Pacarku Anak Diplomat Dari Prancis

Pacarku Anak Diplomat Dari Prancis

amanah tigetige

0

Nama gue Sarah. Gue lahir, besar, dan tumbuh di Jakarta, kota yang selalu hidup 24/7. Gue adalah produk asli ibu kota, dan hati gue berdetak mengikuti ritme gemerlapnya. Jakarta, ibukota yang tak pernah tidur, selalu menjadi latar belakang kisah gue. Dan malam ini, gue akan membagikan cerita tentang pertemuan gue yang tak terlupakan di sebuah malam amal yang megah.

Suasana malam ini begitu khas Jakarta. Langit gelap mulai dihiasi oleh cahaya gemerlap dari pencakar langit menjulang. Semilir angin lembut membawa bau lembah dari kawasan sekitarnya, menciptakan harmoni yang tak terduga di tengah hiruk-pikuk kota ini.

Gue berdiri di depan pintu masuk acara amal yang mewah ini, dengan gaun malam merah gue yang mempesona. Beberapa tamu yang berkelas sudah berkerumun di luar, berbicara dengan tulus dan tertawa riang. Tapi, gue merasa seperti ikan asing dalam air. Gue adalah anak kota, tahu seluk-beluknya, tetapi malam ini, gue merasa seperti sebuah titik terang yang tak sesuai dalam keriuhan megah ini.

Mimik muka gue mencerminkan kebingungan saat gue mengamati sekeliling. Beberapa orang tampak anggun dalam gaun malam mereka, dan yang lainnya terlihat begitu akrab satu sama lain. Gue tak punya pengalaman dengan acara semacam ini. Gerak tubuh gue kikuk dan sedikit terhuyung-huyung, sementara mereka bergerak dengan elegan.

Namun, tiba-tiba, pandangan gue tertuju pada seorang pria yang berdiri di dekat meja minuman. Dia terlihat berbeda dari yang lain, lebih tenang, dan memancarkan pesona yang tak terbantahkan. Dia berbicara dengan seseorang yang tampaknya merupakan teman dekatnya, tetapi mata gue tertarik padanya. Wajahnya yang asing menarik perhatian gue.

Gue mendekati meja minuman, mencoba untuk tidak terlihat canggung. Sementara gue mengambil segelas sampanye, pandangan gue kembali terarah pada pria itu. Dia berpaling, dan mata kami bertemu sejenak. Ada senyuman samar di bibirnya sebelum dia kembali berbicara dengan temannya. Gue merasa hati gue berdebar keras, dan itu bukan karena sampanye.

Dalam perasaan campur aduk, gue berpikir, "Ini adalah gue, anak gadis asli Jakarta, di malam amal yang tak terduga ini." Dan dalam benak gue, satu pertanyaan terus mengganggu: "Siapakah pria itu, dan mengapa dia tampak begitu misterius?"

Di tengah kerumunan yang semakin ramai, kejutan yang akan mengubah hidup gue tiba-tiba menanti di sudut malam amal ini. Dan malam ini, Jakarta akan menjadi saksi awal dari kisah tak terduga antara gue dan pria misterius itu.

Saat gue melangkah mendekati meja minuman, tiba-tiba suasana sekitar berubah. Cahaya lampu-lampu seolah-olah menjadi lebih lembut, dan musik yang mengalun perlahan memenuhi udara. Gue merasa seolah-olah ada magnet yang menarik gue ke arah pria itu.

Dengan gemetar, gue mendekati Julien, pria misterius itu. Dia adalah seorang pria tinggi dengan rambut hitam yang tertata rapi. Pakaian malamnya yang elegan tampak cocok sekali pada tubuhnya yang atletis. Ketika gue mendekat, dia berpaling ke arah gue, dan senyuman yang hangat melintas di wajahnya.

"Bonsoir," sapanya dengan aksen Prancis yang khas.

Gue tersenyum gugup. "Bonsoir," gue menjawab dengan aksen Jakarta gue yang kental.

Pertemuan kami yang tak terduga ini memicu percakapan yang tak terhindarkan. Julien ingin tahu tentang budaya Indonesia, dan gue dengan senang hati menceritakan tentang keragaman, makanan lezat, dan keramahan orang-orang di negara ini. Dia juga menceritakan sedikit tentang Prancis, negara asalnya, dan pekerjaannya sebagai anak diplomat.

Sementara kami berbicara, mata gue tak henti-hentinya menjelajahi setiap detail dari wajah Julien. Ada pesona yang tak terbantahkan dalam cara dia berbicara dan gerak tubuhnya yang begitu halus. Kami berdua adalah anak-anak kota, tetapi dunia kami terasa begitu berbeda. Dia berasal dari Eropa, sementara gue adalah anak gadis asli Jakarta yang selalu mencintai kehangatan tropis.

Namun, yang paling menarik adalah ketertarikan yang saling tumbuh di antara kami. Setiap pertanyaan yang diajukan Julien, setiap cerita yang gue bagikan, semakin memperdalam rasa ingin tahu kami satu sama lain. Di tengah-tengah obrolan yang menyenangkan ini, ada kejutan yang tiba-tiba muncul.

Tiba-tiba, seseorang dari kerumunan menghampiri Julien dan memanggilnya dengan nada mendesak. Julien terlihat agak terkejut, dan matanya meminta maaf ketika dia menghadapi gue.

"Maaf, Sarah," katanya dengan suara rendah. "Ada hal yang mendesak yang harus saya hadapi. Kita akan berbicara lagi nanti, ya?"

Dengan hati yang berat, gue mengangguk. "Tentu saja, Julien."

Dia pergi dengan cepat, dan gue kembali ke tempat asal gue, merasa campur aduk antara penasaran dan kekecewaan. Pertemuan yang begitu menjanjikan itu berakhir begitu cepat dan tiba-tiba. Di tengah-tengah kerumunan yang kembali hidup, gue memikirkan Julien dan apa yang mungkin akan terjadi selanjutnya dalam cerita ini.