Mencari makan di jalanan bukan perkara mudah. Bagi gelandangan sepertiku, bisa makan sekali sehari adalah sebuah kemewahan yang patut disyukuri. Karena selalu berpindah-pindah tempat, aku harus selalu berkeliling untuk mencari makan, entah menunggu sisa makanan dari rumah makan, buah-buahan busuk yang dibuang penjual buah di tempat sampah, atau hanya menunggu sampai ada orang yang berbaik hati memberiku sedikit rezeki.
Aku tidak bisa bekerja, dan aku juga tidak tahu apa yang bisa dilakukan anak berusia lima belas tahun sepertiku saat pertama kali hidup di jalanan. Satu-satunya yang kupelajari hanya mencari makanan untuk bertahan hidup, bahkan mencuri jika terpaksa. Aku takut berinteraksi dengan orang-orang di jalan. Aku tidak punya siapa-siapa. Tidak ada orang tua atau keluarga yang mengajarkanku cara bertahan hidup yang lebih baik dari ini.
Sebenarnya, aku pernah punya keluarga. Ayah, Ibu, dan dua adik laki-laki kembar. Saat kecil, aku adalah anak yang baik dan patuh. Aku tidak pernah menuntut macam-macam pada orang tuaku. Aku sangat menyayangi kedua adikku, bahkan rela tidak makan jika mereka belum makan. Keluarga kami bahagia meskipun harus hidup di rumah yang kecil bersama satu keluarga lain. Aku tidak mengenal mereka dengan baik, tapi Ibuku bilang merekalah yang mengizinkan kami tinggal di sini dan membiarkan kami makan bersama mereka ketika Ayah tidak bisa lagi menghidupi kami. Ayahku meninggal dalam kecelakaan tabrak lari, dan tidak lama setelah itu, Ibuku yang depresi memutuskan untuk pergi dari rumah dan menghilang entah kemana. Mereka pergi begitu saja, meninggalkan ketiga anaknya yang masih sangat membutuhkan kasih sayang mereka.
Sejak saat itu, aku mulai membenci orang tuaku. Aku benci karena Ibu pergi, aku bahkan membenci Ayah meskipun beliau meninggal bukan karena kemauannya. Kebencianku semakin membuncah ketika aku tahu bahwa keluarga pemilik rumah ini ternyata sangat menyayangi kedua adik kembarku, Seunghoon dan Seungyoon. Malam itu, mereka merayakan ulang tahun si kembar. Mereka memesan kue yang besar dengan macam-macam hiasan, lengkap dengan topi ulang tahun dan hadiah. Selama pestanya berlangsung, aku hanya duduk di dapur dan menangis. Ulang tahunku telah lewat empat bulan sebelum mereka, tapi mengapa tidak ada pesta untukku?
“Kenapa mereka sangat menyayangi kalian? Apa mereka menyayangiku juga?” tanyaku pada Seunghoon saat pestanya berakhir.
Seunghoon tampak terkejut dengan pertanyaanku, “Apa kakak marah karena mereka tidak merayakan ulang tahunmu? Seungyoon, apa menurutmu mereka tidak menyayangi Kak Jinwoo?”
“Entahlah. Mungkin karena kakak terlalu pendiam, mereka tidak suka melihat kakak diam sepanjang hari. Mungkin juga karena kakak hitam. Aku pernah dengar mereka membicarakan kakak. Mereka bilang kakak pembawa sial, menyeramkan, dan mereka takut padamu."
Jawaban Seungyoon membuatku semakin terluka. Aku semakin menyadari jauhnya perbedaan antara diriku dengan si kembar. Mereka anak-anak yang aktif dan ceria, sedangkan aku lebih suka diam dan bermain sendiri. Mereka suka bermain dengan anak-anak lain, sedangkan aku lebih suka mengunjungi taman dan menghirup wangi bunga-bunga yang tumbuh di sana. Meski aku merasa sangat normal, mungkin tidak bagi kedua orang tua baru kami. Mereka bahkan takut pada penampilanku yang tidak biasa. Mereka juga kerap kali menghinaku secara terang-terangan, mengatakan bahwa aku tampak jelek karena terlalu kurus.
