Sore hari, di sebuah kafe kecil yang damai, di tengah kota yang hiruk-pikuk.
Orang-orang mengantre untuk kopi yang kualitasnya tidak terlalu bagus, untuk mempertahankan dirinya hingga akhir hari. Kafe ini ramai dikunjungi hanya saat jam makan siang, itu pun karena harganya murah.
Seorang kakek kaya raya duduk di sudut ruangan dekat poster film superhero masa kini, Avenger: Civil War. Dia berpenampilan unik dan nyentrik. Kumisnya dipilin ke atas membentuk bulan sabit di kedua ujungnya. Tampaknya dia suka datang ke kafe ini karena perlu teman mengobrol.
Di usianya yang senja itu, bukankah seorang kakek harusnya banyak menghabiskan waktu di rumah?
Seorang pemuda miskin yang mungkin juga sama kesepiannya, bekerja paruh-waktu di kafe itu untuk menambah-nambah sumber penghasilan. Dia suka mendengarkan cerita-cerita unik dari negara-negara yang pernah dikunjungi kakek ini. Sambil mengelap gelas-gelas yang baru dicuci, si pemuda mendongak pada kakek, memulai pembicaraan.
“Hari ini ada cerita apalagi, Opa?”
“Tergantung. Bagaimana perasaanmu hari ini?” jawabnya setelah menelan seteguk kopi yang tidak sedap.
“Aku merasa kesal dengan pemilik kafe ini. Banyak yang komplain biji kopinya tidak enak. Aku pun sudah memberitahunya, tapi dia malah mengancam untuk memecatku.”
Kakek itu mengangguk-angguk.
“Ya, aku setuju dengan kamu. Kopinya memang tidak enak,” ujarnya sambil menyeruput sedikit lagi. “Keluar sajalah dari sini!”
Si pemuda itu menahan tawa.
“Lalu aku makan dari mana, dong?”
“Kalau ada tawaran yang lebih bagus, kamu mau keluar dari sini?”
Si pemuda itu berpikir sebentar.
“Yah, kalau tawarannya bagus, dan sesuai dengan keahlianku, dan tentunya mereka juga mau mempekerjakanku—tentu saja aku sudah pasti akan pindah dari sini. Kenapa? Opa punya tawaran bagus buatku?” sorot matanya tampak jail.
Sang kakek menggerakkan kepala dengan gestur iya dan tidak. Ia melanjutkan kalimatnya setelah berpikir sebentar.
“Aku punya proyek besar, dan aku rasa kamu adalah orang yang cocok untuk pekerjaan yang akan aku tawarkan.”
Tampak binar-binar muncul di mata pemuda itu. Apakah ini akhir dari nasib burukku?
“Tapi kamu harus dengarkan dulu cerita dariku. Satu syaratnya, kamu harus percaya dengan semua kata-kataku.” Kakek memilin-milin kumisnya. “Cerita ini akan memakan waktu sepanjang hari.”
“Yah, kafe ini cuma ramai kalau waktu makan siang saja, kan?”
Pemuda ini keluar dari balik meja pantry, lalu duduk di depan Kakek.
“Dari mana sebaiknya aku mulai bercerita tentang tempat ini?” Sang Kakek membuang napas.
“Apa tempat ini menarik?”
“Oh ya,” ujarnya mengangguk-angguk. “Tentu saja sangat menarik. Bahkan sebetulnya, tempat ini adalah tempat asalku.”
“Oh ya? Di mana? Sepertinya menarik mengetahui tempat asal dari Opa kaya raya yang misterius ini,” pemuda itu menggodanya.
Kakek berumur 80-an ini bersandar ke kursi dengan cekatan sehingga dia tidak tampak setua itu. Lalu mulailah ia bercerita sambil memilin-milin ujung kumisnya.
“Penduduk negara ini adalah penduduk negara Indonesia, dulunya. Namun, mereka memisahkan diri secara rahasia. Dan, Tujuh Pendiri ini membangun negara baru berbentuk kerajaan.
Kerajaan ini bernama Ormovida.
Sebuah kerajaan makmur yang asri nan maju yang berada jauh dari keramaian. Setelah panjang lebar menceritakan dongeng yang menggoda ini, kakek itu melanjutkan.
“Kini akan kulanjutkan pada penawarannya.”
Kakek memberi isyarat si pemuda agar mendekat, lalu berbisik-bisik. Setelah itu, wajah si pemuda terkejut bukan main.
“Menyamar jadi seorang pembunuh bayaran?”