Apa yang segera terlintas di benakmu ketika mendengar kata ‘kisah?
Bagiku, kisah dapat bermula di hari ketika kau lahir. Saat itu, kisah yang kau ciptakan berawal dari pecahnya tangis di tarikan napas pertamamu. Pukul berapa kelahiranmu; apa jenis kelaminmu; siapa namamu; di mana kau lahir; bagaimana proses kelahiranmu; dan siapa saja yang menemani ibumu di hari itu. Kau mungkin mengira bahwa hal-hal itu hanya informasi biasa yang tidak lebih penting dari sebuah data dalam catatan kependudukan. Tidak. Itu adalah kisah tentang kelahiranmu dan setiap orang di dunia ini punya jawaban yang berbeda, menciptakan kisah yang berbeda.
Kisah tidak terbatas hanya pada dongeng, mitologi, fabel dan sejenisnya. Kau menciptakan kisah, begitu pula aku.
Nah, sekarang ayo kita berbicara tentang ‘dongeng’.
Bagiku, dongeng tercipta bahkan sejak manusia belum menghuni bumi. Dongeng tentang penciptaan alam semesta; para makhluk yang diciptakan lebih dahulu oleh Tuhan di surga yang damai dan serba berkecukupan; penciptaan Adam dan Hawa sekaligus tersingkirnya para iblis dari surga; lika-liku kehidupan para manusia di bumi; dongeng tentang hewan, tumbuhan, dewa, hantu, hingga makhluk mitologi seperti putri duyung, peri, raksasa, naga, kurcaci, sihir, dan lain sebagainya.
Selama kau hidup, setidaknya kau pasti memiliki satu-dua dongeng yang terus kau ingat. Dongeng yang kau dengarkan dari mulut ibumu sebelum tidur hingga mengantarkanmu pada mimpi nan indah. Dongeng yang kau baca dari tumpukan majalah anak dengan warna-warni cantik. Dongeng yang terpaksa harus kau pahami sebagai bagian dari tugas sekolah. Dongeng yang sepintas kau tonton dari ponsel maupun televisi.
Aku tidak akan menanyakan apa dongeng yang paling kau sukai. Aku juga tidak akan memintamu memercayai dongeng-dongeng yang ada karena banyak hal yang terasa tidak masuk akal, apalagi ketika kau sudah menginjak usia remaja. Kau yang dulu merasa takjub pada dongeng akan mulai memikirkan banyak hal termasuk omong kosong yang ada dalam setiap dongeng. Tidak mengapa. Hal itu terjadi kepada sebagian besar orang dewasa. Bukan masalah besar ketika kau akhirnya melupakan dongeng masa kecilmu dan baru kembali mengingatnya ketika kau harus menceritakannya kepada anak-anakmu nantinya.
Ah, anak-anak memang sangat mudah memercayai dongeng. Mereka akan takjub, terngiang, berharap dapat masuk ke dalam dongeng, sebelum akhirnya tumbuh dewasa dan menganggap dongeng hanyalah sebuah khayalan. Semua siklus itu berulang hingga akhirnya menjadi bagian dari kisah hidup dari banyak orang.
Aku pun demikian. Masa kecilku penuh dengan imajinasi dan skenario-skenario buatanku, membayangkan apa jadinya jika aku menjadi Cinderella, atau bertemu tujuh kurcaci teman Putri Salju, atau menjadi itik buruk rupa yang kemudian tumbuh menjadi angsa yang menawan.
Bedanya, ‘kisah’ku tercampur dengan ‘dongeng’ yang kini mulai terasa seperti omong kosong dan bualan.
***
Namaku Elona. Umurku lima tahun.
Aku tinggal bersama ibu yang rajin membacakanku cerita, sedangkan ayah yang sangat teramat super sibuk hanya dapat menemaniku beberapa kali dan sebulan. Aku tidak tahu apa yang ayah kerjakan, namun aku merasa beruntung karena ibu selalu menemaniku di rumah. Aku suka bermain di ruang tengah karena banyak bantal dan sofa dan rak-rak penuh buku milik ibu dan rak-rak berisi koleksi mainanku.