Ketika akhirnya aku berhasil pergi dari rumah, tidak ada satupun dari mereka yang berusaha mencariku. Namun anehnya, aku merasa damai. Karena itu aku memutuskan untuk tetap di jalan dan tidak kembali ke rumah.
Pagi ini, aku bangun di depan etalase toko alat tulis di lokasi Pasar Kranggan yang agak sepi. Pemilik tokonya seorang paman yang baik, biasa dipanggil Mas Dani. Mas Dani tidak pernah melarangku tidur di depan tokonya, atau mengusirku ketika melihatku datang untuk menyapanya. Hari ini Mas Dani datang lebih cepat dari biasanya, dia sudah membuka toko saat aku bangun.
“Kamu lapar?” tanyanya saat melihatku bangun, “aku tadi beli bubur ayam dan dua tusuk sate untuk kita sarapan. Buburnya untukku, kamu boleh makan satenya. Toko sedang sepi jadi kita harus berhemat. Makanlah.”
Aku menatap sate yang diberikan Mas Dani padaku, lalu memakannya perlahan setelah mengucapkan terima kasih.
"Aku rasa sebaiknya kamu pulang ke rumah. Keluargamu pasti khawatir. Jangan berkeliaran terus seperti ini, Jinwoo."
Aku pura-pura tidak mendengarnya dan terus menyantap sate yang lezat itu. Sepanjang hari, aku tetap berada di toko Mas Dani dan menemaninya, menjaga tokonya ketika dia sedang istirahat untuk makan atau shalat. Sekitar pukul lima sore, seorang pria dengan apron berwarna coklat muda datang dan membeli cukup banyak cat akrilik dan beberapa kuas baru. Dari penampilan dan daftar belanjaannya, aku yakin dia adalah seorang pelukis.
“Mas Mino kok udah jarang ke sini? Sibuk atau udah punya tempat langganan baru, nih?” tanya Mas Dani seraya mengambil daftar belanja yang diserahkan pria bernama Mino tersebut.
Mino menyunggingkan sedikit senyuman. “Sibuk, Mas,” katanya singkat.
Sambil menunggu Mas Dani mengemas pesanannya, Mino menoleh ke arahku yang sedang duduk di dekat jendela. Dia tersenyum dan menatapku cukup lama. Entah mengapa, aku tidak merasa risih dengan tatapannya. Sorot matanya hangat dan bersahabat, mengingatkanku pada Ayah yang selalu menatapku dengan penuh kasih sayang. Aku menyukainya.
Mas Dani menyadari Mino sedang menatapku, kemudian berusaha menjelaskan keadaanku. “Dia tinggal di jalan, tapi sering ke sini. Aku kasihan padanya, jadi aku membiarkannya dan sering mengajaknya makan bersama.”
“Dilihat dari penampilannya yang bersih, sepertinya dia punya keluarga.”
“Iya, kurasa dia kabur atau semacamnya. Kelihatannya kamu menyukainya.”
"Dia manis," jawab Mino pelan sambil menganggukkan kepalanya.
Mendengar itu, tiba-tiba muncul keinginan yang aneh di kepalaku. Aku ingin tahu dimana Mino tinggal, aku ingin melihat dia melukis sesuatu dengan tangannya, aku ingin terus melihat wajahnya yang secerah matahari. Aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan setelah sampai di rumah. Apakah dia akan langsung melukis dengan beberapa kaleng cat barunya? Apa yang akan dia lukis? Apakah dia akan senang jika aku datang untuk melihat-lihat studionya? Apakah jika aku datang, dia akan melukisku?
Mino mengambil barang belanjaannya, melangkah menuju pintu, kemudian menoleh dan melemparkan senyumnya lagi padaku. Saat itulah, aku merasa sangat yakin. Aku harus mengikutinya.
Setelah beberapa saat Mino keluar dari toko Mas Dani, aku mengikutinya sambil menjaga jarak agar dia tidak mengetahuinya. Beberapa kali dia menoleh ke belakang, tapi aku cukup sigap untuk mengetahui gerakannya dan bersembunyi dimana dia tidak bisa melihatku. Setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit, aku sampai di depan sebuah rumah sederhana dengan taman yang cukup luas. Aku memperhatikan pagar rumah Mino yang ternyata lebih rendah dari dugaanku. Mungkin aku bisa melompatinya, tapi bagaimana jika ada yang melihat? Atau, bagaimana jika Mino memergokiku? Masa bodoh! Aku akan menunggu di depan sini sampai gelap, kemudian menyelinap ke rumahnya dan tidak akan ada yang tahu.
