Setelah dua bulan menjadi suami istri, nyatanya hubungan Zaya dan Afriz justru makin hangat dan rekat. Sama sekali tak mencerminkan bahwa pada dua bulan yang lalu, keduanya hanya mempersiapkan pernikahan selama sepuluh hari sejak prosesi lamaran.
Tempo yang terhitung singkat dan terbilang terburu-buru itu, membuat Afriz tak mau membuang-buang waktu dengan menampung keluhan-keluhan Zaya tentang mulut para tetangga, yang menurutnya sama sekali tak penting untuk terlalu didengarkan apalagi dipikirkan. Baginya, selama nanti mereka menjalani pernikahan ini sebagaimana mestinya, mulut-mulut usil itu akan bungkam sendiri.
"Kita yang menjalani, bukan mereka." Begitu, kata Afriz waktu itu. Meyakinkan Zaya sekaligus dirinya sendiri bahwa orang-orang itu tak memiliki urusan dengan keluarga kecil mereka nanti.
Ya, memang tak ada lagi waktu bagi dirinya dan Zaya untuk cengeng-cengengan, apalagi bersikap sok jual mahal. Jika memang masalahnya adalah status Zaya yang belum pernah menikah, tetapi sudah punya anak, keyakinan sudah tak memberi ruang bagi keraguan.
Terdengar notifikasi pesan masuk, sehingga menginterupsi ingatan Afriz. Lalu dibukanya pesan suara yang baru saja dia terima.
"Mas kan suka nonton wayang di YouTube. Kebetulan, di sini besok malam ada pertunjukan wayang, Mas. Siaran langsung. Mau nonton, nggak?" tanya Zaya dari seberang.
Merasa tak memiliki kegiatan yang mendesak, Afriz menekan simbol mikrofon di layar ponselnya sambil berbicara. “Ini ajakan nonton bareng yang terselubung?”
"Hiiih pede banget. Ini cuma ngasih tahu. Siapa juga yang ngajak Mas nonton? Lagi pula aku nggak suka nonton wayang. Bikin ngantuk. Mas aja, kalau mau nonton."
Tanpa sadar, Afriz tersenyum mendengar kebawelan yang dia rindukan. Tetapi dia tak mau membahas itu. “Kapan pulang dari rumah bapak dan ibu?”
Ada jeda sebentar, karena topik yang berubah drastis barusan. “Lusa, kan, sesuai perjanjian?”
“Oke, mas jemput.”
Semakin mengenal, Afriz kian menyadari bahwa Zaya mengandung banyak daya kejut.
***
Afriz benar-benar menjemput Zaya, sesuai dengan apa yang dikatakan. Hanya saja, dia datang lebih awal dari hari rencana kepulangan Zaya. Maka istrinya itu jelas-jelas kaget saat mendapatinya sudah ada di depan mata.
"Mas kan harusnya jemput akunya besok. Kok sekarang udah sampai sini?" protes Zaya. "Lupa apa gimana, sih, Mas? Terus kan katanya Mas pulang besok, kok lebih cepet?" tanyanya, masih heran sekaligus kaget.
"Nggak enak kayanya kalau mau nolak ajakan nonton bareng dari istri," jawab Afriz santai. Sambil senyum-senyum pula.
"Hah?"
Afriz nyengir. "Kamu kan kemarin bilang kalau nanti malam ada pertunjukan wayang. Jadi, mas ke sini sekarang. Mau memenuhi ajakan nonton terselubung dari kamu itu."
"Kan aku udah bilang, aku nggak ngajak nonton. Cuma ngasih tahu. Kalau Mas mau nonton, ya nonton aja sendiri."
"Zaya, Zaya. Bukannya dibikinkan minum, suamimu malah diajak ribut." Pak Kuswin baru pulang dari ladang. Tampak dari tangan kiri pria itu yang masih memegangi gagang cangkul yang tersampir di pundak kokohnya.
Mungkin karena saking asyik dan sibuknya ribut, sepasang pengantin yang terbilang masih baru itu sampai tak mendengar ucapan salam dari lawan bicara mereka. Walau begitu, keduanya langsung menyalami laki-laki paruh baya itu.