Setiap hari, ibu akan membangunkanku dan mengajakku sarapan berdua (bertiga, kalau-kalau ayah belum berangkat tapi sangat sangat jarang menemukan ayahku belum berangkat ketika aku terbangun). Beranjak siang, aku akan bermain dan terkadang belajar di samping ibuku yang mengerjakan pekerjaannya di komputer maupun membereskan rumah. Jika sudah waktunya makan siang, ibu menawariku untuk memilih apa yang ingin aku makan, lalu kami akan makan berdua dan terkadang menggelar tikar di bawah pohon di halaman rumah. Biasanya aku akan tertidur setelah makan dan ibu yang menggendongku ke kamar. Bangun dari tidur siang, ibu sudah menyiapkan camilan seperti keripik atau agar-agar atau es krim atau manisan dan kami akan menonton televisi sampai waktunya makan malam. Kami jarang menunggu ayah karena ia sering terlambat sehingga kami makan malam lebih dulu. Kalau semua kegiatan kami sudah selesai, barulah ibu akan memilih satu buku dongeng untuk ia bacakan untukku sebelum tidur.
Aku bisa membayangkan berada di gubuk milik para kurcaci, minum teh bersama Mad Hatter dan kawan-kawannya, berjalan-jalan di padang pasir, mengarungi samudra dengan para putri duyung, dan terkadang aku juga membayangkan pergi ke dalam dongeng-dongeng tersebut bersama ibu. Setelah banyak hal kami lakukan seharian, dongeng sebelum tidur selalu menjadi kegiatan yang paling aku sukai (selain makan makanan manis di sore hari tentunya). Aku paling suka dongeng yang bercerita tentang putri raja, bertemu pangeran tampan, lalu akhirnya mereka hidup bahagia selamanya. Dengan dongeng seperti itu aku bisa bermimpi indah, berbeda dengan dongeng yang berakhir sedih. Aku pernah menangis di tengah malam karena memimpikan dongeng itu.
Sejauh yang bisa aku ingat, kami memang sering menghabiskan waktu berdua. Jika sedang beruntung, aku akan dapat menemui ayah sebelum tidur dan dia akan menemani ibu membacakan cerita untukku. Jika sedang teramat sangat beruntung, ayah akan mendapatkan waktu libur barang sehari saja dan kami bertiga akan menghabiskan waktu dengan pergi ke taman atau sekadar melihat bintang-bintang di halaman rumah.
Suatu hari, mobil ayah masuk ke halaman bahkan sebelum matahari terbenam. Ini sangat langka, apalagi melihat ayah masuk rumah sambil tersenyum lebar lalu memeluk aku dan ibu.
“Ayah dapat kenaikan jabatan!”
Aku tidak tahu apa itu ‘kenaikan jabatan’, tapi ibu terlihat ikut senang sampai mengikuti gerakan ayah yang memelukku dengan erat. Aku tidak pernah melihat mereka tertawa senang sekali seperti ini.
Mungkin karena melihat wajahku penuh tanda tanya (atau karena aku tidak ikut tertawa senang seperti mereka), ibu lalu berhenti dan menatapku tanpa menghapus senyum di bibirnya. “Elona, begini, kalau ayah naik jabatan itu artinya ayah bisa meluangkan banyak waktu untuk bersama kita di rumah, bahkan mungkin kita bisa pergi jalan-jalan ke luar kota selama beberapa hari!” ujar ibu.
Mulutku hanya bisa membentuk huruf ‘o’ lalu ikut memeluk mereka. Kami bertiga tertawa bersama. Aku bisa membayangkan berada di salah satu tempat wisata yang sering muncul di televisi, bermain di pantai, melihat ikan di akuarium, atau menatap pemandangan kota dari atas bukit. Senyumku semakin lebar karena membayangkannya.
“Nah, selain itu, ayah sudah mendapatkan izin untuk mengambil cuti untuk merayakan kabar gembira ini!” senyum ibu terlihat semakin lebar setelah mendengar ucapan ayah selanjutnya. “Kita akan berlibur ke pantai!”
Aku melompat kegirangan, tentu saja. Bisa kubayangkan orang-orang berlari di atas pasir dan angin laut yang mengacak rambut. Aku tidak tahu bagaimana rasanya berlarian di atas pasir pantai atau mendengarkan debur ombak secara langsung atau berdiri saat ombak sampai ke tepi pantai, dan pada akhirnya aku bisa merasakan semua itu! Semua berkat ayah dan entah apa yang naik itu.
