Tumpukan kertas berserakan di atas meja panjang yang ada di salah satu kelas, kertas penuh coretan pensil dan kombinasi warna yang harmonis itu tidak lain adalah milik Anara Alaisyah Putri. Mahasiswi jurusan sastra yang sebenarnya nyasar, atau bisa dibilang salah jurusan. Tapi ia bersyukur, setidaknya jurusan sastra tidak memuat banyak sistem perhitungan yang sangat ia benci.
"Ra," panggil seseorang dari arah selatan yang sejak tadi sudah duduk di samping Anara. "Masih suka sama om-om bau tanah?" lanjutnya yang langsung mendapat lirikan tajam dari Anara.
"Sumpah, Sya. Gue tau kok orang itu udah mati, mana tubuhnya tinggal separo lagi. Tapi jangan disebut om-om bau tanah, dong!" sungut Anara tak terima dengan sebutan yang digunakan oleh Keisya pada karakter fiksi kesukaannya.
Keisya menaikkan salah satu alisnya, menatap bingung pada Anara. "Lah, emang napa dah?"
"Ya soalnya om Nana itu dibakar bukan dikubur!"
Seketika Keisya mengeluarkan suara ketawa menggelegar sembari memukul-mukul Anara yang memasang raut wajah masam. "Sumpah, Ra. Baru kali ini wibu yang gue ejek husbunya bau tanah malah bilang husbu dia dibakar," ujarnya. Ia mengusap ujung kelopak matanya yang sedikit mengeluarkan cairan bening karena terlalu keras tertawa. "By the way, lo nggak ngerasa kalo ada dosen yang mirip sama Om Nana itu?"
Anara diam saja, tangannya masih sibuk dengan pen digital yang sedang ia gunakan untuk menggoreskan sebuah warna pada sketsa buatannya. Tangan mungilnya dengan lihai membuat ujung pen menari-nari di atas tablet, kecepatan dan ketepatan dalam mewarnainya sungguh terlihat sangat indah. Bibir yang sesekali terangkat ke atas karena tidak tahan melihat sesosok laki-laki dalam karyanya. Ia maupun karyanya terlihat sangat manis.
Sepasang kekasih yang sedang memasak bersama, sang laki-laki berada di belakang dengan posisi seperti sedang memeluk. Kepalanya yang bertopang pada pundak kekasih wanita, serta senyuman tipis namun sangat mempesona. Itu adalah apa yang sedang digambar Anara.
"Anjay, Ra. Lo mah kalo lagi gambar dunia serasa milik sendiri." Keisya menopang dagunya dengan kedua tangan. Ia tidak sanggup menunggu jawaban dari Anara lagi jika cewek tersebut sudah ada di dunianya sendiri, bersama dengan kekasih fiksinya.
Anara mematikan tabletnya dan mengeluarkan buku catatan. "Hehe, maaf. Lo ngomong apaan?"
"Itu..." Belum sempat Keisya menyelesaikan ucapannya dengan cepat Anara memotong.
"Eh...nanti aja, Pak Alzein dah dateng," ucapnya bersamaan dengan sosok dosen muda yang berpakaian rapi memasuki ruangan sembari mengucapkan salam dan dijawab seluruh mahasiswa.
"Hari ini silahkan kalian membentuk kelompok beranggotakan lima orang, dan buat materi presentasi apa yang sudah saya sampaikan pada pertemuan terakhir. Kumpulkan materi kasar kelompok kalian saat jam pelajaran saya berakhir," tukas Alzein yang mendapat banyak helaan nafas kasar dan beberapa keluhan. "Tidak apa jika kalian keberatan untuk mengerjakan, nilai jelek kalian akan permanen sampai semester akhir," lanjutnya mutlak.
Para mahasiswa segera bergabung dengan kelompok yang mereka inginkan sembari mulut terus berdecak kesal. Ini yang tidak mereka sukai dari Alzein, walau dosen muda tersebut sangat tampan dan menarik perhatian banyak kaum hawa, namun tugasnya sangat menyusahkan.
"Ra, kita gabung ke kelompok kalian ya?" Kara, dan dua teman cowoknya berdiri di hadapan Anara, meminta bergabung.
"Okey!" sahut Anara.
***
"Ra! Gue duluan ya...! Ati-ati diculik om-om!" Keisya berujar sembari melangkah cepat ke arah sebuah mobil merah mencolok yang Anara ketahui milik kekasih temannya itu.
