai. Kalau dipanggil 'Jem', orang bisa salah paham,” katanya dengan ekspresi lucu.
Bagi orang lain, namaku mungkin lucu, kampungan, jelek, you name it. Bagiku, punya nama Paijem adalah kutukan. Sejak TK sampai lulus SMA, olok-olok tentang namaku sudah jadi makanan sehari-hari. Oh, mungkin sejak aku bayi malah. Aku kadang membayangkan, misalnya saja ada tetangga atau saudara yang bertemu lalu menanyakan namaku pada orang tuaku, “Eh, anaknya namanya siapa, Jeng?” Lalu ibuku menjawab, “Paijem, Tante!” Apakah mereka akan tertawa di depan ibuku? Aku pernah bertanya, apa ada kejadian seperti itu? Ibu selalu bilang nggak ada, tapi aku nggak yakin ibu jujur.
Aku sampai pernah mogok sekolah waktu SMP karena nggak tahan diejek sama kakak kelas. Sekelompok anak perempuan yang mengaku geng populer itu merundungku dengan memanggilku “Jem” setiap kali aku lewat atau saat di kantin. Mereka juga senang memainkan peran sebagai majikan, sementara aku ini pembantunya. Mereka akan berkata, “Jem, tuh, halaman disapu dulu! Kotor banget kayak mukamu!” Kemudian mereka melempar sapu ke arahku dan tertawa terbahak-bahak. Aku yang baru kelas satu, tak berdaya melawan mereka. Apalagi aku sendirian, karena nggak ada satu pun teman yang mau berurusan dengan geng gaul itu. Ariana juga berbeda sekolah denganku. Sering kali aku menangis di kamar mandi sekolah. Mereka memang hanya bercanda, tapi candaan itu membunuh jiwaku perlahan-lahan. Apa sebenarnya salahku? Aku merasa nggak pernah punya masalah sama mereka. Satu-satunya kesalahanku hanyalah punya nama jelek.
Terus, kenapa aku mau sekolah lagi? Tentu saja karena bapak. Bapak menangkap gelagatku yang murung dan sering mencari alasan supaya boleh nggak berangkat sekolah. Bapak curiga ada sesuatu yang terjadi. Beliau mendesakku untuk bercerita. Awalnya aku malu, nggak tahu perasaanku itu berlebihan atau nggak. Aku takut dibilang baperan, nggak bisa diajak bercanda. Akan tetapi, akhirnya aku mengungkapkan perundungan yang kualami dengan tangis tersedu. Bukankah yang namanya bercanda itu jika kedua pihak merasa senang? Nyatanya perlakuan mereka membuat hatiku sakit dan mentalku jatuh. Bapak kemudian memelukku hangat dan berjanji akan membantuku.
Keesokan harinya, bapak membuat gempar satu sekolahan. Iya, bapakku bikin heboh dengan berteriak-teriak sambil membawa spanduk bertuliskan ANTI BULLYING. Bapak juga mencari geng kakak kelas yang merundungku dan memberi pidato khusus selama satu jam penuh. Demi menjaga ketenteraman sekolah, akhirnya kepala sekolah dan para guru berjanji akan lebih memperhatikanku supaya nggak diganggu lagi, dari pada bapak bikin orasi yang lebih meriah.
“Ya sudah. Kamu bisa mulai kerja besok Senin.”
Mendengar kalimat itu, lamunanku terputus. Aku hampir saja melompat karena kegirangan.
“Tapi saya nggak mau panggil kamu 'Ai'. Saya mau panggil 'Jem' aja,” sambung Pak HRD sadis.
Ya Tuhan, baru saja aku mau mengucap Alhamdulillah, sekarang mesti Istighfar banyak-banyak. Apa sebaiknya bapak kusuruh orasi di sini juga?
Langkahku terasa ringan saat berjalan pulang. Udara panas Surabaya tak dapat mengurangi kadar bahagiaku saat ini. Bekerja lagi setelah dua bulan jadi pengangguran benar-benar hal yang patut kusyukuri. Bagaimana tidak? Selama aku menganggur, bapak tak bosan-bosan merongrongku untuk melamar kerja setiap hari. “Ngelamar kemana hari ini?” tanya bapak tiap pagi. Nadanya, sih, halus, tapi kalau ditanya tiap mau sarapan, kan, enek juga jadinya.