Saat aku berhasil masuk ke dalam halaman rumahnya, aku terkejut dengan banyaknya bunga yang tertanam di sana. Mawar merah, mawar biru, bunga matahari, semua bunga kesukaanku mekar dan tertata dengan sangat cantik. Aku ingin berlama-lama di sini, tapi aku harus masuk ke dalam. Aku penasaran apa yang sedang dilakukan Mino, dan aku merasa sangat lapar.
Aku melihat jendela yang cukup besar dan rendah untuk memeriksa keadaan di dalam rumah Mino. Aku menjejakkan kakiku ke atas sebuah tumpukan papan kayu yang letaknya persis di bawah jendela, kemudian mengintip ke dalam. Saat itulah aku melihatnya, sepasang mata yang menatapku persis dari balik jendela. Aku terkejut dan terjatuh ke tanah. tangan kananku terluka karena tergores duri bunga mawar yang mekar di bawah jendela. Aku mencoba bangkit dan pergi dari rumah ini, namun dia—seseorang yang menatapku dari balik jendela—entah bagaimana telah berdiri di sampingku.
“Siapa kamu? Mau apa ke sini?” tanyanya sinis.
Seorang wanita, dan dia terlihat mirip dengan ibuku. Aku masih ingat mata bulat berwarna cokelat yang kubenci, dan mata itu kini sedang menatapku dengan penuh curiga.
“Mino....”
“Mino? Kamu kenal dia?”
Wanita itu memperhatikan tanganku yang terluka, “Kamu merusak bunganya? Mino akan marah kalau dia tahu. Apa sebaiknya kuberitahu dia?”
Wanita itu mendekat perlahan ke arahku, kemudian berusaha menancapkan kukunya yang panjang ke wajahku. Beruntung aku bisa menghindar dengan cepat dan berlari keluar. Dia mengejarku. Aku bisa rasakan kemarahannya merayap di punggungku. Dia sangat cepat, tetapi aku tentu lebih cepat. Aku berlari kembali ke pasar dan masuk ke gang pertokoan sempit dekat toko alat tulis Dani. Wanita itu sepertinya mulai kebingungan dan kehilangan arah, langkahnya berhenti di tengah persimpangan. Aku pun berhenti dan bersembunyi di balik sebuah kardus berisi potongan manekin. Perlahan aku mengintip, dan melihat wanita itu mematung. Aku menyadari bahwa dia ketakutan. Mungkin dia tidak pernah ke pasar di malam hari dan merasa asing. Dia berlari mengejarku mengikuti instingnya, tetapi dia bahkan tidak mengharapkan kesialan ini.
"Keluar kamu! Pengecut!" Wanita itu berteriak dengan suaranya yang lemah dan bergetar.
Mendengarnya bersikap berani dengan susah payah seperti itu membuatku geli. Tawaku meledak, membuatnya terkejut dan semakin marah.
"Aku pikir kamu ingin menangkapku. Kenapa? Kamu takut sekarang?" kataku cengengesan.
Dia mundur beberapa langkah, dan membuatku semakin bersemangat. "Kamu tau apa yang aku pikirkan sekarang?"
Aku mendekatinya perlahan, menggiringnya ke arah sudut pasar yang buntu. Napasnya terdengar semakin berat, tapi dia masih menampakkan giginya. "Sepertinya menyenangkan jika aku bisa hidup bersama Mino. Dia baru pertama kali melihatku hari ini, dan dia mengatakan kalau dia menyukaiku. Apa kamu tahu betapa senangnya aku?
"Aku mengikutinya sampai ke rumah, tapi… kamu menghalangiku dan itu membuat hatiku sakit. Apa kamu tahu rasanya tidak diinginkan? Melihat seseorang yang kamu sayang justru memilih orang lain dan mencampakkanmu begitu saja? Tentu saja tidak, karena kamulah yang melakukannya! Tidak. Aku tidak mau itu terjadi pada Mino. Aku menyukainya. Aku harus hidup bersamanya. Karena itu… aku harus menyingkirkanmu."
