One Night Secret : Jodoh Untuk Sakina

One Night Secret : Jodoh Untuk Sakina

Cherry

0

Aku pasti sudah bodoh semalam. Bagaimana bisa aku tidur di samping pria dengan tanpa busana satu helai pun? Umurku dua puluh lima tahun, tapi aku tidak dapat membedakan mana minuman yang memabukkan mana yang tidak. Ya, sayangnya aku sangat bodoh dalam menilai makanan dan minuman. 

"Sa, kamu baru pulang?" 

Satu hal lagi yang belum kupersiapkan. Ini tentang Mama yang pasti akan bertanya seabrek pertanyaan padaku sekarang. 

"Dari mana aja kamu semalam?"

"Tidur di mana?"

"Kenapa handphone kamu matikan?" 

"Kamu nggak bikin masalah, kan? Kasih tau Mama siapa yang nemenin kamu semalam? Jawab Sakina!" 

Aku hanya tersenyum kaku. Apakah aku akan tamat sekarang? 

"Nginep di rumah teman, Ma."

"Temen yang mana?" 

Sebaiknya aku mulai mengarang cerita yang lebih baik. Semoga saja ini berhasil. Aku masih ingin mandi dan segera membersihkan tubuh kotorku yang menjijikkan ini. Euh, aku benar-benar jijik kalau ingat apa yang sudah aku perbuat semalam. Pertama kalinya dalam hidupku, dan aku sangat menyesal, marah, mengutuk tak habis perbuatanku itu. 

"Melly, Ma, udah, ya."

"Melly? Yakin Melly? Bukan dengan cowok kan?" 

Jantungku serasa akan copot saja mendengar pertanyaan Mama barusan. 

"Bu-bukan, Ma. Sakina mau mandi dulu, ya, bau nih." 

"Sakina, awas, ya, kalau sampai kamu bohongin Mama. Ya udah, kamu mandi terus kita makan, Mama ada yang mau dibicarakan sama kamu." 

Apa lagi ini? Kalau ada yang ingin dibicarakan pasti sesuatu yang penting. Semoga aja ini tidak akan menjadi masalah baru dalam hidupku setelah aku mengalami musibah besar semalam. 

"Oke, Ma, Sakina mandi dulu."

Aku bergegas ke kamar dan mengunci pintu. Sakina! Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Kamu sudah kehilangan harta yang paling berharga yang selama dua puluh lima tahun ini kamu jaga baik-baik sebagai perempuan. Habis sudah, apa aku tidak akan menikah karena aku bukan lagi perawan? 

Penyesalan tak habis pun tidak ada gunanya. Nasi sudah menjadi bubur. Semoga saja pria itu tidak mengenali wajahnya, atau menuntut ganti rugi berupa pertanggung jawaban. Tidak, aku wanita dan aku lah yang dirugikan! Sialan. Bahkan aku tidak ingat wajah pria itu sama sekali, selain tahi lalat kecil di bagian punggung sebelah kirinya. Ada satu lagi, aku melihat di keningnya sedikit, ada bekas luka di sana, aku yakin sekali karena aku melihatnya dengan jelas. 

Oh Tuhan! Bagaimana bisa aku menutupi rahasia terbesarku ini dari Mama? Kalau masih ada Papa, pasti aku sudah dibunuh dan dicoret dari kartu keluarga! 

**

"Sa, kamu udah mandinya?" tanya Mama yang sudah duduk menungguku dengan senyum hangatnya. Wajah itu, aku tidak sadar sudah menggoreskan satu aib di sana. Aku yang dilahirkan, dibesarkan dengan doa dan harapan terbaik, juga cara terbaik, harus mencoreng itu karena perbuatanku semalam. Sakina, jangan menangis sekarang, kamu tidak mungkin mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi, kan? 

"Iya, Mama masak banyak banget, Ma," kataku melihat banyak masakan yang tertata di atas meja makan. Ini semua adalah makanan favorit ku, ada apa? 

"Iya, Mama sengaja masakin makanan kesukaan kamu. Yuk, kita makan, kamu duduk buruan."

"Tumben, Ma," jawabku agak sedikit gemetar karena aku masih ketakutan sendiri. 

"Kamu kok kayak gemeteran gitu, sih, Sa?"

"Eh, nggak, kok."

"Kamu kelaperan, ya?"

"Ah, itu, kayaknya iya, deh. Sakina laper, Ma," jawabku, setidaknya Mama tidak curiga aku melakukan kesalahan semalam. 

"Ya udah, kamu. Makan dulu, gih."

Mama memberikan piring yang sudah diberi satu centong nasi merah kesukaanku. Ini makin membuatku terluka, dan aku tidak yakin aku bisa bertahan menjaga rahasiaku ini dari Mama. Dia adalah wanita yang paling berjasa dalam hidupku. Apa aku tega membohongi nya?

"Makasih, Ma, Mama juga makan, ya."

"Iya, dong. Nanti setelah makan kita baru bicara. Ada hal yang penting banget mau Mama bicarakan sama kamu, Sa."

"Hal penting? Apa itu, Ma?"

"Udah kamu makan dulu, katanya kamu laper, buruan sebelum kamu kena maagh nanti." 

Aku hanya mengangguk saja lalu mulai menyantap masakan Mama. 

Setelah selesai makan, aku membantu Mama membereskan semuanya. Kami berdua duduk di ruang santai untuk membicarakan sesuatu yang entah apa itu. Sebenarnya aku sangat penasaran, karena Mama jarang sekali mengajak aku bicara serius kalau tidak benar-benar serius. 

"Sa, kamu sayang, kan, sama Mama dan Papa?" 

"Iya, pasti sayang, Ma, tapi kenapa kok Mama tanya gitu?" 

"Kalau gitu kamu harus memenuhi wasiat Papa, ya, Sa. Mama harap kamu jangan menolak apa pun yang menjadi isi wasiatnya." 

"Wasiat? Emangnya Papa ada ninggalin Sakina wasiat?" 

"Iya," angguk Mama. 

"Apa itu, Ma?" 

Mama memegang tangan ku dengan lembut sambil tersenyum. "Besok kita akan kedatangan tamu, dia adalah seorang pria yang sangat baik dan berjasa dalam hidup Papa kamu dulu, sebelum kamu lahir, dia yang membantu sampai Papa kamu bisa bangkit dari keterpurukan. Dia datang sama anaknya, seorang laki-laki dewasa, yang mapan, tampan, cocok sama kamu, Sa."

Gilak! Tapi ini udah ketebak! Alurnya pasti aku mau dijodohkan?

"Maksud Mama, Sakina mau Mama jodohin? Jadi isi wasiat Papa itu tentang jodohin Sakina sama pria yang berjasa itu? Gitu, Ma?" 

Wajahku langsung berubah. Alisku bertaut dengan mata membulat. 

"Iya, Sa, kamu juga udah waktunya menikah, kan? Mama tanya apa kamu udah ada jodoh? Kamu jawab belum, kan?" 

"Iya, Ma, tapi..." 

"Nggak ada tapi-tapi, Sa." 

Mama berdiri, dia terlihat tidak mau aku bantah kali ini. 

"Mama mohon, Sa, kali ini aja. Mama dan Papa nggak pernah meminta sesuatu sama kamu, kan? Kali ini aja, ya, Sa, kamu jangan nolak."