“Assalamualaikum!” Aku mengucap salam kencang-kencang. Sekali-sekali ngagetin bapak yang lagi tidur siang nggak apa kali, ya? Pas banget ini jamnya bapak rebahan. Bapak selalu tidur atau rebahan sekitar jam dua siang sampai menjelang Ashar. Katanya, begitulah cara bapak menikmati masa pensiunnya. Soalnya, waktu masih dinas, bapak nggak bisa tidur siang. Jadi, sekarang waktunya balas dendam.
“Eh, udah pulang, Ai? Gimana-gimana?” Bapak langsung memberondong tak sabar, kebiasaan.
“Alhamdulillah, Pak. Besok Senin Ai mulai kerja,” ucapku riang.
“Wah! Alhamdulillah!” Bapak memelukku sebentar, lalu buru-buru ke belakang rumah. “Bu, anak kita keterima kerja, Bu! Bukan pengangguran lagi sekarang!”
Dari arah belakang, terdengar jerit antusias ibuku. Aku yakin orang tuaku sedang berpelukan sambil jingkrak-jingkrak kesenangan.
Akibat teriakan bapak dan ibu yang sedikit berlebihan, tetangga sebelah, Bude Nunik, sampai melongok dari samping pagar. Pasti hasrat keponya meronta-ronta minta dituntaskan.
“Udah kerja, Ai?” tanya Bude Nunik dengan muka sengak. “Kerja di mana?” sambungnya lagi.
“Iya, Bude, Ai diterima kerja di kantor daerah Sudirman.”
“Bagian apa? Cleaning service lagi?”
Aku mengangguk perlahan. Bude Nunik tersenyum miring. Senyum meremehkan, aku tahu.
“Kamu kayaknya cocok, ya, jadi cleaning service. Pas gitu sama nama kamu,” ucap Bude Nunik pedas. “Kalau Sandra nanti kerja, pasti minimal jadi sekretaris, apalagi dia kuliah.”
Aku nggak tahu Bude Nunik ada masalah apa sama aku, tapi dia sering banget membanding-bandingkan aku sama Sandra, anaknya yang waktu SD sekelas denganku. Masa, sih, Bude Nunik masih sakit hati gara-gara aku selalu dapat rangking satu sedangkan Sandra rangking dua puluh? Itu, kan, bukan salahku. Salahin Sandra, dong, yang jarang belajar dan lebih sering main masak-masakan di rumahku. Memang, sih, aku yang ngajak duluan, terus kalau dia udah asyik main, aku tinggal baca buku. Ceritanya, kan, Sandra yang jadi kokinya, aku jadi pembelinya. Wajar, dong, kalau aku nunggu Sandra masak sambil belajar? Masa Bude Nunik bilang aku licik. Lama kelamaan, Sandra nggak dibolehin lagi main sama aku.
“Iya, Bude. Aku masuk dulu,” pamitku memutus pembicaraan. Malas juga harus basa-basi sama Bude Nunik lama-lama. Toh, aku sudah hafal agenda selanjutnya, yaitu membangga-banggakan Sandra sampai mulutnya berbusa, dalam arti sebenarnya. Pernah nggak, kamu ketemu sama orang yang kalau ngomong di sudut bibirnya menumpuk busa yang berasal dari air liur yang terakumulasi. Nah, begitu, tuh, Bude Nunik. Makanya, sebisa mungkin aku menghindar dari tetangga sebelah rumah itu. Aku agak trauma kalau melihat bibir berbusanya. Bisa-bisa aku nggak doyan makan nanti.
Aku merebahkan diri di kamar untuk melepas penat. Capek banget rasanya aku hari ini. Ponselku bergetar sebentar. Sebuah pesan masuk dari Alfian, pacar tersayangku.
[Udah pulang, Ai?]
Aku tersenyum membaca pesan dari pacarku itu.
[Baru aja sampai. Capek banget aku.] Kutambahkan beberapa emotikon wajah menangis. Biasanya, dia akan menawariku jajan pentol sama es buah. So sweet, kan?
[Ada yang pengin aku omongin.]
Aku mengerutkan kening. Nggak biasanya Alfian serius begini.
[Ada apa?] balasku cepat.
[Ai, kita putus aja, ya? Ibuku nggak setuju aku pacaran sama kamu.]
Pesan yang mengagetkan itu mau tak mau membuatku kembali ke posisi duduk.
[Kenapa tiba-tiba?] balasku secepat kilat.
[Ibuku nggak mau punya mantu yang namanya kampungan.]
Hah? Aku nggak percaya membaca balasan dari Alfian. Lagi-lagi gara-gara namaku! Sampai kapan aku harus mengalami kesialan karena nama pemberian nenekku ini? Benar-benar kutukan! Ya Tuhan, berikan aku kesabaran.