Not Me (Buku I: Kenapa Nea Melakukannya?)

Not Me (Buku I: Kenapa Nea Melakukannya?)

Qethi

5

Aku melihat adegan-adegan yang tidak kuhendaki di dalam pikiranku. Kesadaranku masih bertahan, seakan-akan menahanku untuk tidak terlelap. Terkadang kesadaran itu hilang, tetapi kembali dengan seperkian detik, membuat bulu mataku bergetar ingin terbuka. Aku mempertahankannya, aku ingin membuat kesadaranku hilang sepenuhnya, aku ingin terlelap di dalam tidurku.

“KAU GILA!”

Usahaku untuk terlelap menghilang dan mataku terbuka lebar begitu mendengar teriakkan wanita yang memekik. Aku memiringkan kepalaku untuk mengintip sela-sela pintu kamarku yang sedikit terbuka, ada bayangan yang dihasilkan cahaya lampu di luar menyelinap masuk ke dalam kamarku.

“Kau pikir aku mengurusi rumah dan menjaga anak-anakmu untuk dompet kosong!? Kepada siapa lagi kau meminjamkannya kali ini!?”

Aku mengangkat tubuhku dan menggunakan salah satu sikuku untuk menompangnya. Aku melihat jam dinding, angka pendeknya tertuju pada angka satu.

“Jangan berteriak, ini sudah malam, kau bisa membangunkan anak-anak.”

“Kau khawatir aku akan membangunkan anak-anak? Lalu kau tidak khawatir kalau mereka tidak bisa makan karena semua uang yang sudah kau buang begitu saja!?”

Aku menghela napas panjang. Aku penasaran apa yang akan dipikirkan tetangga tentang ini. Besok, ketika aku berangkat ke sekolah, aku pasti akan mendengarnya. Mereka akan membicarakan tentang rumah tangga yang berantakan, di mana suami istri sedang bertengkar hebat tepat pukul satu pagi.

Klontang! Klatang!

Suara perabotan dapur memenuhi telingaku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa, aku juga tidak ingin keluar dan melihat pertengkaran orang tuaku secara langsung, aku hanya bisa duduk diam di dalam kamar berpura-pura tidur. Meskipun, jika mereka berdua masih memiliki akal, sudah jelas para tetangga pun tidak akan bisa tidur dengan kebisingan ini.

Aku membaringkan diriku lagi dan mencoba untuk tidur. Lagipula, aku sudah terbiasa dengan kegilaan malam ini.

Klontang! Klatang!

Kerusuhan itu semakin liar, membuatku semakin sulit untuk terlelap. Malam terasa begitu panjang dengan sejumlah okestra yang dimaikan tanpa partitur dan hanya mengandalkan improvisasi. Aku tidak tahu mana yang lebih baik, sekolah yang tertunda karena malam yang panjang, atau mendeengarkan okestra sumbang untuk menghabsikan waktu malam yang begitu panjang?

“Berhenti mengacaukannya!” Sepertinya ayah sudah kehilangan kesabaran, tidak ada lagi akal sehat di antara mereka.

“Kenapa kau peduli!? Kau tidak peduli bagaimana anakmu makan, jadi hancurkan saja semuanya!”

Klontang! Klatang tang tang tang…

“Huaaaaa!!!!!”

Sial! Aku membungkus kepalaku dengan bantal. Teriakkan orang dewasa, pekikan perabotan dapur, dan sekarang tangisan balita. Aku tidak tahu lagi apa yang lebih buruk dari ini. Aku baru bisa tidur sepuluh menit yang lalu karena tugas sekolah yang harus kuselesaikan malam ini. Aku punya lima jam untuk tidur dan orang-orang ini tidak membiarkanku melakukannya.

“Lihat!? Kau membangunkan Naya!”

“Apa pedulimu!? Sejak kapan kau peduli pada anak-anak!? Kau selalu pulang larut malam dan menghabiskan seluruh uang kita untuk hal yang tidak berguna! Jika kau sangat peduli, coba tenangkan anak itu!”

Aku tahu ayah orang yang tidak suka bertahan pada suatu masalah meskipun dia sangat hobi dalam membuatnya. Tidak ada jawaban apa-apa dari ayah, dia pasti sedang menuju Naya untuk menenangkannya seperti apa yang ibu katakan.

“Tenanglah, tenang, jangan menangis. Apa anak ayah terkejut? Maaf sayang, kami tidak akan melakukannya lagi.”

“Huaaaaaa!!!!!!”

“Tenanglah, jangan menangis.”