"Ya Mas ini, Pak. Orang Zaya nggak ngajak dia nonton wayang, dia bilangnya Zaya ngajak dia nonton. Zaya kan nggak suka nonton wayang," sahut Zaya sambil menatap ayahnya yang sedang membelakanginya untuk meletakkan cangkul hingga menempel di pagar rumah.
Sedangkan Pak Kuswin justru tertawa kecil. Sangat paham bahwa anak keduanya ini tidak pernah suka menonton pertunjukan apa pun yang ada di desa, karena lebih senang menyibukkan diri di rumah.
Pak Kuswin kini mendekati putrinya. "Tapi ya tidak begitu caranya, Zaya. Kamu kan bisa bilang ke suamimu secara baik-baik, nanti biar bapak yang menemani suamimu nonton wayang. Lagi pula kamu ini aneh juga. Kalau dia nonton sendiri, dia ini bisa nyasar. Dia kan tidak tahu tempat pertunjukan wayangnya ada di mana."
Zaya meringis, begitu menyadari kebodohannya sendiri. Lalu menoleh kepada suaminya. "Maaf ya, Mas, dari tadi aku ngomongnya udah ngegas," ucapnya.
Sementara di sisi lain, Afriz hanya tersenyum. Karena selama menjadi suami wanita muda di depannya ini, perdebatan tak penting seperti tadi memang kerap terjadi bahkan sudah menjadi makanan sehari-hari.
Dia berusaha mengerti jika karena hal-hal sepele saja bisa menjadi sumber keributan. Tetapi itu sekaligus pancingan agar Zaya mau berbicara dan tak hanya banyak diam seperti saat awal pernikahan mereka, yang jujur saja membuat rumah tangga mereka menjadi kaku. Setidaknya, kebawelan Zaya terhadapnya itu bisa mencairkan kebekuan serta kecanggungan di antara keduanya.
Lagi pula, walau sudah ribut-ribut tidak jelas begitu, Zaya tetap melayani kebutuhan suaminya dengan baik. Seperti saat ini, wanita itu sudah membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring gethuk.
Sebab, entah memang terbuat dari apa hati perempuan itu, Zaya sebetulnya adalah pribadi yang gampang pulih dari kejengkelan ataupun rasa marah. Dan itu yang membuat Afriz tak segan untuk sekadar menggoda istrinya sendiri.
Zaya sebenarnya hendak kembali ke dapur, jika Afriz tak segera menahan gerakannya.
Afriz menepuk-nepuk sisa ruang di sampingnya. "Duduk dulu sebentar. Mas mau ngomong."
Zaya pun menurut, duduk di bangku yang sama dengan suaminya itu. "Mau ngajak nonton wayang? Tadi kan Bapak udah bilang, katanya Bapak yang mau nemenin Mas nonton."
"Siapa yang mau bahas itu?"
"Terus?"
Afriz tersenyum manis. Kemudian berbisik, "Kangen. Sini, peluk."
Namun, Zaya menggeleng malu-malu. Lalu ia menggeser duduknya, menjauhi Afriz. "Malu ah, Mas."
"Malu dengan siapa?"
"Malu, nanti dilihat bapak atau ibu. Atau orang lewat."
"Enggak bakalan ada yang lihat, orang ini di dalam rumah. Bapak juga lagi mandi, terus tadi bilangnya mau sekalian salat asar. Sini, buruan peluk makanya."
Setelah menimbang-nimbang banyak hal, Zaya menggeser posisinya untuk mendekat kepada suaminya. Lalu, entah mengapa Zaya tak kuasa menahan gemuruh di dada saat kedua tangan Afriz mendekap tubuhnya dari samping untuk melepas rasa rindu. Walau ia sendiri belum mengerti bagaimana perasaannya kepada suaminya ini.
"Ehm." Suara dehaman Pak Kuswin yang sepertinya baru selesai salat asar, memaksa Zaya dan Afriz untuk mengakhiri adegan mesra mereka. Walau pria paruh baya itu belum nampak batang hidungnya, tetap saja akan menimbulkan rasa tak enak hati bagi sepasang suami-istri itu kalau sampai beliau memergoki posisi mereka sekarang.
"Pantas saja sejak tiga hari terakhir ini, burung prenjaknya bunyi terus dari atas pohon mundung di samping rumah. Ternyata memang benar ada tamu," ucap Pak Kuswin sambil berjalan menuju bangku di depan Afriz, kemudian duduk berhadapan dengan menantunya itu.
