Otogibanashi Villa

Otogibanashi Villa

Akarui Cha

0

“Kak Haris.”

Wanita muda bertubuh ramping, dengan kulit putih cenderung pucat itu, sudah berkali-kali merapalkan nama yang sama. Rambutnya basah, mengumpul dalam ikatan di pundak sebelah kanan. Matanya sayu, bibirnya kering, menatap kosong pada aliran deras air sungai yang hitam pekat di bawah sana.

Kilatan petir menyambar-nyambar di langit, menjadi teman bagi perempuan yang seolah kehilangan indera perasanya itu. Gigil yang menderanya sedari tadi, nggak juga membuatnya bersedekap dan mencari tempat untuk berteduh. Ia setia duduk di tepian jembatan. Baginya, musik dari langit yang berpadu dengan deru air yang menabrak bebatuan besar di bawah sana, sungguh teman yang sempurna.

Di sekitarnya sepi, jauh dari pemukiman. Tempat yang begitu indah untuk memanggil kematian. Toh, sungai di bawah sana, akan berbaik hati menjaga jasadnya tetap utuh, menuju pada entah.

Airmatanya masih setia tertumpah, mengalir tanpa jeda dari pelupuk matanya. Kepalanya dipenuhi berbagai ingatan yang menyesakkan. Senyum terakhir dari Haris Arkana saat mengunjunginya untuk sarapan pagi, satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini selama 11 tahun terakhir, kakak kandungnya, sosok yang sepenuh hati merawat dan menjaganya, menggantikan kedua orangtua mereka yang tewas bersama dalam sebuah kecelakaan, terus terbayang.

Pagi itu, dengan wajah sedikit lelah, Haris mengadu kalau istrinya yang tengah hamil trisemester kedua masih terjebak morning sickness dan nggak sanggup menyediakan setangkup roti untuknya. Dari sorot mata Haris yang seumur hidup dikenalnya, Risa mendapati kalau belakangan ini, kakaknya memendam sesuatu. Tapi sebagai adik, Risa nggak sepenuhnya berani bertanya.

Pada hari nahas itu pula, di rumah peninggalan kedua orangtua mereka yang telah sepenuhnya didiami oleh Risa dan Sigit, suaminya, Haris memilih berlama-lama di taman belakang, menemani Risa yang memang hanya sendirian saja di sana. Sembari menghabiskan menu Nasi Goreng Bakso kesukaannya, ia berkelakar.

“Dek, kalau hujan turun, kamu masih suka lari-larian di sini nggak?”

Entah basa-basi atau apa, Risa hanya menanggapinya dengan senyuman. Ya … sejak menikah dengan sahabat lekat kakaknya, Risa pun lebih banyak berdiam di rumah. Sigit rupanya lelaki yang banyak melarang, mencegah Risa untuk pergi kemana pun semaunya, bahkan nggak punya teman seumuran. Tinggallah Haris yang selalu datang dan bertanya, “Dek, kamu bahagia sama Sigit?”

Seolah hendak mengucapkan salam perpisahan, Haris memeluk erat Risa, lama sekali, ketika akhirnya ia pamit menjelang jam makan siang. Nggak ada pesan seperti biasanya, hanya dekapan erat dengan tepukan lembut di punggung. Saat itulah, Risa terakhir kali mendapati senyum kakaknya, memandang mata bulat Haris yang mirip sekali dengan miliknya, dan menikmati merdu suara tenang sang kakak.

Senja pun belum sempurna memerah di langit, Haris pergi dengan tubuh menghitam akibat luka bakar 80 persen. Mobilnya mengalami rem blong, menabrak lampu lalu lintas, lalu terbakar. Kakaknya itu nggak berhasil menyelamatkan diri, seperti pengendara lain di sekitarnya.

Risa sempat berpikir, mungkin sudah takdirnya ia hidup sebatang kara. Toh, selanjutnya, ada Sigit Fattah, sang suami yang akan melindunginya. Juga ada Mika Kirania, janda dari sang kakak yang tengah menunggu kelahiran buah hati pertama mereka setelah sembilan tahun menikah. Risa ingin bisa menjaga Mika, mencintai si jabang bayi, merawat keduanya. Bodohnya, nggak perlu menunggu lama, ia tersambar kenyataan pahit. Selama ini, Risa dikhianati Mika dan Sigit. Ah, apa Haris sudah tahu?

Seolah benci menunda terlalu lama, Sigit mengangsurkan amplop coklat berisi formulir pengajuan perceraian untuk Risa. Belum satu bulan Haris berpulang, Risa kini disingkirkan dari rumah warisan kedua orangtuanya. Sigit yang biasanya bersikap manis, berubah dingin, tatapannya persis iblis.

“Terima kasih sudah menemaniku sejauh ini. Sekarang, sudah waktunya aku mengurusi calon bayiku dan Mika.”

Risa dibiarkan bungkam di sudut ruang tengah dengan lelehan airmatanya, di bawah lampu nakas yang temaram.

“Haris.” Sigit sempat menjeda ucapannya. “Kakakmu yang kemarin mati itu, mandul. Mungkin, kamu juga sama saja. Kalian, dua orang bodoh yang nggak berguna lagi.”

Risa gemetar. Kini, dia benar-benar kehilangan tempat berpegang.

“Pergilah! Aku nggak berniat membuatmu masuk liang lahat juga. Ya … paling nggak, aku nggak perlu repot mengurusi jenazahmu nantinya.”

Setelah Sigit mendekap mulut dan hidungnya, semua gelap bagi Risa. Ia baru tersadar menjelang pagi, di sebuah tempat yang sama sekali nggak ia kenali. Nggak ada siapapun, bahkan hanya gema teriakannya saja yang bisa ditangkap telinganya. Sejauh matanya memandang, hanya rimbun pepohonan yang ia dapati.

Lelah seharian berkeliling, semangat hidupnya sempat kembali ketika berhasil menemukan jalan besar di bawah bukit. Ia merasa, Tuhan Maha Baik, maka ia terselamatkan. Sayang, sepanjang hari menunggu bantuan, menyusuri jalan dengan perasaan nggak menentu dengan sisa tenaga, Risa mulai berpikir, menyusul Haris tentu nggak ada salahnya.

“Kak Haris.”

Tubuhnya mulai kehabisan daya. Ia melewati senja di sebuah jembatan, berharap ada yang menemukannya. Malam menyapa, membawa pekat yang mengerikan. Risa mendengarkan namanya dipanggil oleh aliran deras sungai di bawah sana, berkali-kali. Ya … alam meyakinkannya untuk menyusul Haris ke keabadian.

Hingga ….

“Berhenti!”

Suara decitan rem dari minibus hitam, dalam sepersekian detik, berganti dengan derap langkah lelaki muda yang terburu-buru menarik tangan Risa yang terangkat pasrah ke atas saat tubuhnya bersiap menceburkan diri. Napas si pemuda memburu, jantungnya seolah hampir saja berhenti berdetak, ketika akhirnya, sekuat tenaga, ia menahan tubuh dingin si perempuan yang hampir saja terjun bebas, menyapa aliran deras di bawah sana.

“Jangan mati di sini.” Bisiknya sembari berjuang menarik si perempuan kembali ke atas..

Risa masih bisa mendengar suara itu. Ia sadar, ada tangan yang memandunya naik, menahan tubuhnya agar tetap berdiri, namun sayang … tenaganya mencapai limit. Silau oleh lampu jauh dari sebuah mobil di dekatnya, Risa hanya menyipit, sebelum matanya terpejam sempurna.