Aku meremas seprai kasurku. Mendengar bagaimana lembutnya suara ayah menenangkan Naya setelah dia baru saja berteriak kepada ibu, aku tidak tahu apakah aku harus marah atau kasihan. Aku mengerti bagaimana perasaan ibu, ayah terus menghabiskan uang kami untuk sesuatu yang tidak berguna, dia sangat lembut dan sulit untuk menolak sesuatu. Aku benci sifat ayah yang seperti itu. Bagaimana bisa dia lebih memikirkan hidup orang lain daripada keluarganya sendiri?

“Bagaimana? Kau bisa menenangkannya?”

“Jangan memulainya lagi, aku sedang menenangkannya.”

“Itu sulit, iya, ‘kan? Aku melakukannya sepanjang hari dan malam sementara kau di luar sana menghabiskan uang kita untuk hal yang tidak berguna!”

“Bisakah kau diam!? Apa salahnya jika aku hanya membantu orang!?”

“Membantu orang? Apa kau sudah merasa sangat hebat dalam membantu keluargamu sendiri sampai kau yakin bisa membantu orang!? Coba lihat rumah ini! Apa ini rumah yang layak untuk ditempati oleh sebuah keluarga!? Ketika kau memberikan orang itu uangmu, apa kau memikirkan apa yang akan kami makan besok!? Hah!?”

“Baiklah aku minta maaf. Dia akan mengembalikan uang itu secepatnya jadi tidak perlu khawatir.”

“Kau sadar sudah berapa kali kau mengatakannya padaku? Sudah berapa orang yang kau kasihani dan sampai sekarang tidak ada sepeser pun dari uang itu yang kembali. Orang-orang miskin karena mereka dikejar utang dan kita tetap miskin ketika seharusnya kita yang menjadi penagih utang!?"

Ayah tidak lagi menjawab, aku penasaran apa yang sedang ayah pikirkan. Perkataan ibu tidak salah, kami miskin karena ayah yang terlalu baik, dan orang-orang yang meminjam uang ayah sangat tidak tahu diri. Aku pernah melihat salah satu dari orang itu makan di restorant mahal, tetapi dia berakting seperti orang yang tinggal di kolong jembatang ketika ayah meminta uangnya kembali. Aku ingin meremasnya seperti bubur ketika ayah dengan hatinya yang lembut melepaskan orang itu begitu saja.

Klik!

Aku mendengar suara pintu terbuka, dan tidak ada lagi teriakan orang dewasa. Suara tangisan balita perlahan-lahan menghilang di bawa mengalir oleh dinginnya angin malam. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi malam menjadi tenang seperti yang seharusnya. Mataku terpejam dan kesadaranku perlahan menghilang. Detingan detik waktu menemani jiwaku menuju dunia mimpi.

---

Telingaku sudah dipenuhi dengan suara tangisan balita dan ocehan anak berumur sepuluh tahun. Udara pagi yang seharusnya terasa begitu sejuk dimakan oleh panasnya uap air panas dari dapur. Aku sedang mengemas buku-bukuku untuk bersiap ke sekolah.

“Nea! Apa kau belum bangun juga!?”

Teriakan wanita itu di pagi hari sangat menjengkelkan. Sialan, aku bangun lebih dulu dari kau. Apa kau tidak sadar ketika kau bangun rumah ini lebih bersih daripada sebelumnya? Jika kau memang seorang ibu, kau seharusnya memiliki kesadaran yang lebih baik daripada aku.

“Aku sudah bangun!”

Aku keluar dari kamar, melihat pemandangan berantakan yang seharusnya sudah rapi. Ini membuat otakku panas, aku memiliki inisiatif untuk bangun awal dan membersihkan tempat ini. Namun, dia mengacaukannya begitu mudah.

“Haaaa… huuuuu….”

“Apa yang kau inginkan?”

Lihat itu, nada bicaranya seratus delapan puluh derajat sangat berbeda ketika di berbicara denganku. Aku merasa kasihan pada balita itu untuk fakta bahwa akan ada perlakuan menyebalkan dan kasar yang menunggunya di masa depan.

Aku duduk di sampan Nion, bocah berusia sepuluh tahun yang lagi-lagi bereksperimen dengan makanannya, Mencampurkan segala macam bahan, nasi, kecap, saos, dan bahkan dia melumuri susu kental manis di atasnya. Itu membuatku muak. Aku tidak ingin berada di sampingnya, tetapi tempat ini terlalu sempit untuk memilih.

“Jangan main-main dengan makananmu Nion!”

Nion tidak menggubris peringatan ibu, dia masih bertahan dengan seringaiannya, dan tangannya tidak berhenti bergerak mencampurkan garam dan gula dia atas rotinya.