Beberapa hari berlalu dan aku selalu membahasnya dengan ibu. Ayah masih sibuk seperti sebelumnya, memang, tetapi setidaknya aku bisa sarapan bersama dengannya beberapa hari terakhir. Ibu bilang kami akan pergi ke pantai besok lusa, dan aku harus membantu ibu menyiapkan barang bawaan kami nantinya. Baju, handuk, topi, permen, entah apa lagi yang aku masukkan, aku tidak sabar!
Lusa akhirnya datang juga.
Kami berangkat di pagi hari, dan menurut ibu kami baru akan sampai setidaknya sebelum jam makan siang. Ayah menyetir mobil dengan ibu yang duduk di samping kursi pengemudi dan aku duduk di belakang dengan boneka bintang laut milikku. Barang-barang kami sudah tertata rapi di bagasi. Cukup sesak karena kami akan menginap selama tiga hari dua malam. Perjalanan ini cukup jauh, sehingga dalam perjalanan aku tak bisa menahan kantuk.
“….na,” samar-samar aku mendengar banyak suara, terutama deru angin, “Elona, kita sudah sampai,” kini suara ibu memenuhi telingaku. Cahaya memasuki indera penglihatanku dari pintu mobil yang terbuka dan hanya terhalang sedikit oleh badan ibu, membuat suasana sekitarku buram sejenak karena intensitas cahaya yang tidak biasa aku dapatkan. Suara di sekitar mobil akhirnya dapat terdengar dengan jelas. Aku mengerjap beberapa kali guna menyesuaikan diri. Cahaya matahari yang hangat, suara tawa dan debur ombak, angin yang berderu kencang.
Aku segera melompat dari mobil tanpa memakai alas kaki apapun, berlari menyusuri pasir pantai yang keemasan dan terasa lembut di kakiku. Ibu dan ayah tidak memanggil. Sepertinya mereka juga hanyut oleh suasana pantai.
Aku tidak tahu bahwa pantai terasa sangat menyenangkan!
Aku bisa melihat di sekitarku, anak-anak lain membangun istana pasir, beberapa berkejaran di pinggir pantai, beberapa hanya berjalan bergandengan tangan dengan orang tua mereka. Aku menghirup udara yang terasa asin (ini unik sekali padahal aku tidak memakan angin tapi aku tahu bahwa rasanya asin), sebelum akhirnya melangkahkan diri untuk menuju bibir pantai. Aku ingin berkejaran dengan ombak!
Entah sudah berapa lama sejak kami selesai makan siang (kami makan siang tak lama setelah sampai ke pantai) dan aku kembali bermain pasir. Tidak lama, suara degungan menyeruak di udara, sepertinya dari pengeras suara yang dipasang di dekat tempat makan tak jauh dari tempat kami makan. “Perhatian kepada para pengunjung. Diharapkan agar tidak berenang hingga melewati batas pantai karena arus pasang diperkirakan lebih tinggi dari biasanya. Sekali lagi…”
Aku tidak tau apa itu arus pasang. Apa arusnya akan memasang sesuatu atau berpasangan dengan sesuatu? Aku juga tidak yakin dengan batas pantai karena tidak ada garis maupun pagar sejauh yang bisa aku lihat.
“Elona, hati-ha– nan– … kau terba– arus … –ngah…” suara ayah terdengar samar. Kurasa mereka memerhatikanku dari gazebo yang tidak jauh dari tempatku bermain.
Aku hanya menggumam, tidak yakin bahwa mereka mendengar –atau bahkan melihat. Rasa menggelitik yang muncul ketika ombak menyentuh kakiku sangatlah menyenangkan. Sesekali aku menundukkan badan, mencoba meraba sesuatu yang tersembunyi di balik pasir. Beberapa kali aku menemukan kerang berukuran kecil, beberapa hanya cangkangnya saja namun sangatlah cantik, beberapa hanya berwarna putih kecoklatan. Kerang-kerang tersebut aku kumpulkan dalam gelas plastik yang aku temukan tak jauh dari tempatku berdiri. Matahari tidak sepanas sebelumnya dan orang-orang sepertinya mulai membersihkan diri dan bersiap-siap untuk pulang. Mungkin mereka akan kembali ketika sudah saatnya matahari tenggelam.
Setelah berkali-kali meraba pasir pantai dan menemukan berbagai jenis kerang dan cangkang, aku menyimpulkan bahwa arus juga seakan menarikku untuk menemukan jenis kerang yang lain. Selangkah demi selangkah aku mengikuti arus yang kini sudah setinggi setengah pahaku. Sesekali aku meraba pasir di dasar ketika kakiku terasa seakan menyentuh sesuatu. Ada rasa senang ketika tanganku menemukan kerang-kerang yang cantik.
