⸻2018
“… nikah dan kawinnya Nana Ghania Utama binti Adhi Ghani Utama dengan mas kawin tersebut tunai.”
Seluruh pasang mata hari itu memandang pada satu poros yang sama. Mempelai laki-laki yang duduk di kursi tepat di depan wali nikah, dan para saksi. Sorak kebahagiaan dengan kata ‘sah’ yang terselip ricuh, seakan mewakili perasaan lega dari kedua mempelai. Di ruangan lain, Naura berdiri tepat di samping sang kakak yang hari ini menjadi pusat acara bersama sang suami, di hari pernikahan mereka. Tangis itu pecah kala kata ‘sah’ terucap ramai. Memandang sang Kakak di sampingnya, diam-diam Naura ikut meneteskan air mata, walau terburu menghapusnya sebelum Nana menyadari. Jika diingat, kisah asmara mereka begitu panjang dengan segala drama yang pernah terjadi. Hubungan tujuh tahun itu bukan hanya sekadar main-main lagi, tapi berakhir indah sesuai harapan keduanya.
Melihat kebahagiaan sang kakak membuatnya sejenak tersadar. Naura masih melajang di usianya yang menginjak dua puluh enam tahun. Papa pernah mewanti bahwa kedua putrinya harus menikah sebelum usia tiga puluh tahun, agar tidak harus pusing dengan omongan orang dan hal lainnya. Jujur, Naura sendiri tidak peduli dengan omongan orang. Namun, orang tuanya tak pernah bisa merelakan omongan-omongan itu memberikan efek negatif pada keduanya. Maka tak aneh, jika Nana yang asik dengan hubungan tujuh tahunnya bersama Radi, berakhir juga di pelaminan.
Apalagi kalau bukan karena titah Papa.
Naura sendiri masih setia dengan kesendirian, tapi Papa sudah mulai menceramahinya tentang pasangan selama beberapa kali. Intensitas itu memuncak, ketika mendekati hari pernikahan Nana. Bahkan dengan nada bercanda, Papa menyuruhnya melaksanakan pernikahan di hari yang sama dengan Nana.
Bagaimana bisa terjadi jika dirinya tak tahu harus menikah dengan siapa?
Entahlah, Naura sebenarnya malas membahasnya lagi. Pokoknya, hari ini adalah hari bahagia untuk Nana. Dia tak perlu memikirkan soal apa yang akan terjadi setelah ini, karena siomay tahu dan pempek sudah menantinya di ballroom.
Dia harus menikmati hari ini dengan sebaik mungkin.
“Mbak Nana, nanti Mas Radi yang akan jemput Mbak kesini. Siap-siap ya, Mbak. Pasti Mas kaget deh, sama kecantikan Mbak. Aku masuk lagi, ya ….” Suara Juwi memecah suasana haru di antara Naura dan Nana. Keduanya memandang Juwi tanpa suara sebelum akhirnya Adik bontot Radi itu kembali berlari meninggalkan mereka ke dalam ballroom dimana acara akad diadakan.
“Hei … Juwi! Aduh, dia lari-lari begitu loh, Kak. Nanti jatuh itu bagaimana, sih? Sudah lima belas tahun kan dia?”
“Iya, Juwi sudah lima belas. Tapi ya begitulah, Dek. Biasa disayang sama Masnya, jadi belum hilang sifat anak-anaknya,” ujar Nana berdecak.
“Melihat sikapnya ke Juwi, Mas Radi pasti sayang banget sama adiknya. Tujuh tahun ini memang banyak drama ya, Kak? Tapi pasti lebih banyak bahagia daripada sedih. Aduh … nggak sangka kakakku tersayang ini sudah jadi milik orang lain. Rumah pasti sepi, deh,” ujar Naura tahu-tahu kembali meneteskan air matanya. Nana tak kuasa menahan sedih, keduanya berpelukan dalam tenang. Tangis itu terdengar rendah walau tak dapat dipungkiri bagaimana perasaan yang bercampur disana.
“Terima kasih karena sudah menjadi adik terbaik untukku, Dek. Semoga kamu bisa bahagia dengan siapapun dia, yang nantinya akan menghabiskan masa tua bersamamu.”
“Semoga ya, Kak. Jangan pernah lupa sama aku ya, sering-sering pulang, loh!” titah Naura melepas pelukannya karena suara ketukan diluar ruangan membuat keduanya menoleh.
“Mas Radi sudah datang, Kak. Aku buka pintu dulu, ya. Semangat untuk hari ini.”
“Thanks ya, Dek. Semangat juga untuk kamu hari ini.”
Langkah Naura menjauh dari sang Kakak seraya membuka pintu masuk dimana Radi berdiri disana. Wajah laki-laki yang biasanya hanya datang dan melang-lang buana di rumahnya itu, telah benar-benar menjadi anggota keluarganya sekarang.
“Silahkan masuk, Mas. Bidadarinya sudah menunggu.”
“Thanks ya, Nau. Semoga cepat nyusul kita,” ujar Radi mengakiri katanya dengan candaan yang dibalas Naura dengan kekehan. Beberapa sepupu Radi yang mengekor di belakang masuk ke dalam ruangan menggantikannya menuntun Nana keluar ruangan.
Dalam langkah menjauh, Naura tersenyum kecil.
Tak hanya harapan baik yang ia inginkan pada pernikahan kakaknya, namun kelak bagi pernikahannya sendiri.