Anara membalas lambaian tangan Keisya tepat setelah mobil merah tersebut mulai melaju meninggalkan parkiran fakultas sastra dan bahasa. Ia sendiri mulai berjalan menuju gerbang belakang kampus, yang merupakan gerbang paling dekat dengan fakultasnya. Dirinya tidak akan sanggup untuk memilih ke gerbang utama yang akan memakan setidaknya setengah jam lebih sampai di sana.
Begitu keluar dari gerbang belakang, Anara menelisik ke segala penjuru arah, mencari akang ojek yang sudah menjadi langganannya. Ia tidak perlu memesan lewat aplikasi ojek online yang biasa digunakan banyak orang, cukup menghampiri Kang Jepri yang nongkrong di gerbang belakang.
"Aa' Jep!" sapa Anara begitu melihat jaket dengan logo salah satu game online terkenal. "Seperti biasa ke Mak Sutri dulu ya," ujarnya yang ditanggapi sebuah gerakan hormat oleh Kang Jepri.
"Siap, Tuan Putri!" Kang Jepri memberikan salah satu helmya pada Anara. "Omong-omong, neng Anara nggak waleh sama soto Mak Sutri? Perasaan tiap hari makan itu terus, neng."
"Soalnya murah, A'."
"Healah, enak toh?"
"Sering keasinan, A'. Jangan kasih tau Mak Sutri loh ya, entar Anara ndak diterima sebagai pelanggan paling setia lagi," gurau Anara bersamaan dengan suara khas motor lama yang knalpotnya sangat berisik.
Sesampainya di sebuah tenda makan kecil, Anara turun dari jok belakang tanpa melepas helm yang ia digunakan. "Mak, sotonya satu tanpa nasi, ya. Dibungkus," pesan Anara begitu memasuki tenda makan dan mendapati Mak Sutri yang sedang melayani beberapa pelanggan. Pelanggan soto ini kebanyakan mahasiswa dan bapak-bapak yang tidak pilih-pilih makanan.
Dengan cepat Mak Sutri membungkus pesanan Anara namun, belum selesai pesanannya diterima Anara malah lari dengan tergesa-gesa.
"Neng! Mau kemana?" teriak Kang Jepri yang kaget dan bingung saat Anara tiba-tiba lari begitu saja.
"Woi! Cah cilik metisil wani ne kok karo ibu-ibu!" teriak Anara begitu sampai di depan sekumpulan anak sekolah menengah yang sedang memalak seorang wanita. "Ibu nggak papa, kan?" tanya Anara dengan lembut.
"Tidak apa-apa, saya sudah biasa." Anara begitu kaget saat melihat Ibu tersebut mengeluarkan uang warna merah dari dalam dompetnya dan akan diberikan pada sekelompok siswa yang memalaknya. "Ini buat kalian."
"Nggak! Nggak bisa gitu, Bu. Entar anak-anak itu jadi kebiasaan malak orang, nggak baik!" protes Anara. "Kalian juga! Masih kelas 10 kok udah berani malak orang di jalan! Sana pulang ke rumah, belajar yang rajin jangan main!" lanjutnya setelah melihat bet kelas yang digunakan sekumpulan siswa tadi. Dan ya, mereka langsung menjauh. Bukan karena menurut pada Anara, melainkan takut pada Kang Jepri di belakang yang siap melempar batu bata.
"Nah, udah pergi. Saya mau pergi–"
"Alden, bawa dia masuk mobil."
"Siap, Nyonya!"
"Lah..." Anara terkejut begitu kakinya tidak lagi menginjak paving trotoar. Bahkan saat ini ia digendong pada bahu lebar seseorang, semacam membawa karung beras. "Loh... entar, Bu! Ya Tuhan, soto saya! Helmya Aa' Jepri!" Panik Anara sesaat setelah tubuhnya dimasukkan ke dalam mobil mewah yang tidak Anara ketahui merk-nya. Mana dirinya masih menggunakan helm milik kang Jepri pula.
"Tenang saja, saya bisa masakin soto yang kamu inginkan," ucap Ibu yang telah ditolongnya dengan sangat santai.
"Aa' Jepri! Tolong Anara!" teriak Anara lewat jendela yang terbuka. Menatap melas kang ojek langganannya sedang berdiri tak jauh dari mobil yang sudah mulai bergerak.
"Maaf, neng! Saya angkat tangan, orangnya gede, medeni!"