Ketika aku tengah meraba pasir, ombak besar datang dan menarikku maju (maksudku adalah maju ke arah laut, sulit menjelaskannya tapi aku rasa kau mengerti sensasi hilang arah ketika air laut datang dan pergi). Sekarang aku merasa berat untuk menapak dan harus berjinjit karena air laut sudah nyaris setinggi dadaku. Nafasku terasa sesak terutama ketika ombak kembali ke arah laut, aku semakin maju dan maju dan semakin sulit untuk berjalan ke tepian.
Kini air laut mulai membasahi seluruh bajuku. Gelas plastik tempatku menyimpan kerang masih aku genggam namun aku tidak yakin kalau kerang-kerang itu masih ada di sana karena ombak juga mulai menyapu isi gelasku. Air laut kemudian masuk ke hidungku, rasanya panas, membuatku terbatuk dan itu ternyata memperburuk suasana karena air laut malah merangsek masuk ke mulutku, terjun ke tenggorokan, kerongkongan, apapun itu aku tidak bisa membedakannya karena sekarang aku mulai ketakutan. Aku sudah benar-benar tidak bisa menapak ke pasir, hidungku terasa panas bahkan untuk sekadar bernapas, mulutku terasa asin dan leherku terasa terbakar.
Aku tidak bisa mendengar apapun.
Sulit menjaga kepalaku tetap berada di atas air. Sekarang seluruh badanku berkali-kali timbul tenggelam dan telingaku sudah penuh oleh air. Aku berontak, berkali-kali mencoba meraih entah apa di atas air, memukul dan menendang air. Percuma saja. Gelas yang aku genggam sudah hanyut entah kemana. Aku tidak yakin tapi rasanya aku semakin menjauh dan sekitarku terlihat abu-abu. Dadaku sesak akibat air yang berkali-kali ikut terhirup dan perutku terasa sakit sekali akibat menelan air laut. Beberapa menit terasa seperti beberapa jam dan pandanganku mulai kabur. Aku lelah meraih angin. Aku lelah menendang air.
Sekarang pantai sudah terasa jauh sekali. Aku membayangkan apa ayah dan ibu panik karena aku sudah sejauh ini? Sekarang mataku terasa berat, aku merasa tak kuat untuk menggerakkan tubuhku lagi karena air sepertinya sudah banyak yang masuk ke tubuhku.
“…na, Elona, jangan tertidur! Jaga kesadaranmu!” suara ibu sayup terdengar di kepalaku.
Segalanya kemudian biru dan sesak. Aku masih bisa membuka segaris mata, namun untuk membuka mata lebih lebar rasanya sangat panas dan berat. Aku melihat tangan dan rambutku menari di air dan garis-garis sinar matahari menyinari bawah laut.
Di ujung kesadaranku, sebuah tangan menggenggam tanganku dan sebuah jaket terpasang ke badanku yang sudah tenggelam. Pelampung itu akhirnya terpasang di badanku dan didorong oleh seseorang yang terlihat seperti ibu sebelum sebuah ombak besar kembali menghantam kami berdua dan genggaman kami terlepas.
Aku yang sudah kembali bertemu udara lalu melihat ibu, basah kuyup dan berjarak beberapa meter dariku. Tangannya terulur, seakan memintaku untuk meraih tangannya. Dengan lemas aku mengulurkan tangan, namun ombak lagi-lagi menambah jeda di antara kami. Kini jarak kami sudah cukup jauh untuk kami sekadar mengulurkan tangan. Dengan kesadaran dan kekuatan yang tersisa, aku mencoba mendekati ibu yang terombang-ambing dan kini sudah timbul tenggelam. Mulutnya mengerjap dan aku dapat melihatnya bolak-balik menendang air laut sama seperti yang aku lakukan tadi.
Ombak kembali menghantam kami berdua dan gerakan ibu mulai melemah hingga yang terakhir aku lihat hanyalah puncak kepalanya. Jarak di antara kami sudah teramat lebar dan ombak juga berkali-kali menghantam. Kepalaku pening, dadaku sesak sekali. Melihat ibu menghilang ditelan air laut, semua rasa sakitku semakin menjadi dan aku semakin sulit bernapas.
“IBU!” Aku menjerit dalam hati.