“Apa yang kau lakukan!?”

Bahuku terangkat ketika ibu tiba-tiba meninggikan suaranya. Aku pikir itu untuk Nion, tetapi tatapannya mengarah padaku.

“Tidak bisakah kau mengawasi adikmu? Kau tidak lihat aku sedang sibuk?”

Aku tidak suka disalahkan atas kesalahan yang tidak aku lakukan, dan aku tidak memiliki banteng yang membuatku tidak akan bersikap kurang ajar pada orang tuaku sendiri, terutama pada ibu. “Dia tetap akan melakukannya meski aku melarangnya, ibu saja tidak didengarkannya.”

“Berani kau menjawabku seperti itu? Hah, aku sudah gila karena menghadapi ayahmu semalam dan apa yang kau lakukan sekarang? Apa kau tahu aku sudah sangat lelah karena mengurus kalian semua? Tapi kau masih tidak punya kesadaran sedikit pun. Apa yang kau lakukan baru bangun jam segini? Kau pasti begadang lagi semalam untuk hal-hal tidak berguna.”

Aku mengepalkan kedua telapak tanganku kuat-kuat, sampai aku merasa telapak tanganku akan berdarah karena kuku-kukuku sendiri. Namun, meski aku mengatakan aku tidak memiliki penghalang untuk bersikap kurang ajar pada ibu, aku masih tidak bisa menjawabnya ketika dia sudah seperti ini. Ini memuakkan, aku ingin memotong lidahnya dan mengambil pita suaranya agar aku tidak lagi mendengar ocehannya di rumah ini.

“Ibu tidak tahu apa-apa.”

Aku berdiri dengan kasar dan mengambil ranselku meninggalkan meja makan.

“Dasar anak kurang ajar! Aku sudah memasak semua ini dan kau hanya mengabaikannya begitu saja!?”

Benar, aku hanya akan mengabaikannya. Aku tidak ingin mendapatkan tumor otak karena mengumpulkan gumpalan emosi di kepalaku. Sarapan atau tidak, itu tidak ada bedanya. Aku sudah terbiasa menahan rasa lapar.

Langkahku penuh tekanan karena gumpalan emosi di kepalaku masih belum menghilang. Jalanan masih sepi, dan aku juga tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain tentang bagaimana aku berjalan. Namun, langkahku melambat dan melunak ketika melihat sekelompok wanita paruh baya sedang berkumpul di pinggir jalan untuk belanja dari seorang tukang sayur keliling. Hal yang lebih memuakkan adalah, mendengar wanita-wanita tua ini membicarakan orang lain di pagi hari. Aku tahu apa bahan gosip yang sangat bagus pagi ini, karena itu aku tidak ingin melewati mereka, tetapi jalan satu-satunya ke halte bus hanya ini.

Aku menundukkan kepalaku dan mempercepat langkahku, aku paling benci jika mereka berpura-pura berbisik sambil melirikku. Iya, mereka hanya berpura-pura. Mereka mengatakan bahwa mereka sedang berbisik, tetapi bisikan mereka dengan mudah terdengar dengan oleh orang lain. Lebih baik jika mereka tidak menyadari keberadaanku dan terus membicarakannya tanpa ketersengajaan untuk memojokkanku.

Aku sudah bisa mendengar sedikit suara mereka dari jarak ini.

“Saya mendengarnya dengan jelas. Ada banyak perabotan yang dibanting, saya penasaran apa ini kdrt?”

“Tapi, suaminya bukan tipe laki-laki yang akan melakukan kekerasan.”

“Benar, mungkin Bu Ratna tidak mendengarnya dengan jelas. Saya mendengar istrinya berteriak dan memaki, itu jelas bukan karena dia diserang, itu seperti dia sedang mengamuk.”

“Aku kasihan dengan anak-anak mereka, bagaimana ada orang tua seperti itu."

“Tentu saja, kita tidak bisa mengharapkan banyak dari pasangan muda.”

“Pasangan muda?”

“Ibu tidak tahu? Mereka itu menikah muda. Bahkan, saya pernah dengar, istrinya hamil di luar nikah.”

Aku mengepalkan telapak tanganku lagi. Kali ini, aku rasa itu akan benar-benar berdarah. Hamil di luar nikah. Benar, itu adalah rumor yang tidak bisa aku bantah. Aku pernah tidak sengaja melihat tanggal pernikahan orang tuaku ketika sedang mengemas dokumen. Siapa yang tidak tahu tanggal lahir diri sendiri? Tidak akan ada orang lain yang dengan baik hati terus mengingatnya selain diri sendiri. Itu adalah di saat aku menemukan fakta bahwa rumor bukanlah rumor, melainkan fakta. Tanggal pernikahan orang tuaku, itu lebih lambat daripada tanggal lahirku.