Dengan sekejap aku menerjang wanita itu dan menggigit lehernya. Dia berusaha menendangku dan mencakar punggungku, tetapi dia tidak sekuat itu. Aku melepas gigitanku setelah dia lemas, kemudian mencakar wajahnya dan menusuk matanya dengan kuku tanganku. Dia berteriak dan berusaha kabur dariku. Langkahnya terhuyung-huyung, hingga akhirnya jatuh di sudut pasar yang lembab dan bau. Aku menatapnya beberapa saat, menikmati darah yang keluar dengan deras dari mata dan lehernya. Sekilas, aku tahu dia akan mati dalam beberapa jam, tetapi aku tidak akan mengambil resiko itu. Aku mendekatinya, kemudian menggigit perutnya yang lembut hingga terbuka, dan wanita itu pun mati dalam sekejap. Kutinggalkan dia di sana, di tempat yang gelap dan sunyi, tempat yang sempurna untuk mati.
Aku kembali ke rumah Mino setelah membersihkan diriku yang penuh darah. Aku menorobos masuk dengan cara yang sama seperti sebelumnya, kemudian langsung menuju halaman belakang. Pintu belakang rumah Mino terbuka sedikit, aku melesat dan menyelinap ke dalam secepat kilat, melewati puluhan deretan kanvas dan kaleng cat hingga akhirnya menabrak sesuatu dan jatuh terguling. Mino. Aku menabraknya.
Mino menatapku tajam. Bukan, bukan dengan tatapan terkejut atau mengancam. Dia terlihat sudah mengharapkan kedatanganku. Dia meletakkan kuas dan paletnya di atas meja, kemudian perlahan menghampiriku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Haruskah aku lari saja? Aku mundur beberapa langkah, tapi Mino terus mendekatiku hingga aku tersudut di pojok ruangan. Dia tersenyum seakan bisa merasakan ketakutanku.
“Kamu yang tadi ada di tokonya Mas Dani, kan? Aku tahu kamu mengikutiku. Namamu siapa?”
“Jinwoo,” kataku pelan.
Mino tersenyum sambil memperhatikan tubuhku dari kepala sampai kaki, kemudian menjulurkan tangannya untuk melepas kalung yang sudah lama kukenakan. Dia membacanya, “Jinwoo. Namamu bagus. Tapi kalau kamu ingin tinggal di sini, sebaiknya kita cari nama baru untukmu. Bagaimana kalau… Ray? Kamu suka?”
Mino mengusap kepalaku dengan lembut, mengangkatku dari lantai, dan memelukku erat. Ray, Ray... dia terus memanggil nama baruku. Entah bagaimana rasanya sangat menyenangkan. Aku merasa seperti terlahir kembali.
“Ray, kamu mau tinggal di sini?”
Mino meletakkanku di atas meja, kemudian menaruh mangkuk kecil di depanku dan mengisinya dengan ikan tuna. "Ini punya Johnny, tapi mulai sekarang kalian harus berbagi. Kamu tidak akan kelaparan lagi, Ray."
Aku memperhatikan seisi ruangan dan terpaku pada sebuah kasur kecil dengan tenda yang lucu di atasnya. Itu pasti milik Johnny, dan wanita menyebalkan yang kutinggalkan mati di pasar tadi pastilah Johnny yang dimaksud Mino. Mino mengganti namanya dengan sangat buruk.
"Makanlah. Setelah ini aku akan mengenalkanmu pada Johnny. Kemana dia, ya? Apa dia keluar?"
Mino berjalan keluar seraya memanggil-manggil Johnny. Selagi makan, butiran air mata tumpah dari kedua mataku. Mino mungkin tidak dapat melihatnya, tapi aku merasa sangat bahagia bersamanya. Aku menemukan rumah yang sudah lama kuharapkan. Aku tidak akan berkeliaran di jalanan seperti dulu lagi. Aku punya nama baru, rumah, dan keluarga yang mencintaiku. Selama ada Mino, aku tidak butuh apapun lagi.
***