Our Story

Our Story

KejoraAnaphalisia

0

Kontan, Eisha kehilangan gairah merespons sapaan orang-orang sesampainya di ruang kerja. Di kursinya, dia hanya menatap layar komputer yang belum menyala. Diskusi serta bunyi ketikan di sana-sini justru tidak membuatnya bersemangat.

 Bagaimana mungkin perasaannya memburuk ketika mendapati Drew begitu akrab dengan staf di bagian resepsionis? Eisha pikir, galau karena patah hati itu sudah berhasil dilewatinya, ternyata dia salah.

 Eisha menggeleng keras. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Tiga artikel perlu dibaca dan diulas sebelum dipublikasikan di laman Famous. Cukup kemarin dia teledor, tidak fokus hingga salah satu pemagang memosting artikel hasil salin rekat.

 Celakanya, hingga tiba waktu makan siang, tak satu pun artikel berhasil disunting karena Drew dan segala perhatian yang ditujukan pada perempuan lain, berhasil menyita konsentrasi Eisha. Tidak sampai di situ, kini dia menghidu aroma maskulin yang begitu familier. Hei, Eisha! Ada apa denganmu? Dia menutup wajah lalu suara lain mengejutkannya.

 “Sebanyak apa pekerjaanmu sampai enggak sempat ke kantin?” Eisha melengak dan mendapati Drew, lelaki itu menyorongkan minuman dan sebungkus sandwich.

Alih-alih menjawab, Eisha lekas mengedarkan pandangan. Dia lega mendapati tidak ada siapa pun lagi selain mereka. Kemudian, Eisha mendeham. “Kami enggak ada keperluan dengan orang IT.”

Drew menatap lurus seraya bersedekap. “Aku punya kepentingan khusus ketemu sama kamu.”

“Lain kali saja. Kamu pergi, deh, sebelum yang lain datang.”

Namun, Drew justru menggeret kursi dan duduk. “Kamu salah paham dengan perempuan tadi. Itu anak kenalan Mami dan enggak mungkin aku cuekin.” Eisha merasakan panas di pipi. “Bodohnya aku karena baru menemuimu setelah seminggu diputuskan sepihak, tapi aku enggak habis pikir kamu melakukan itu hanya karena Mami belum ngasih restu.”

“Drew, itu bukan masalah sepele, ya.” Eisha berdecak. “Sudah ada perempuan yang disiapkan orang tuamu.”

“Perempuan itu enggak berarti sama sekali, Eisha. Selama ini aku setuju saja kita pacaran diam-diam karena kamu enggak mau diusik orang-orang. Tahu kenapa aku menurut begitu saja? Bukan karena aku merasa hubungan ini enggak berlanjut tapi aku ingin kamu nyaman. Selama enam bulan ini, aku terus berharap kamu ada dalam masa depanku.”

Mendengar penuturan Drew membuat Eisha terhenyak. Dia melengos untuk menghindari tatapan sendu lelaki itu. Dari awal, Eisha tidak berharap perasaannya akan sebesar ini pada Drew. Alasan yang pada akhirnya membuat Eisha melepaskan Drew sebelum menjadi tak terbendung.

“Ketimbang menyiksa diri, akan lebih mudah jika kita meyakinkan Mami.”

Eisha menggeleng, begitu pelan. “Itu akan lebih menyakitkan saat kita gagal.”

“Kamu bahkan belum mencoba.”

“Aku yakin semuanya akan sia-sia.”

Ada hening yang cukup lama. Drew yang diam hanya membuat Eisha merasa tercekik. Kemudian, Drew membuka suara, terdengar pahit. “Mungkin hanya aku yang berharap lebih tentang kita. Sandwich-nya, tolong kamu makan.”

Ucapan perpisahan dari Drew terasa lebih menyakitkan. Apakah mereka benar-benar telah usai? Eisha mengepalkan tangan begitu erat. Air mata yang mendadak menetes segera diseka. “Drew.”

Lelaki yang tengah berbalik itu berhenti. Sekian detik berikutnya menoleh. “Kalau kita berhenti sekarang, kita enggak akan lagi memiliki kesempatan.” Meski binar di mata Drew meredup, terdengar harap yang begitu jelas dari suaranya. “Pulang nanti, aku menunggu di kafe seberang kantor.”

Sepeninggal Drew, Eisha meraup sandwich yang dilahap tanpa minat. Apakah dia berani memperjuangkan hubungan mereka? Sejujurnya, Eisha begitu takut, tetapi Drew ingin berada di sisinya. Seharusnya itu cukup, kan?

Ketika Eisha mengerling pada penanda waktu di sudut komputer, artikel yang belum selesai berkelindan di kepalanya. Pekerjaannya harus selesai jika ingin bertemu Drew tepat waktu.