Afriz tersenyum, memaklumi mitos yang masih berkembang di pedesaan bahwa burung prenjak atau yang bernama lain burung ciblek itu memang membawa kabar akan ada tamu. "Mungkin burungnya sekalian mengecek buah mundungnya sudah matang atau belum, supaya bisa dijual."
Pak Kuswin tertawa. "Ya, tapi harga mundung itu sekarang murah sekali. Palingan lima ratus sampai seribu per kilonya. Jangankan disuruh beli, ditawari saja orang sudah ogah-ogahan karena memang buahnya tidak 'semewah' dulu."
"Tidak mewah bagaimana maksudnya, Pak?"
"Ketika bapak masih kecil dulu, ada buah mundung baru mau kuning saja sudah jadi rebutan, je. Sekarang, bisa habis itu palingan karena dimakan codot. Rambutan nasibnya juga sama. Kalau sedang musim, wah harganya muraaah sekali. Sekarang buah yang laku agak mahal ya duku, durian, manggis. Atau buah yang lumayan bergengsi macam buah naga, stroberi, anggur. Yang begitu-begitu itu yang disukai orang-orang."
"Orang zaman sekarang sudah tidak mau makan yang gratisan, ya, Pak? Doyannya yang mahal-mahal. Meski bilangnya yang gratisan lebih enak, nyatanya yang dimaksud enak itu ya yang harganya mahal, tapi dapatnya gratisan."
"Nah, itu," sahut Pak Kuswin sambil menaikkan kakinya ke bangku dengan santai. Kemudian membetulkan sarung bagian bawahnya supaya lebih nyaman. "Makanya petani seperti Bapak ini kalau mau nanam-nanam berdasarkan kemauan orang ya sudah tidak sanggup. La wong kemauan orang itu sudah aneh-aneh. Bapak sih nanamnya ya sesuka hati bapak saja, asalkan sesuai musimnya."
"Kalau sekarang nanam apa, Pak?"
"Ya biasa, nanam jahe mumpung mulai musim penghujan. Biarpun sedikit, kan lumayan minimal bisa untuk bikin minuman sendiri. Ya kalau ada sisa, bisa dijual."
Sedangkan Zaya yang merasa menjadi obat nyamuk karena tak dilibatkan dalam pembicaraan, sudah kabur ke dapur. Ia mengembalikan nampan ke rak, sekaligus membiarkan dua lelaki dewasa itu bercakap-cakap hanya berdua saja.
"Ya beginilah kehidupan mertuamu dan istrimu yang sebetulnya. Seadanya, karena hanya mengandalkan hasil ladang. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang kami masih diberi rezeki yang cukup untuk hidup."
Afriz memberi tanggapan pemakluman, sebagai wujud rasa tidak keberatan dengan latar belakang keluarga ini. Dia pun semakin meyakini sebuah pepatah yang mengatakan bahwa Tuhan memberikan rezeki kepada manusia yang selalu cukup untuk hidup, tetapi tidak untuk gaya hidup.
Mengenal keluarga ini, bagi Afriz adalah belajar untuk hidup bersahaja. Melihat apa yang tampak dari bagaimana kedua mertuanya menjalani hidup dengan bijaksana, tak mudah silau pada harta. Istrinya pun begitu. Sejauh ini tak pernah menuntut hal-hal yang memang tak perlu-perlu amat. Menerapkan apa yang telah dicontohkan oleh kedua orang tuanya.
Dari posisinya kini, di ruangan ini, Afriz menatap ke arah Zaya, wanita muda yang tak sadar ketika diperhatikan, karena sedang khusyuk menyesap minuman hangat itu. Bibir Afriz membentuk lengkungan.
Zaya memang tak secantik mantan-mantan pacarnya dulu. Perempuan itu hanya menang manis. Tetapi, apakah salah jika ada getar yang berbeda saban kali Afriz memandang wajah maupun ketika berdekatan dengan perempuan itu?
Dan mengenai status wanita muda itu sebagai ibu Faiz ....
Untuk ukuran seorang ibu, bagi Afriz, rasa-rasanya Zaya masih terlalu lugu.