Aku melirik seluruh sampah yang tersebar di pinggir jalan. Ada banyak barang-barang tidak berguna yang bisa didaur ulang lagi yang membuatnya masih memiliki nilai jual. Ini membuat mataku pedih di pagi hari. Aku tidak mengerti kenapa mereka bisa dengan mudah merasa bahwa hidup mereka lebih baik ketika kami tinggal di lingkungan yang sama? Perumahan liar yang dipenuhi dengan rongsokan, kumpulan rumah yang terbuat dari kayu yang dengan mudah hancur oleh rayap. Dengan hidup dan makan di tengah-tengah rongsokan seperti ini, pernikahan orang lain bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan lelucon oleh wanita-wanita tua ini. Berhentilah mengotori udara pagi dengan napas munafik kalian.

Langkahku semakin cepat dan semakin kasar karena emosiku semakin meluap. Sejujurnya aku merasa bersyukur mereka tidak menyadari kehadiranku karena terlalu sibuk bersilat lidah. Aku tidak tahu bagaimana gilanya aku pagi ini jika mereka dengan sengaja membicarakan tentang anak di luar nikah sambil menatapku. Aku tidak peduli jika aku dibilang pengecut, ini adalah caraku bertahan hidup di dunia yang penuh dengan kegilaan ini.

Aku tiba di halte, sesuatu yang membuatku terkejut dan langsung berhenti melangkah adalah aku melihat ayahku sedang duduk di sana dengan baju yang sama dengan kemarin malam. Kutebak, dia langsung keluar dari rumah setelah menenangnkan Naya. Hatiku perih melihatnya. Aku selalu terbiasa dengan pertengkaran orang tuaku, tetapi aku benci melihat keadaan ayahku setelah pertengkaran itu.

Tidak seperti ibu, ayah adalah pria yang sangat baik dan berhati lembut. Ibu pasti akan meluapkan emosinya pada segala hal ketika dia sedang marah dan kesal. Namun, ayah berbeda. Ayah hanya meluapkannya pada sesuatu yang membuatnya kesal. Setelah bertengkar dengan ibu, ayah akan tetap memasang wajah yang penuh kasih sayang kepada anak-anaknya.

Aku tahu bukanlah kesalahan untuk berbuat baik kepada orang lain. Masalahnya, ayah berbuat baik pada keadaan yang tidak tepat. Ayah pasti sangat tahu bagaimana keadaaan keluarganya sendiri dan bagaimana buruknya tempramen ibu, tetapi dia masih saja lebih memikirkan orang lain daripada keluarganya sendiri.

Aku mencapai lantai halte dan duduk tidak jauh di samping ayah. Ayah menyadari kedatanganku, dia hanya menatapku sekilas sambil tersenyum lembut, senyuman yang biasa dia berikan kepada anak-anaknya, lalu membuang muka.

“Ayah tidak pulang semalam?”

“Tidak, ayah lembur.”

Aku tahu ayah pasti tahu, tidak mungkin aku percaya pada kata-katanya. Bahkan tetangga pun bisa mendengar kerusuhan malam tadi, bagaimana bisa aku tidak mendengarnya? Namun, ayah masih tetap berbohong dan menyembunyikannya, bertingkat seperti tidak ada yang terjadi.

“Bagaimana ibu?”

“Menyebalkan seperti biasanya.”

“Nea…”

Aku benci, aku benci ayah yang memiliki hati lembut. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa tetap tabah dan masih saja menasehatiku setelah apa yang terjadi kemarin malam. Aku tahu apa yang akan ayah katakan, dan aku tidak ingin mendengarnya. Untungnya, bus yang akan kunaiki untuk ke sekolah tiba.

“Bus nya sudah tiba, Nea berangkat, Ayah.”

Aku bisa mendengar desahan napas ayah yang tabah, desahan napas yang cocok dikeluarkan oleh seorang ayah yang menemukan putrinya pembangkang. Sejujurnya, aku tidak ingin bersikap kasar seperti ini kepada ayah, tetapi aku tidak ingin jatuh menjadi seseorang berhati lembut yang mengesampingkan kenyataan untuk berbuat baik kepada orang lain. Aku melirik ayah dari kaca jendela halte, dia masih duduk di sana dengan ekspresi tabah. Aku penasaran, apa dia akan pergi bekerja seperti itu atau menahan egonya untuk kembali ke rumah demi membersihkan dirinya?